

Matahari belum datang
Ketika ia dijemput pulang
Aku melaju dalam lengang nan remang
Menyusuri jalan-jalan bercabang
Seperti cabang-cabang pikiranku yang tak bisa kularang
Membayangkan hal yang tidak-tidak tentangnya
Langit yang biasanya kusuguhi senyuman hangat,
kali ini tak sempat kulihat
Entah apa warnanya subuh itu
Jingga bercampur kelabu,
atau kuning bersimbah biru
Sementara di gendang telingaku
Telah bersarang sebuah kata baku
Lebih menakutkan dari hantu
: “Koma”
Di lorong-lorong menuju ICU,
Tiang-tiang lunglai
Nyala lampu-lampu hampir usai
Laron-laron berserak di lantai
Entah masih hidup atau sudah jadi bangkai
Deras hujan semalam sisakan rinai
Tak hanya di pekarangan
Tapi juga di sepetak ruangan
Di atas sebuah dipan
Di tengah sibuknya dua perawat beri pertolongan
Kudengar isak si bungsu lirih
Air matanya basahi sudut kasur putih
Tangis haru bercampur sedih
Karena sendiri ia melepas pergi
Dengan lafaz dua kalimat suci
Aku mendekat,
Kucium kening jenazahnya lekat
Kugenggam jemarinya erat
Dan di telinganya kubisikan kalimat:
“Selamat pulang, Papa.
Selamat menuju Rumah Maha Ruhama
Pekanbaru, 8 September 2020