

Tulisan ini untuk menguak tabir larik puisi Soni Farid Maulana (lahir 19 Februari 1962, Tasikmalaya Jawa Barat) dengan pendekatan simbol dalam teori Hallcy. Ada tiga kumpulan puisi sang penyair yang diambil sebagai mewakili sejumlah metaforisma dalam teori Halley, Metaphors, 1980)
Pekerjaan seorang penyair atau sastrawan adalah menciptakan, sedangkan pekerjaan seorang pembaca sastra adalah memahami dan mendalami hasil pekerjaan sastrawan itu. Bagi penyair, menurut Sartre, bahasa adalah suatu struktur dunia luar. Pembicara berada dalam suatu situasi dalam bahasa. Ia dikurung dengan kata-kata. Sejumlah kata ini adalah penyambung-penyambung artinya, jepitan-jepitannya, sungut-sungutnya, kacamata-kacamatanya. (Lih.Soekito dalam Hadi, 2012). Ia mengolah gerak dari dalam, ia merasakannya seolah-olah sebagai badannya sendiri. Ia dikelilingi oleh sesosok badan kata-kata yang hampir tidak diinsafinya yang meregangkan aksinya atas dunia. Dengan kata lain penyair berada di luar bahasa.
Seorang penyair atau sastrawan yang menulis buku-buku untuk masyarakat umum tetap berada dalam bahasa. Namun, ketika ia menulis dalam genangan proses penciptaan maka yang terjadi adalah bahasa sebagai suatu dunia luar, karena ia sedang menciptakan objek-objek termasuk kata-kata secara kreatif. Sejumlah kata berupa jepitan dan sungut-sungut tadi berupa ungkapan metaforis berkonotasi semantik sebagai penyambung makna yang ingin disampaikan penyair kehadapan pembacanya.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk menganalis sejumlah kecil puisi Soni Farid Maulana dari tiga bukü kumpula puisinya masing-masing berjudul Sehabis Hujan, Arus Pagi, dan Kisah Suatu Pagi dengan menggunakan pendekatan model Halley tentang simbol untuk mengetahui dan memahami ruang perseps manusia dalam penciptaan puisi yang terdiri atas sembilan hierarki.(Hadi, 2023)
Pembahasan dalam tulisan ini adalah larik-larik puisi yang merujuk ungkapan-ungkapan metaforisma pada puisi Soni Farid Maulana yang diambil sebagian dari buku “Sehabis Hujan”, (1976-1990), (b) buku “Arus Pagi” (Sehimpun Sajak 1996-2012); dan (c) Kisah Suat Pagi, Sepilihan Puisi (2010-2017).
a) Puisi Padang Bunga
Analisis Simbol pada puisi “Padang Bunga” terbagi atas suasana ‘surga’ kegirangan batin sang penyair lebih dominan menguasai dirinya dibandingkan kegelisahan dan kemurungan hati Hal ini terdapat pada simbol: surga, kecerahan, ketenangan kegembiraan, kegirangan. Pada kegelisahan terdapat pada (kerisauan, keraguan, dan kegalauan).
Alangkah bening dan sejuknya pandang matamu bagai kehijauar rerumputan bagai sehabis hujan Dalam hatiku / ada ruang yang menyimpa cahaya matamu.
b) Puisi Etsa
Penerapan Simbol Puisi “Etsa”, analisis simbol pada puisi in menampilkan kegelisahan batin manusia yang menyadari atas semua dosa yang dilakukannya selama hidup. Hal ini ditandai dengan pemakaian kata ‘arang’ (simbol kenakalan dan kejahatan) yang diulang sebanyak dua kali.
Kain kafan yang ditenun bulan Terhampar di hadapan hujan dinihari adalah doa yang mengubah tanah yang berbatu! selunak tepung terigu. Di kedalaman kau dikuburkan dan kau / mata air yang tak perna kering / menghanyutkan segala noda kehidupan dari dadaku sehitam arang.
c) Analisis simbol yang ditemukan dalam puisi “Lengang” adalah panggilan pulang yang ditujukan kepada si aku lirik (sang penyair) Kepulangan ini bisa juga ditafsirkan keinsafan akan kematian yang diperkuat ‘suasana alam’ puisi yang begitu mencekam.
Ketika sebuah suara memanggil namaku / Selantun mpu kembang, aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Juga menoleh semua arah yang tampak hanya bayang-bayang / pohonan remang / cahaya bulan / sebentang langit / malam dengan sehampar kabut tipis / tembus pandang antara risik dan rumputan dan bisu bebatuan / aku hayati panggilan itu / ia isyarat panggilan pulang
d) Penerapan Puisi “Rumpun Bambu”:
Di bawah bulan biru / Desir daun bambu menafsir rinduku / kepada-Nya / dari balik jendela / suara cengkerik / aku dengar malam ini / gelik suling dalam tembang / Cianjuran: mpu kembang dan kau Po / mengekalkan semua itu / dalam garis warna tinta cina / di atas kertas sketsa mistik / menggetarkan jiwaku yang dalam.
Analisis simbol puisi di atas menceritakan kekaguman penyair si aku lirik kepada pelukis Popo Iskandar (seniman pelukis Indonesia) yang mampu mengguratkan pena lukisannya ke hati dan jantung penyair Soni Farid Maulana.
e ) Penerapan Puisi “ Sajak Malam “:
Dalam gelap matamu bersinar / bagai cahaya bulan menerangi hatiku burung malam tiada henti bernyanyi / seakan melepas isyarat akan rindumu yang Lara membakarku habis sudah di arah kiblat kekasihku aku ada dalam ayat-ayatmu yang dilantunkan / para musafir / kau arus hidupku.
Analisis simbol pada puisi di atas adalah menggambarkan kesadaran relegius sang penyair terhadap Allah Yang Maha Kuasa melalui saluran ayat-ayat yang dibacakan (dilantunkan) musafir yang singgah sejenak di dunia untuk kembali mengikuti ‘arus takdir’ yang ditetapkan Allah Yang Mahakuasa.
Dalam puisi Soni Farid Maulana, berdasarkan distribusi ungkapan metaforisma di atas, jumlah simbol bervariasi dengan ruang ‘human’ menempati jumlah terbanyak (44%) kemudian diikuti oleh object dan cosmos serta terrestrial yang berimbang (5%). Untuk kategori energy (8,5%) dan diikuti masing-masing living dan animate (4%).
Kategori human sebagai simbol metafora pada puisi Soni Farid Maulana menunjukkan keberadaan kepenyairan Soni yang lebih bertumpu pada pengalaman batin, pengalaman personal yang dieksplorasi secara kuantitatif dan disampaikan secara heuristik melalui penglihatan dan penghayatan pembaca.
Demikianlah beberapa puisi Soni Farid Maulana yang kita bahas dari aspek simbol dan metafora.
Medan, 12 September 2025