

Sebagai orang terkaya di kampungnya, Bang Razak ingin punya rumah seperti rumah di surga. Bentuk dan luas rumah di surga itu sering didengarnya dari penyampaian para mubalig. Meskipun tidak pernah diceritakan secara rinci dan detil hingga ke hal-hal yang sekecil-kecilnya. Berapa luas dan berapa lantai juga tak pernah diceritakan. Namun di dalam khayalan Bang Razak, rumah di surga itu sangat besar dan luas. Di setiap ruangan banyak lampu-lampu, terang dan indah. Hiasan-hiasan dinding super menarik. Semuanya serba wah.
Bang Razak ingin mempersembahkan rumah yang akan dibangunnya itu kepada istri dan anak-anaknya. Beliau ingin semua anggota keluarganya gembira dan bahagia sepanjang waktu. Wajah-wajah penghuni rumah itu wajah orang dalam surga, senantiasa tersenyum.
Bang Razak bukan bermimpi. Keinginannya membangun rumah seindah yang dibayangkannya itu sudah ada beberapa tahun sebelum ia menikah. Sebab itu, sejak masih bujangan lelaki ulet bekerja itu sudah menabung untuk rumah. Dia sangat hati-hati dalam pengeluaran. Malah semua barang yang di belinya sudah direncanakan dan dicatat dalam buku khusus belanja. Beliau tidak akan dipengaruhi oleh siapa pun.
Bang Razak tidak mau sembarangan tempat untuk tanah rumah yang akan dibangunnya. Dia bukan saja mau tanah yang luas, tetapi pemandangan di sekeliling rumah yang akan dia bangun termasuk perioritas. Lelaki berkulit putih dan rambut ikal itu ingin di sekiling rumah juga seperti pemandangan di surga. Oleh sebab itu, sebelum tanah itu dibelinya, dia survei terlebih dahulu.
Tanah yang sesuai dengan keinginan Bang Razak sudah dapat. Pas di kaki bukit. Ada air jernih mengalir dari puncak bukit. Pepohonan tumbuh indah dan beraneka macam.
Akhirnya, Bang Razak membangun rumahnya di areal tanah yang sudah dibelinya. Rumah itu dikerjakan oleh tukang-tukang pilihan yang tidak diragukan lagi kemampuan mereka membangun rumah.
Siapa saja yang lewat di depan rumah itu pasti berdecak kagum dan menggeleng-gelengkan kepala. Mereka akan lama terpesona menyaksikan betapa besar dan indahnya bangunan rumah. Tak jarang yang berucap, “bagai rumah di surga.”
Rumah Bang Razak sungguh wah. Areal tanah rumah satu hektar. Hampir sama dengan 100 buah rumah RSS (rumah sangat sederhana). Di perkarangan ada taman-taman indah yang membuat mata kita terpana memandangnya.
Rumah itu memiliki lima kamar tidur. Lengkap. Setiap kamar ada kamar mandi besar dan luas. Ada kolam renang yang pas untuk berenang dua orang. Di sebelah kiri kolam renang ada dapur kecil.
Bang Razak sengaja membangun dapur kecil di kamar itu. Gunanya untuk memudahkan penghuni kamar bila ingin minum kopi hangat atau merebus indo mie. Beliau sejak kecil paling suka makanan siap saji itu. Hampir setiap hari. Tak bosan-bosan.
Satu bulan setelah semua bangunan rumah, pagar, dan taman selesai dikerjakan, Bang Razak pindah rumah itu. Hari-hari pertama tinggal di rumah itu Bang Razak sering mondar-mandir dari ruang yang satu ke ruang yang lain. Melihat kamar yang satu dan kamar yang lain. Dikontrolnya hampir setiap saat bunga-bunga di taman di depan di samping dan di belakang rumah. Pagi sore diperhatikannya dengan baik.
Sudah hampir tiga tahun Bang Razak menempati rumah yang dibangunnya itu. Selama itu pula beliau dan anggota keluarga menikmati fasiltas yang tersedia di rumah dan yang tersedia di kamar mereka masing-masing.
Malam sebelum tidur, mereka menonton siaran televisi sambil kudapan. Setiap dua hari sekali mereka berenang di kolam renang kamar masing-masing. Asyik sekali, sehingga tak terasa badan sudah kedinginan. Bila demikian, mereka ke dapur memanaskan air untuk buat teh atau kopi.
Anggota keluarga jika perlu komunikasi, tinggal gunakan telpon. Tak payah bertemu. Bila terasa lapar, telpon penjual makanan online. Paling lama 10 menit, pesanan sudah sampai dan diantar langsung di kamar masing-masing. Begitulah hari-hari di rumah yang disebut orang rumah di surga itu, rumah Bang Razak.
Waktu berlalu tanpa disadari. Seakan tak terasa, ia meninggalkan kita. Begitu yang dialami Bang Razak. Sudah hampir 5 tahun tinggal di rumah di surga itu. Selama itu pula ia tak pernah ke mana-mana. Di kamar dan terus di kamar. Sebab semuanya ada di kamar. Tidak seperti masa kecilnya dulu.
Masa kecil-kecil dulu, Bang Razak tinggal di rumah sederhana berukuran 6×10 meter persegi. Rumah itu tak ada kamar tidur. Yang ada hanyalah skat ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.
Ruang depan untuk ruang tamu yang datang dan sekaligud jadi tempat tidur Bang Razak dan 3 orang adik lelakinya. Sedangkan 2 orang adik perempuannya tidur di ruang tengah. Di ruang tengah itu juga tempat tidur Abah dan Omaknya. Cuma Abah fan Omaknya beda kelambu dengan adik perempuannya.
Bang Razak masih ingat bagaimana dia dan tiga adik saling berebut bantal saat-saat mau tidur. Kadang-kadang sampai berkelahi dan ada yang menangis.
Bang Razak masih ingat saat-saat mau makan. Saat itu tak jarang pula terjadi perkelahian. Kadang-kadang hanya berebut pinggan. Pinggan cukup tapi warna dan bentuknya tak ada yang sama. Saat mau makan beberapa orang mau yang satu itu.
Begitulah masa-masa kecil Bang Razak di rumah kecil masa kecil-kecil dulu.
Kini, di rumah di surga itu hari-hari Bang Razak semakin asing. Semakin sepi, meski di rumah penghuninya bukan dia sendiri tapi rasa dia sendiri. Bang jadi ragu tentang dirinya.
“Apakah aku masih ada?” Bang Razak ragu tentang dirinya.
Ia berdiri di depan cermin besar di dalam kamarnya. Ia tatap wajahnya. Ya, Bang Razak masih seperti dulu juga. Tak ada yang berubah. Hidung, daun telinga, bibir, pipi, dan dagu seperti dulu juga.
Bang Razak coba tersenyum di depan cermin itu. Tapi yang terlihat wajah seperti orang menangis. Seperti orang menangis? Ya, memang tidak salah. Cuma air mata saja yang tak terlihat berjatuhan.
“Kenapa aku tak bisa tersenyum?” tanya Bang Razak dalam kesedihan.
Bang Razak sedih sekali. Ia coba mau meraung sekuat-kuatnya. Ya, ampun! Di wajahnya terlukis wajahnya sedang tersenyum. Bang Razak menguatkan tangisnya, tapi yang muncul di wajahnya tetap wajah tersenyum.
Bang Razak kembali coba tersenyum. Kemudian dia tertawa. Terbahak-bahak. Terbahak-bahak kuat. Namun di cermin itu yang muncul adalah wajah ketika sedang menangis tersedu-sedu.
Bang Razak berlari keluar. Berlari ke jalan raya. Ia meraung-raung. Meraung sekuat-kuatnya. Orang-orang kampungnya keluar menyaksikan Bang Razak. Mereka tertawa. Terbahak-bahak.
Bang Razak marah. Ia tersinggung pada orang-orang kampung yang mentertawakannya.
“Kenapa kalian tertawa?” pekik Bang Razak.
“Hahaha..haha..!”sahut orang-orang itu.
Bang Razak makin marah. Orang-orang itu dikejarnya. Tapi orang-orang itu tidak takut, sebab mereka lihat Bang Razak tertawa. Dan mereka terus mentertawakan Bang Razak.
Bang Razak berlari kencang. Orang-orang kampung mengejarnya. Ia terus berlari. Berlari dan sampai di halaman rumah tua. Rumah masa kecilnya dulu. Ia masuk ke rumah itu.
Dia masih menangis. Ketika dilihatnya di cermin, wajahnya betul-betul wajah orang menangis.
Bengkalis, 2020