
Telpon Pintar : Cerpen Mohd. Nasir
Cerpen Mohd. Nasir
Telpon itu dibeli Alang Manaf tiga hari yang lalu di sebuah toko penjualan telpon. Lengkap semua surat dan kartu garansi. Kuitansi pembayaran bermaterai juga ada. Masih tersimpan baik di dalam kotak telepon.
Waktu telpon itu dibeli, Alang Manaf langsung mencobanya. Kartu SIM dalam telpon beliau yang lama dan dimasukkan ke telpon yang baru dibelinya itu.
Setelah kartu terpasang, Alang Manaf coba menggunakan telpon itu. Ditelponnya istrinya. Istri Alang Manaf kaget. Beliau heran kenapa tiba-tiba suaminya menelponnya. Padahal Alang Manaf belum lama pergi dari rumah.
“Ada apa?” terdengar suara cemas Limah, istri Alang Manaf.
“Ngetes,” sahut Alang Manaf singkat.
Istri Alang Manaf bingung. Tidak tahu, apa maksud suaminya itu, apa yang mau dites. Dia? Jika ya, tes apa lagi? Bukankah sudah menikah lebih 25 tahun, masih ada tes lagi?
“Maksud Abang ngetes apa?” terdengar suara Limah bernada ragu dan bimbang.
“Ngetes aja,” jawab Alang Manaf datar.
Halimah semakin bingung. Tak biasa suaminya seperti itu dengan secara tiba-tiba menelpon. Padahal belum setengah jam meninggalkan rumah. Selama ini yang ia tahu suami jarang menelponnya bila tidak ada hal-hal yang sangat mustahak.
Halimah ingin bicara lagi dengan suaminya itu. Banyak yang ingin ditanyakannya. Terutama tentang mau ngetes yang diucapkan oleh Alang Manaf tadi. Tapi sayang, saat dia menghubungi Alang Manaf, yang terdengar bukan suara suaminya. Tapi, suara orang lain. Aneh sekali kedengarannya. Tak mengerti Halimah kalimat-kalimat yang didengarnya itu.
Apakah salah nomor? O, tidak. Itu nomor yang baru menghubunginya tadi. Nomor itu sudah lama tersimpan di dalam telpon Halimah. Selama ini, nomor itu saja yang ia tahu nomor telpon suaminya.
Halimah menutup telponnya. Beberapa saat kemudian, dia hubungi kembali Alang Manaf. Dia penasaran sekali ucapan Alang Manaf tadi. Ingin tahu apa lagi yang mau dites.
Sebelum mereka menikah, ada banyak tes yang dibuat Alang Manaf terhadap dirinya. Mula-mula tes kesabaran. Alang Manaf coba memancing-mancing kemarahan nya dengan kata-kata dan sikap yang bisa menaikkan emosi Halimah. Halimah berhasil melewatinya. Alang Manaf menyalaminya ketika itu pertanda lolos dari tes kesabaran.
Bagi Alang Manaf, kesabaran seorang istri sangat penting. Sebab dari situlah modal sebuah keluar akan langgeng. Dari kesabaran itu juga sebuah keluarga akan mampu mendidik anak-anaknya. Apalagi zaman sekarang.
Alang Manaf juga telah mengetes Halimah dalam pengaturan keuangan sebelum menikah dulu. Beberapa kali dibawanya Halimah berbelanja. Disuruhnya calon istrinya itu membeli barang-barang mahal dan jumlah yang banyak.
Halimah lolos. Setiap kali ditawarkan untuk membeli barang-barang mahal dan jumlah banyak, Halimah malah menasihati Alang Manaf agar berbelanja berdasarkan kebutuhan, bukan karena kemauan.
Alang Manaf juga sudah mengetes kejujuran calon istrinya dengan berbagai cara. Termasuk menanyakan laki-laki yang pernah menjadi pacar Halimah sebelumnya. Diceritakan oleh Halimah apa adanya. Sejujurnya. Tes ini juga mampu dilewati oleh Halimah dengan baik, meski waktu itu diceritakannya, terlihat kesan cemburu di wajah Alang Manaf.
Halimah bertanya-tanya dalam keraguan, tes apa lagi yang akan dilakukan oleh suaminya setelah menikah selama 25 tahun?
Halimah sangat berharap suaminya segera pulang. Ia ingin tahu betul, tes apa yang akan dilakukan pagi ini. Halimah juga heran, kenapa mengtes dari jauh? Kenapa tidak di rumah saja? Apa bisa? Berkecamuk pikiran Halimah memikirkannya.
Tidak lama kemudian, Alang Manaf pulang. Halimah mendengar suara batuknya ketika mau masuk ke rumah. Halimah menunggu di kamar saja. Tidak disongsongnyo ke muka pintu.
Tidak berapa lama, terdengar suara Alang Manaf sedang berbicara. Pikir Halimah, suaminya itu sedang menelpon seseorang. Atau dia mendapat panggilan begitu tiba di rumah.
Halimah coba menajamkan pendengarannya. Ia ingin tahu apa kira-kira yang dibicarakan suaminya itu. Dari volume suara yang keluar, Halimah memastikan bahwa tidak ada yang dirahasiakan dalam pembicaraan itu. Suara suaminya terdengar lantang. Namun dari nada suara yang keluar, terdengar suaminya bertanya berulang-ulang.
“Apa ni? Apa? Kamu siapa? Ha, apa? Eh, coba pakai bahasa Indonesia. Kamu siapa? Siapa kamu? Jawab, kamu mau bicara apa?” begitu terdengar pertanyaan suaminya dalam percakapan itu.
Halimah berjalan perlahan mendekati suaminya. Ketika itu suaminya masih sedang menelpon. Tapi, yang terdengar tetap pertanyaan-pertanyaan. Berulang-ulang. Suara Alang Manaf terdengar semakin meninggi.
“HP baru,” bisik hati Halimah begitu melihat HP menempel di telinga Alang Manaf.
“Pantasan,” bisik hati Halimah.
Alang Manaf menutup pembicaraannya begitu ia tahu Halimah ada di sampingnya. Itu memang sikap Alang Manaf dari dulu. Ia tidak mau menelpon bila ada orang di sampingnya. Bukan karena takut pembicaraan diketahui. Bukan karena itu. Tapi karena menghormati orang yang ada di sampingnya. Kalau pun ia harus menelpon juga di samping orang, terlebih dahulu ia menanyakan, apa orang yang di sampingnya itu membolehkannya. Setelah diizinkan, barulah ia menelpon.
“Dari tadi aku heran. Setiap kali bicara dengan orang dalam telpon ini, waktu mengucapkan dan menjawab salam bagus. Seperti biasa. Tapi setelah itu, suara lawan bicara entah apa-apa. Entah bahasa apa yang dipakainya. Ditanya berkali-kali, tetap suara aneh itu yang terdengar,” kata Alang Manaf menjelaskan seraya menunjuk ke HP yang baru dibelinya itu.
“Boleh kucoba?” pinta Halimah pada Alang Manaf.
Alang Manaf menyerahkan HP itu. Halimah menerimanya. Diketiknya nomor anak sulungnya, Irfan. Kemudian ia tekan tombol untuk menghubungi anaknya itu.
“Assalamualaikum, Papa” terdengar Irfan mengucapkan salam ke papanya begitu panggilan masuk. Irfan mengira yang menelpon itu papanya. Sebab nama yang muncul di HP-nya adalah nama papanya.
“Walaikum salam. Ini mama,” jawab Halimah
menjelaskan bahwa yang menelpon itu dia.
Tiba-tiba suara Irfan berubah. Entah apa-apa yang disebutnya. Kata-katanya jelas. Tak beraturan. Sedikit pun Halimah mengerti suara-suara yang masuk itu.
“Irfan…Irfan..!” Halimah memangil-manggil anaknya itu. Tapi suara yang masuk ke HP tetap suara yang tidak ia mengerti.
“Coba Abang!” kata Halimah memberikan HP itu pada suaminya.
Alang Manaf menerima telpon yang diulurkan Halimah. Langsung ditempelkannya di telinganya. Terdengar suara orang sedang berbicara. Tapi Alang Manaf tak mengerti pembicaraannya. Sebab itu, dia pun menutup pembicaraan.
“Ini yang aku tak paham. Dari tadi HP ini begini terus. Hanya bisa mengucapkan salam dan menjawab salam. Setelah itu, kacau kayak tadi,” kata Alang Manaf.
“Abang sudah lapor di toko tempat beli HP tadi?” tanya Halimah.
“Sudah. Mereka coba menggunakannya. Baik. Tak ada masalah.”
“Sekarang gini, Bang. Abang buka kartu SIM Abang. Masukkan kartu SIM Aku,” kata istrinya berpendapat.
“Oke.”
Alang Manaf mengeluarkan kartu SiM yang ada dalam HP yang baru dibelinya itu. Kemudian ia memasukkan kartu SIM istrinya.
Alang Manaf kemudian menghubungi Irfan, anaknya.
“Assalamualaikum, Mama!” sapa Irfan. Dia menyapa begitu karena nama yang muncul ketika panggilan masuk adalah nama mamanya.
“Ini Papa. Walaikum salam,” balas Alang Manaf.
“Maaf, Pa. Tadi HP papa kenapa gitu?” tanya Irfan.
Tadi sewaktu Irfan dihubungi pakai kartu SIM papanya, ia tak bisa bicara dengan mamanya. Sebab yang masuk setelah mengucapkan salam dan menerima salam adalah suara dengan bahasa yang ia tidak mengerti. Berulang-ulang ia memanggil mamanya. Namun tetap seperti itu juga.
“Papa juga tak mengerti, Fan. Padahal HP ini baru Papa beli.
HP pintar lagi.”
“Papa sudah lapor di tempat beli HP itu?”
“Sudah.”
“Terus, bagaimana?”
“Mereka coba pakai. Biasa. Tak ada masalah.”
“Aneh ya, Pa.”
“Ya.”
Alang Manaf kembali menukar kartu SIM yang di hp itu dengan kartu SIM-nya. Setelah ia menghubungi hp istrinya dalam jarak lebih kurang dua meter.
“Assalamualaikum,” ucap istri begitu ia menyambut panggilan suaminya.
“Walaikum salam,” balas Alang Manaf.
”Halimah, apa kabar?” tanya Alang Manaf.
“Abang?” tanya Halimah pada Alang Manaf. Dia bertanya begitu karena didengarnya dalam telpon itu suara aneh.
“Halimah..” panggil Alang Manaf kuat-kuat. Dia berbuat begitu karena Halimah tidak menjawab panggilannya. Yang terdengar dalam HP-nya ada suara aneh.
Alang Manaf dan Halimah sama-sama menutup telponnya. Kemudian mereka berdiri di jendela. Tak jauh dari samping jendela itu ada sebuah sungai. Dengan mengucap bismillah, mereka melemparkan HP-nya ke dalam sungai itu. Sejak itu mereka tak disibukkan oleh benda itu.
Bengkalis, 2020
Dari tahun 1991 hingga 2007 sering pula mengikuti berbagai lomba dan sayembara menulis. Pernah 7 kali diundang ke Jakarta sebagai pemenang tingkat Pusat dalam Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan dan Lomba Penulisan Cerpen tingkat Nasional. Hingga saat ini sudah menulis 15 buku dan 23 antologi.