

BUNGA TERAKHIR
Emi memang keras hati. Ia tak juga mau melepas seluasan tanahnya setelah orang-orang menawar dengan harga yang tinggi. Padahal, ia pun tak memperoleh keuntungan yang banyak dari pemanfaatan tanah di samping rumahnya itu. Sebuah pohon mangga yang tumbuh besar dan subur di tanah tersebut, hanya mendatangkan nilai jual yang seadanya kala berbuah.
Orang-orang akhirnya mempertanyakan keputusan Emi. Mereka tak habis pikir atas kekukuhan Emi mempertahankan separuh tanahnya yang berukuran sekitar 120 meter persegi itu hanya demi sepohon mangga yang tak mungkin membuatnya kaya. Mereka heran atas kesanggupan janda itu menahan diri untuk menggenggam bergepok-gepok uang dengan menjual lahan tersebut kepada penawar harga tertinggi.
Dengan merelakan separuh tanahnya, kehidupan Emi pasti akan berubah. Ia bisa merombak bangunan rumahnya di atas tanah yang masih seluas dengan tanah sepohon mangganya itu, lalu mengisinya dengan barang mewah. Ia jelas akan punya dana yang cukup sebab nilai jual sebagian tanahnya itu tidak main-main karena letaknya di persimpangan jalan poros yang ramai, sehingga strategis di mata para pebisnis.
Namun akhirnya, keteguhan Emi terusik akibat pandangan Roni, anak tunggalnya. Roni meminta agar ia menjual saja sebagian tanah mereka itu demi mendapatkan perongkosan untuk kebutuhan dan keperluan mereka. Apalagi, Roni memang akan melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah di tengah kota, dan ia menuntut dibelikan sepeda motor yang baru.
Hari demi hari, hubungan Emi dan Roni akhirnya jadi kurang harmonis akibat perbedaan pendapat soal masa depan separuh tanah mereka. Ketegangan di antara mereka pun makin menjadi-jadi setelah seorang perwakilan pengusaha ritel datang dan menawar bagian tanah tersebut dengan harga selangit. Emi masih tetap menolak, dan Roni makin keras menuntut.
“Kenapa sih Ibu berkeras betul mempertahankan tanah itu dan menolak rezeki yang menjamin kehidupan kita? Apa Ibu tidak merasa aneh mempertahankan pohon mangga yang tak berguna itu di tengah keramaian? Tidakkah Ibu kapok memelihara pohon mangga yang menjadi sebab Ayah meninggal itu?” sidik Roni di tengah perdebatan mereka pada satu malam, di tengah rumah mereka.
“Kan sudah kubilang, Nak, tanah itu adalah peninggalan ayahmu. Pohon mangga itu, juga peninggalannya sebagai hasil penanamannya. Kita mesti menjaganya untuk kehidupan kita dan keturunan kita selanjutnya, sebagaimana wasiatnya dahulu,” balas Emi, dengan tetap berusaha mengendalikan emosinya.
“Apa gunanya wasiat itu, Bu? Kalau kita ingin menjualnya untuk mendapatkan bekal bagi kehidupan kita, ya, kita jual saja!” tanggap Roni, dengan intonasi tinggi. Ia lantas menggeleng-geleng, seperti tak habis pikir atas keteguhan ibunya.
Emi bungkam saja, sambil mengelus-elus dadanya.
“Ayah sudah meninggal. Ia tak lagi punya kepentingan atas tanah itu. Ia tak lagi punya hak untuk melarang-larang kita menebang pohon mangga itu,” sambung Roni, masih dengan nada kesal. “Selain rumah kecil ini, warisan Ayah hanya tanah berisi pohon mangga itu. Apa lagi cara yang terbaik untuk memperoleh perongkosan bagi kehidupan kita selain menjualnya?”
Perasaan Emi makin terguncang mendengar tekad keras putranya. Ia pun kelimpungan untuk merespons.
“Kalau Ibu memang tidak sanggup menyelisihi wasiat Ayah, aku akan memutuskan sendiri penjualannya dengan calon pembeli!” tegas Roni, geram, lantas berdiri dan menepak kursi plastik dudukannya hingga terbanting.
Tiba-tiba, napas Emi menjadi sesak. Ia pun jatuh tersungkur.
Seketika, kemarahan Roni redam. Ia pun jadi kalang kabut. Ia lantas berteriak meminta tolong, sehingga tetangganya berdatangan. Salah satu di antaranya kemudian lekas mengambil mobil dan melarikan Emi ke rumah sakit.
Pada akhirnya, Emi terbujur saja di atas pembaringan rumah sakit. Ia berjuang seiring waktu untuk mempertahankan nyawa dan menguatkan tubuhnya. Para dokter dan perawat pun melakukan upaya terbaik demi meloloskannya dari maut.
Tetapi imbasnya, Roni mesti menanggung biaya rumah sakit yang tidak sedikit, sebab Emi tak masuk sebagai peserta asuransi kesehatan program pemerintah. Namanya tidak terdaftar dalam jaminan kesehatan gratis, sedang pendapatannya pas-pasan sebagai penjual kue untuk menjadi peserta mandiri. Karena itu, di tengah kebingunannya, Roni mengambil keputusan sendiri untuk menjual bagian tanah yang dihuni sepohon mangga itu, demi kepentingan sang ibu juga.
Dengan upaya perawatan yang maksimal, keadaan Emi akhirnya membaik dan stabil. Ia lantas keluar dari rumah sakit dengan keadaan yang lumpuh karena strok. Ia kehilangan kendali atas separuh tubuhnya, yang membuat gerak-geriknya sangat terbatas, sehingga Roni mesti menuntunnya dengan kursi roda. Pun, ia telah kehilangan kemampuan berkomunikasi. Ia hanya berbicara dengan suara gagu dan bahasa isyarat, sehingga Roni mesti mengartikannya.
Sampai akhirnya, dua hari sepulang Emi dari rumah sakit, Roni pun memberanikan diri untuk menceritakan keputusannya yang telah menjual sepetak tanah mereka. Bagaimanapun, Roni sadar kalau ibunya pasti akan mengetahui bahwa tanah itu bukan milik mereka lagi ketika pihak pembeli telah melakukan aktivitas pembangunan di atasnya.
“Bu,” sapa Roni, segan. Ia lantas menggenggam tangan ibunya. “Maaf, aku telah menjual tanah kita kepada pengusaha yang datang menawar tempo hari,” tuturnya, dengan nada menyesal, sambil berusaha membaca rona wajah sang ibu. “Aku tak tahu cara lain untuk membayar tagihan perawatan Ibu selain dengan menjual tanah itu.”
Emi yang tak lagi sanggup melafalkan kata-kata, cuma terdiam mematung. Namun dari bola matanya yang tampak basah, ia jelas sangat bersedih.
Waktu pun bergulir. Akhirnya, datanglah hari yang begitu memilukan bagi Emi. Ia duduk di balik jendela rumahnya sembari menyaksikan bekas pohon mangganya ditebang dan dipotong-potong para pekerja pihak pembeli. Ia sungguh merasa pilu melihat bunga-bunga pohon mangga itu tak lagi menjadi buah yang mendatangkan rezeki baginya.
Dengan serta-merta, ia kembali terkenang pada riwayat pohon mangga tersebut. Dahulu, saat ia mengandung Roni, ia mengidamkan buah mangga mengkal. Ia pun merengek kepada Judan, suaminya, agar keinginannya dipenuhi sesegera mungkin.
“Kita kan tidak punya pohon mangga, Bu,” kata Judan, merespons tuntutan Emi.
“Ah, usahalah, Pak, demi anak kita. Bapak sendiri tahu kalau mengidamnya seorang ibu, ada kaitannya dengan kehendak si janin. Apa Bapak tidak kasihan pada bakal anak kita?” tanggap Emi.
Akhirnya, dengan setengah kerelaan, Judan pasrah dan beranjak untuk menunaikan permintaan Emi.
Detik demi detik, Emi menunggu saja di rumah. Ia terus menanti Judan datang membawa mangga mengkal permintaannya. Tetapi setelah sekian lama, suaminya itu tak juga datang. Hingga akhirnya, kenyataan pahit bertandang. Sang suami pulang dengan tubuh yang tak lagi bernyawa. Sang suami meninggal sesaat setelah terjatuh dari atas pohon mangga milik tetangganya yang ia panjat tanpa izin, dan kepalanya mendarat pada bongkahan batu yang besar.
Hari itu akhirnya jadi hari perkabungan yang memilukan bagi Emi. Bagaimanapun, suaminya berpulang setelah mengambil buah mangga orang lain secara sembunyi-sembunyi demi dirinya dan bakal anaknya. Karena itu, setelah peristiwa kelam tersebut, Emi meminta keikhlasan dari sang pemilik mangga, lantas menanam satu dari tiga biji buah mangga panenan suaminya itu di samping rumahnya, hingga bertumbuh dan membesar.
Kini, Emi mulai berpikir untuk mengutarakan kepada Roni, putranya, perihal alasan di balik sikapnya terhadap pohon mangga yang telah tumbang itu. Ia ingin mengungkapkan bahwa Junan, suaminya, ayah Roni sendiri, meninggal bukan karena jatuh dari bekas pohon mangga mereka itu, tetapi jatuh saat mencuri mangga yang akhirnya menjadi anakan pohon mangga tersebut. Namun sayang, ia sudah tak mampu bercerita.***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).