Lelaki Mati Rasa | Cerpen : Susilawati

54
Tulisan Terkait

Rempang: Husnu Abadi

Loading

LELAKI MATI RASA

            Ini  bukan pertama kalinya, satu tas keperluan pribadiku terkemas dalam tas biru lusuh ini. Sebagai sebuah aksi  kekecewaan atau kepedihan yang teramat sakit. Aku tak sanggup untuk bertindak lebih kecuali pergi.

            “Lelaki tak berguna! Kerja tak dapat hasilkan uang!”

            “Lihat si Marwan, pergi merantau sekejap ke seberang. Pulang-pulang bangun rumah mewah. Kamu laki-laki kerja pagi pulang sore. Tapi tak mampu kasi perubahan.”

            Hampir setiap hari. Perempuan yang sangat aku cintai melontarkan kalimat itu. Ia ibarat radio siaran berita yang setiap saat  memberi  informasi, membebel tanpa harus tau apakah ada pendengar atau tidak. Kata-katanya setajam silet. Setiap terlontar membuat hatiku tersayat-sayat. Tapi, apalah dayaku. Aku hanya seorang lelaki tanpa kuasa di rumah ini.

 Rumah yang kubangun susah payah. Menebang kayu di hutan. Memindahkan sendiri dengan sepeda kago. Kulakukan tanpa lelah karena aku membayangkan indahnya istana sederhana untukmu dan buah hati kami.

            Aku hanya ingin Marni ingat kembali, bagaimana perjuanganku untuk mendapatkannya. Karena aku orang papa kedana maka wajar orang tua yang tak restu. Sementara Marni adalah permaisuri pingitan di ujung pulau ini. Anak pembeli hasil bumi di segenap Kampung Pesisir. Anak pelayar handal yang ketika orang menyebut nama ayahya, maka orang akan menyebut “si Datuk Kaya.”

            Banyak lamaran orang berada lagi kaya raya Marni tolak. Alasannya sungguh membuat aku semangat terus berjuang. Melawan badai, menjemur badan, membanting tulang, memeras keringat tanpa rasa lelah. Aku melakukannya suka cita penuh bahagia karena teringat ucapannya, “Hanya mencintai Bang Darma.”

            Kita mengawali semua dari nol dan semuanya baik-baik saja.  Saat  tak restu itu terkalahkan oleh kegigihanmu meyakinkan orang tuamu. Bahwa engkau akan bahagia hidup bersamaku. Meski ancaman dan racau mereka tak pernah kau acuhkan. Entahlah, semua tak seperti impian kita. Engkau berubah tak menerima lagi segala kekuranganku.

Di hening malam, kaki ini siap melangkah pergi. Meski keputusan yang tak mudah. Aku malu pada kegagalanku sendiri. Kenapa aku begitu lemah? Seperti yang disorakkan orang-orang sekitar. Aku lelaki tanpa kekuasaan. Aku terima apa yang mereka ucapkan.

Saat dunia sekitar mengejekku, setidaknya ada satu bidadari yang selalu berpihak kepadaku. Bidadari  lahir dari rahimmu, yang begitu paham akan luka ini. Ia membaca setiap kemiskinan kata-kataku untuk sekedar meluruskan ocehanmu yang menyudutkanku. Dia yang paham akan tatapan hampa ini, mata indahnya mampu  menterjemahkan bahwa diam ini bukan kalah.

“Pergilah, Pak! Untuk kebahagiaan bapak,” ucapnya lembut

“Kamu bagaimana, Nak?”

“Aku akan tetap di sini, menjaga mak.”

Kami saling diam. Memperhatikan wanita lemah itu terbaring. Mulut indah yang dulu selalu mengukir senyum kini telah miring. Kulitnya yang dulu  mulus bagaikan sutra. Kini telah berhimpun dengan lipatan keriput. Sirna sudah kuasanya. Suara yang menggelegar itu kini berganti rintihan-rintihan mengiba. Menahan sakit yang tak membuatnya nyaman. Aku hanya mampu memandangnya. Tak berani menyentuh, meskipun dia masih halal untukku.

“Mari makan, Marni,” suatu hari aku mencoba menyendokkan makanan ke mulutnya.

“Lelaki bodoh! Lelaki lemah! lelaki payah!” Celotehnya dengan mulut miringnya.

Begitulah setiap kali aku ingin mendekat merawat struk ringan yang dideritanya. Sorot kebencian jelas nyata dari tatapan matanya. Ningsih anak satu-satu kami sangat telaten merawatnya. Meski beberapa kali kerap ia juga dicaci maki, lampiasan sakit hati Marni kepadaku.

Masih terngiang jelas ditelingaku. Bisik-bisik warga tentang aku waktu itu. Semua pihak memojokkanku atas sikapku yang lebih banyak diam atas perilaku Marni. Kini dunia telah berbalik. Belas kasihan justru berpihak kepadaku. Mungkin ini balasan atas kesabaran-kesabaran yang aku pendam.

“Perempuan kualat itu. Makanya jadi seperti orang gila,” celetuk seorang ibu saat di warung.

“Kasihan Darma, harus mengurus istri durhaka.”

“Tinggalkan aja! Kamu masih muda. Bisa cari istri lebih baik dari pada dia,” hasut ibu lainnya.

Di malam gelap ini. Biarlah aku dan tuhan saja yang tau. Siapa aktor  dari panggung drama ini. Aku tau Marni sangat mencintaiku. Tapi, dicintainya tak cukup membuat aku bahagia. Saat ia berulah seperti orangtuanya. Berkali-kali aku harus menahan sakit hati atas perlakuan Marni dan orangtuanya kepadaku. Dihina, direndahkan tak jarang aku dipermalukan di depan umum. Aku di anggap benalu yang numpang enak di kehidupan mereka yang serba ada.

Lalu, salahkah aku melampiaskan dendam ini pada marni kekasihku. Marni hanya korban diantara tumpukan sakit hatiku dengan orang tuanya. Terdengar jelas ditelingaku, saat utusan orang tuanya datang. Menghasut Marni untuk meninggalkan aku dan Ningsih. Alasan kemiskinan dan iming-iming kebahagiaan jika Marni kembali kepada orang tuanya. Sungguh membuat membuat aku naik pitam. Aku tetap bersikap baik kepada Marni, seolah tidak ada kejadian apapun yang aku dengar.

Namun, kebaikanku ibarat abu bakaran yang tertiup angin. Berserak terbang tak ada harganya di mata Marni. Ia mulai banyak menuntut. Seringkali meminta sesuatu diluar batas kemampuanku.

Andai Marni tau, diamku ini ibarat menggenggam api. Hanya menunggu waktu untuk aku melepasnya. Namun,  masih mampu aku jaga dengan rapi. Begitulah aku sangat mencintainya. Tak ingin sedikitpun aku membuatnya sedih. Sebisa mungkin saat pulang kerja aku membawakan uang yang banyak untuknya. Seperti yang ia harapkan. Aku tau, semua itu untuk ia tunjukkan ke orang tuanya. Bahwa dia tak salah memilih lelaki sabagai pendamping hidup.

Marni lupa, bahwa takaran rezeki setiap orang sudah Tuhan tentukan. Andai belahan hatiku tak pernah terpengaruh oleh hasutan pihak keluarganya. Manakan ada perempuan yang lembut itu berubah jadi durjana. Wanita berparas elok, dagunya bak lebah bergantung dengan manis pernah  berjanji untuk bersama suka duka dalam batera ini. Namun janji hanyalah tinggal janji.

Dihadapan Marni yang lemah.

“Melangkahlah, Pak. Jangan pernah menoleh ke belakang,” tutur Ningsih berurai air mata.

“Maafkan bapak, Nak.”

“Cukup sudah penderitaan bapak selama ini. Kini saatnya bapak meneruskan kebahagian yang seharusnya.”

“Aku titipkan bapak, Bu,” ucap Ningsih sambil memeluk perempuan yang menanti di balik pintu sejak tadi. 

“Engkau adalah anakku, meski tak terlahir dari rahimku,” balas Sinta.

            Sinta menggandeng tanganku untuk melangkah. Sebaris senyum sebagai salam perpisahan buat Marni.

            “Dia istriku.”  Kataku mantap lalu melangkah pergi

            Gemeretak gigi Marni terdengar jelas di telingaku. Ia berteriak dalam ketidakberdayaannya. Terimakasih  Marni. Izinkan aku pamit untuk memulai kembali kebahagian yang selama ini hanya mimpi.


Pekanbaru, 1 Desember 2021

  • Susilawati, lahir di Kembung Luar, Kabupaten Bengkalis. Merupakan guru matematika di sekolah SMP IT AL-Fityah pekanbaru. Sebagai guru, penulis sangat senang dengan dunia literasi. Beberapa karya antologi sudah terbit. Kumpulan puisi dan cerpen. Penulis juga aktif sebagai pengerak literasi. Pengelola dan pengerak Taman Baca Masyarakat Raudhatul Ilmi. Juga sebagai pengelola rumah peradaban SNC.

Untuk pemuatan karya sastra (Puisi, Cerpen, Pentigraf, Esai, Pantun, Kritik, Resensi, Peristiwa Budaya, dan tulisan sastra lainnya) silakan dikirim melalui surel:

redaksi.tirastimes@gmail.com

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan