

1. Karya sastra yang menekankan si penciptanya sendiri: adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra. Sastra berorientasi pada kehidupan sang pengarang atau biografinya.
2. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. (Wellek, 2016). Tiga sudut pandang ini perlu dibedakan. Yang relevan dengan studi sastra adalah yang pertama—yang menganggap bahwa biografi menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya. Sudut pandang kedua mengalihkan pusat perhatian dari karya ke pribadi pengarang. Sedang yang ketiga memperlakukan biografi sebagai bahan untuk ilmu pengetahuan atau psikologi penciptaan artistik.
3. Sejalan dengan pemikiran ini, Coleridge berpendapat bahwa setiap kehidupan—walaupun tak ada artinya, jika diceritakan secara jujur—pasti akan menarik. Dari titik pandang penulis biografi, pengarang adalah orang biasa yang perkembangan moral, intelektual, karier, dan emosinya bisa direkonstruksi dan dinilai berdasarkan standar tertentu—biasanya sistem nilai etika dan norma-norma perilaku tertentu.
4. Membicarakan kedua tokoh sastrawan Melayu yakni Dato’ A. Azis Deraman (Malaysia) dan Damiri Mahmud (Indonesia) tidak menjurus kepada karakterisasi biografis seperti ciri-ciri yang dipaparkan di atas, akan tetapi membatasi perbincangan pada profil kedua sastrawan dengan memanfaatkan sejumlah karya puisi mereka yang disiarkan dalam ruang khalayak sastra.
5. Membaca puisi modern ialah “kesediaan kita untuk menerima chaos sebelum logos, tapi juga keterbukaan kita kepada hening yang bukan kosong, kepada suwung yang sebenarnya berisi” (Ayu Utami, 2022) .
6. Sebuah pertanyaan, sanggupkah kita menangkap puisi yang disonan, yang membawa chaos di satu pihak, tapi mengandung suwung di pihak lain? Dengan kata lain, mengapa kita harus “hijrah dari bahasa publik” hanya untuk menangkap keistimewaan puisi. Ketika dunia memerlukan lebih banyak komunikasi untuk menekan kebohongan dan kekerasan?
7. Jawabannya memang dapat iya, jika tradisi puisi modern, misalnya tradisi Chairil Anwar, sudah larut membenam dalam urat darah kita. Namun, jika puisi modern termasuk puisi inderawi maka pilihan, tanggapan, dan hasil proses belajar dengan segala macam pengalaman estetik kita, maka itulah pilihan yang dipakai ketika kita berhadapan dengan karya puisi.
8. Puisi modern, betapapun ia hanya tersirat dan tersimpan secara laten (tersembunyi). Tugas pembaca sastra pada puisi modernlah yang berusaha mengungkapkannya secara manifes (terkuak) sehingga muncul sebagai makna dan interpretasi.
9. Membaca puisi-puisi A. Azis Deraman ( lahir 1948 di Paser Putih, Kelantan Malaysia) dalam buku antologi “Suara dari Cikini” (Penerbit Minda K. Lumpur, 2010) merupakan rekaman ingatan dan memorial penyair tentang Indonesia sebagai negeri serumpun Melayu. Maka tidaklah mengherankan mengapa penyair Azis Deraman sangat akrab dan mahir mengenali lanskap alam Melayu itu di Indonesia.
10. Penyair menulis:
sampai bila bahtera bangsa akan tiba ke pukau tujuan
Indonesia menunggu cemas bimbang
ada luka tidak terbalut
berdegup batin,malu, menderita, takut
sejak nakhoda baru mengarah haluan
11. Membaca puisi ini amatan kita pastilah sebuah renungan sang ‘tetangga yang baik’ yang merasa prihatin tentang Indonesia. Kita yakin sejumlah puisi ini bermula di lokasi pusat kesenian bergengsi yang berdiri megah di Jalan Cikini Raya Jakarta.
12. Kharisma dan kepiawaian Presiden RI pertama itu begitu memukau dan membangkitkan marwah manusia sebagai bangsa yang beradab dan beradat. Azis menulis :
baru sebentar kulewati istanamu
sampai terkenang daku mahu jadi juara pidato
peristiwa anak-anak sekolah berlumba
maka akulah antara mereka
meniru gayamu
mengikut cara suaramu
rupanya pengalaman itu adalah sejarah
dari fakta dan waktu kita melangkah
(Seabad Soekarno, 6/6-2001)
13. “Seorang sastrawan yang menulis buku-buku untuk rakyat banyak tetap berada dalam bahasa. Namun, ketika ia menulis dalam genangan proses penciptaan maka yang terjadi adalah bahasa sebagai suatu dunia luar, karena ia sedang menciptakan objek-objek termasuk kata-kata secara kreatif.” (Soekito, dalam Hadi: 2012).
14. Begitu jugalah sikap kepenyairan A. Azis Deraman yang memandang ‘bahasa’ sebagai cara mengucapkan dirinya ke ruang publik pembaca.
Adalah bahasa
Sejarahnya menelusuri
Akar daerah tersurat
Akar wilayah tersirat
Lihat keluasan
Kaji kedalaman
15. Ketika konflik di Poso, Ambon dan Ternate yang mengambil korban jiwa dan kerusuhan rasial yang tumpang tindih antara politik, antara umat beragama, Dato Azis secara pilu merekamkan peristiwa yang berdarah itu.
Pengembara sepertiku nanar mata menatap laut
Menemukan dirinya terbenam ke dasar dendam
Terasa mengalir darah kemarahan dan kebencian
Kota ini pun meledak basah kerusuhan berdarah
16. Pada kembara penyair ke Makasar (Indonesia), ia terpesona dengan peran tokoh ulama, kaum, cendekiawan yang membangun tradisi pembelajaran agama Islam dan keunggulan Islam di Nusantara.
Hatiku tidak sunyi bertanya
Upayakah pengalaman dan ilmu di dada
Dibawa semata-mata karena Allah
Di jalur kebajikan tidak kenal lelah
Ulama itu merdeka jiwa
Dia itu tuan rumah di mana berada
(Ulama, Makasar, 2001)
17. Sikap kepenyairan A. Azis Deraman dapat dideteksi dalam tiga visi atau pandangan yakni Pertama. Sikap kearifan yang bersumber dari keyakinan sebagai pemeluk agama Islam. Kedua, Sikap kepedulian sosial yang tertanam kuat dari sanubarinya sebagai seniman yang berpijak pada hati nurani sosial. Ketiga, ketangguhan dan kesetiaan profesionalnya sebagai abdi negara dan juga abdi masyarakat yang berbakti demi Allah dan untuk masyarakat. Sikap ini sememangnya telah termaktub dalam ajaran Islam sebagaimana Ayat Al Quran (Surah Asyua’ra) bahwa seniman termasuk penyair yang beriman dan beramal saleh itu adalah mengabdi untuk Allah dan berbakti untuk masyarakat.
Penyair Damiri Mamud
Penyair Damiri Mahmud (lahir tahun 1945 di Hamparan Perak, Sumatra Utara) berjudul Epitaf. Puisi ini kaya dengan parabel dan metafora tentang ulama yang tersohor pada zamannya.Puisi ini berkisah dari referensi sejarah mistik Islam tentang Nabi Muhammad SAW, Al Ghazali, Zamakhsyari, dan Imam Syafii. Pada bait pertama penyair Damiri Mahmud menulis: “Allah, dengan asma-Mu jua kami berkata dan mengenang.dalam ampunan- Mu yang mengalir, kami berenang dan bersyair, maaf-Mu sesejuk salju, menggenang, semoga yang kami kenang…” (Memandang Manusia, 1983).
Pada puisi, ”Aku Berlari-lari Mencari Serumpun Serai” adalah sebagian kisah rasa terbuang penyair menghadapi perubahan lingkungan tanah airnya.Terganggunya ‘enviromental etic’ -etika lingkungan- kehidupan keseharian . Kisah rasa terbuang penyair ini bukanlah berkaitan dengan kenegaraan atau merujuk administrasi pemerintahan. Ia berhubungan dengan wilayah batin yang bermitra dengan kehidupan fisikal manusia.
Konsep rasa terbuang ini mungkin dilihat sebagai hubungan ruang. tentang golongan pengarang atau sastrawan tanpa ‘berpindah tempat’, berasa diri mereka seperti orang asing di negeri sendiri. Puisi ‘Aku Berlari-lari Mencari Serumpun Serai’ menceritakan rasa terbuang sekaligus ada semacam kehilangan wacana kultural Melayu untuk menemukan tamadun lokal orang Melayu yang marginal pada era urban dan pembangunan. Damiri menulis: “Kini aku berlari-lari seperti dulu mencari bau reruku dan kemangi-manisnya kembang semangkuk biji selasih berlari menyibak durian runtuh dalam semak-semak otakku” (Hadi, 2014:14).
Secara tersirat Damiri mengalami rasa peminggiran ‘tanah air Melayu’ yang bukan saja disebabkan perubahan tata ruangkota berlabel modern akan tetapi juga rekayasa penyeragaman struktur tata ruang lingkungan. Budaya Melayu yang dahulu kental dengan nilai berkampung, kini akibat perubahan zaman menjadi nilai bercerai. Kampung menjadi desa, Pecahnya pusat rujukan tradisional atas suatu komunitas karena posisi kepala desa di masa kini hanya dapat merumuskan kebijakan atas persetujuan atasan, atau budaya petunjuk teknis dan budaya pengarahan.yang nyaris dimonopoli kekuasaan.
Saya mengutip pendapat (seorang pengamat sastra Barat). Menurut dia setiap pengarang (termasuk penyair) akan dilupakan sepuluh, duapuluh atau tigapuluh tahun setelah ia meninggal. Jika ia berhasil melewati ambang berbahaya ini, ia akan menjadi bagian populasi sastra. Kata-kata ini dikutip dari pendapat Escarpit ketika ia membicarakan keberadaan pengarang dalam proses kreatif (Yunus, 2008).
Daya tahan para pengarang pada ‘ambang batas’ yang disebut zona berbahaya itu berbagai macam corak dan sebabnya. Salah satunya upaya pengikisan ingatan kolektif dalam priode tertentu dalam perjalanan sastra Melayu dan Indonesia. Daya tahan pengarang menghadapi pengikisan ingatan kolektif menimbulkan semacam ironi dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Dalam suatu wawancara radio, pengarang India yang bernama Yed Mehta ditanya wartawan mengapa sesudah tinggal di Amerika, ia masih merasa perlu menulis tentang India. Beliau menjawab bahwa semakin tua seseorang itu semakin hidup kenangannya tentang zaman kecilnya (Bennet, 1991).
Pernyataan Mehta itu menegaskan kembali bahwa ada kenangan yang lebih hidup bahkan tidak ada kesan yang bisa dihapuskan sebagaimana halnya kenangan tentang masa kecil. Hal ini tersimpan dalam ‘man set’ seseorang apabila ia jauh dari tanah airnya. Hal ini sama halnya dengan Tagore pujangga Benggali yang banyak mengembara ke mancanegara termasuk Amerika dan Jepang bahkan pernah singgah di Indonesia.
Namun dalam tulisannya Tagore tidak memunculkan kisah-kisah lingkungan luar negeri itu dalam karya kreatifnya. Ia agaknya tetap konsisten dengan Benggala, warna lokal yang indah. ltulah sebabnya pemandangan alam dan iklim bukan India jarang ditemui dalam karyanya. Hal ini jiga tidak jauh berbeda dengan penyair Melayu Serumpun: A. Azis Deraman, Kemala, Mohammad Haji Salleh, Lim Swee Tin Damiri Mahmud, Shafwan Hadi Umry, BY Tand dan Abdul Hadi WM. Pada puisi mereka tergambar warna lokal dan solidaritas sosial.
Damiri Mahmud salah seorang pengarang kontemporer Indonesia termasuk penyair Indonesia yang mengalami hal yang sama tentang ‘rasa terbuang‘ dari tanah airnya. Istilah tanah air dalam pembicaraan ini bukanlah berkaitan dengan nation state bernegara atau merujuk administrasi pemerintahan. Ia bermuara kepada ranah pemikiran dan wilayah batin yang bermitra dengan kehidupan fisikal dan lingkungan.
Bennett dalam A Sense of Exile yang diterjemahkan Yunus (1991: 11) , menyebutkannya ada dimensi lain yang perlu diperhatikan yakni golongan pengarang dan intelektual tanpa berpindah tempat, berasa diri mereka seperti orang asing di negeri sendiri. Puisi itu menceritakan rasa terbuang akan sesuatu yang hilang sekaligus kegelisahan untuk menemukannya kembali. Semacam sikap memuja-muja masa lampau sekaligus menangisinya .
Rasa terbuang Damiri bukan hanya dengan tubuh tetapi jua dengan pemikiran. Hal ini dapat disimak pada baris puisinya:
Kini aku berlari-lari lagi seperti dulu mencari bau reruku dan kemangi manisnya kembang semangkuk biji selasih berlari-lari menyibak durian luruh dalam semak-semak otakku merenang jurung dan udang siput dan lokan aku berlari-lari menghidu bau bunga kopi yang semerbak hilang dan tenggelam timbul dalam kenangan
Puisi ini meskipun bersuasana rasa terbuang seorang bumiputera dari ‘tanah air‘ nya sendiri ia juga menyampaikan hak gugat terhadap masyarakat dalam sikap kemandirian seorang cendekiawan.
Penutup
Membaca sejumlah puisi tentang penyair A. Azis Deraman dan Damiri Mahmud sebagai pendekar sastra Melayu antara bangsa ini membuktikan bahwa kearifan sastra berkaitan dengan kearifan bangsa yang beradat dan beradab. Mereka di antara seribu penyair Asia Tenggara telah mendedikasikan dirinya tanpa lelah dalam lapangan kepenyairan dan mewakafkan sejumlah puisinya untuk pesan kemanusiaan pada kesusastraan di tanah air.
Medan, 20 /6/ 2023
Disampaikan pada Seminar Kolokium Antarabangsa Peradaban Timur Laut Tanggal 4-6 Agusutus 2023 di Universitas Pathoni, Thaliland Selatan