Lelaki yang Menggenggam Hanjuang: Cerpen Lusi Hanasari

28

Lelaki senja itu termenung menatap nanar cahaya rembulan. Angin mengibas rambut gondrongnya perlahan, memberinya sedikit kesejukan. Memikirkan segala nasib rasanya sangat menyakitkan. Lelaki itu tak kuasa menahan tangis. Mulutnya seperti terbungkam, tak mampu berbicara sepatah kata. Deraian air melabrak kedua bola matanya memberikan sedikit rasa pelampiasan atas apa yang dialami selama ini. Tanaman hanjuang menjadi saksi bisu sekaligus tempat bersandar bagi dirinya. Debur kenangan yang tersimpan dalam ingatan, kian memudar lalu menghilang di atas cakrawala kelam. Kini yang tersisa hanyalah bayangan dalam kesakitan. Setiap kali ia melihat tanaman hanjuang, rasanya begitu memilukan mengingat kenangan bersama kekasihnya. Kadang-kadang aku melihatnya mengomeli para warga tanpa sebab, lalu tertawa tanpa alasan. Kadang-kadang lelaki itu meminta sedikit makanan di kios atau warung yang berjajar di pinggir jalan lalu memakan makanannya di samping tanaman hanjuang penghias jalan. Ia mendumel dan meracau hal-hal yang tidak jelas. Lalu lalang orang hanya melewati dirinya dan tidak pernah memedulikan nasibnya.

Mereka menganggap bahwa lelaki tersebut kurang waras karena memiliki masalah mental dan penampilan yang kumal. Bau tubuhnya sangat menyengat. Rambutnya berantakan seolah bercampur dengan debu jalanan dan daun kering berserakan. Sesungguhnya aku merasa sangat iba kepadanya. Setiap pulang dari bekerja, aku menyempatkan diri untuk memberinya sebungkus makanan. Setidaknya bisa mengganjal perutnya agar tidak kelaparan. Beberapa kali aku ditegur oleh pemilik warung terdekat karena terlalu sering memberinya makanan. Aku hanya tersenyum lalu menjawab apa yang kuberi tidak sebanding dengan penderitaannya. Siapa lagi yang peduli dengan orang-orang pada kondisi seperti ini, tidur di jalanan beralas tanah dan beratap langit malam. Mereka seperti dalam pengasingan, sendirian dalam kesepian dan tidak bisa menikmati kehidupan. Mereka hanya bergantung pada kebaikan hati setiap lalu lalang orang yang melihatnya.

Kuletakkan selimut di atas tubuhnya. Matanya terpejam sempurna bersama suara dengkuran yang lirih. Entah mengapa aku sangat ingin membantu lelaki ini. Padahal kami tidak mengenal satu sama lain. Selembar daun hanjuang merah selalu ia genggam dan dibawanya ke mana-mana. Kadang-kadang aku melihatnya menciumi daun-daun hanjuang yang tertanam liar di pinggir jalan atau di dekat pagar rumah seseorang, hingga pemilik rumah berteriak ketakutan. Aku hanya sangat penasaran alasan lelaki ini selalu memuja daun hanjuang seolah-olah ia memiliki kedamaian saat berada di dekat tanaman itu. Pernah suatu ketika, aku mendengar tutur katanya yang membuatku merasa bahwa dia tidak gila dan sebenarnya dia adalah orang waras. Dia menuturkan sebuah kalimat yang indah akan makna.

“Wahai daun hanjuang merah, tiap kali aku melihatmu, hatiku sembilu memikirkan bayangan masa lalu. Kau seperti dia, Sri Dewi cintaku. Ia selalu merawatmu dengan hatinya dan selalu merawat cintanya kepadaku. Tapi yang tersisa sekarang hanya embusan rindu yang terbang entah ke mana, memeluk diam dalam kesunyian dan aku hanya mampu bersapa dengan kekasihku, lewat kenanganmu.” Aku melihat derai hujan membasahi mata cekungnya.

Aku pernah mendengar kisah cinta paling romantis sekaligus tragis. Kisah cinta Laila Majenun di mana cinta Laila, membuat Qais seorang pemuda menjadi Majenun yang berarti gila dalam akal dan pikiran. Bahkan Pemuda yang bernama Qais selalu memuja Laila. Sepanjang perjalanan ia membuat syair untuk kekasihnya. Semua orang mengira Qais telah Majenun yang berarti gila karena cinta. Namun ia tidak memedulikan omongan orang. Cinta Qais membuatnya menyendiri di hutan bersama hewan dan tumbuhan menanam rindu untuk Laila berharap bisa bertemu. Hingga ajal menjemput, ia tetap setia dan cinta kepada Laila, namun takdir begitu tragis tidak mempersatukan mereka melainkan menguji kesetiaan dan ketulusan hingga membawanya dalam sumur penderitaan paling dalam.

Berita Lainnya

Ketika aku mendengarkan lelaki itu berucap, tanpa sadar mataku mengeluarkan cairan bening. Lelaki itu seperti Qais yang sangat mencintai Laila. Semua orang hanya memandangnya sebagai orang yang telah kehilangan akal dan diabaikan. Namun tak ada seorang pun mengenali kolam cinta yang menenggelamkan hatinya sehingga ia harus melewati takdir yang menyakitkan. Berbicara soal cinta, tidak akan pernah ada seseorang yang mampu mendefinisikannya kecuali orang itu sendiri tenggelam dalam lautan cinta. Lagi-lagi aku mendengar lelaki itu meracau tentang kekasihnya.

“Duhai belahan jiwa, dalam mencintaimu usiaku semakin berkurang. Bibirku memucat dan mataku ter butakan oleh air mata. Kau tidak membayangkan segila apa aku sekarang. Demi engkau tidak hanya aku telah kehilangan dunia–tetapi aku pun telah kehilangan diriku.”

Aku merasa takjub mendengar perkataan lelaki tersebut. Seperti syair yang sangat indah dalam pengungkapan cinta paling dalam untuk sang kekasih. Aku merenungi dan memahami setiap perkataannya. Menurutku ia tidak kehilangan akal seperti yang dikatakan orang. Karena cintanya, lelaki itu menjadi lemah tidak berdaya. Seperti anak hilang, jauh dari keluarga dan tidak memiliki apa-apa. Banyak orang yang mengatakan lelaki itu tersesat dan hilang akal. Tetapi bagi lelaki hanjuang, ia tidak pernah merasa tersesat karena cinta. Jiwa-jiwa yang penuh dengan penderitaan kolam cinta, sebenarnya kering, laksana dedaunan yang tertimpa panas matahari di waktu siang. Baginya cinta adalah keindahan yang tidak bisa membuat mata terpejam dengan tenang lalu siapa yang dapat menyelamatkan seseorang dari api cinta? Kesalahannya adalah cinta yang mekar dalam hatinya membuat ia kehilangan segalanya yang dapat menenggelamkan dirinya bersama kehidupannya.

Suara deru mesin kendaraan melahap telinga. Para pedagang asongan membelah kerumunan menjajakan dagangan. Lalu lalang kendaraan mengisi jalanan kota. Kelip lampu lalu lintas dalam sepersekian menit menampakkan perubahan warna. Merah ke kuning lalu berubah menjadi hijau. Hiruk pikuk kota tampak bising, matahari serasa menyengat. Langit berwarna biru muda berlukis awan-awan putih menggantung di udara. Aku masih duduk termenung di atas bangku taman sembari menatap para pejalan dan pedagang asongan. Satu botol air mineral kuraih dalam tas lalu meneguknya hingga beberapa kali tegukan. Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Memikirkan lelaki itu rasanya menyesakkan. Dia setia kepada cintanya untuk seumur hidup.

Aku tidak mengetahui kisah dibalik kesetiaan ini dan ke mana kekasihnya pergi. Di usiaku menginjak dua puluh dengan ekor tujuh, aku belum pernah merasakan cinta seperti itu. Bahkan saat ini aku masih bertengkar dengan tunanganku. Terdengar beberapa kali ponselku berdering. Siapa lagi kalau bukan Rania yang mencoba meneleponku untuk menjelaskan segalanya. Aku malas menghadapinya. Sudah sekian kali aku memergoki dia selingkuh dengan laki-laki lain namun ketika kuberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami, sikapnya tidak pernah berubah. Aku sangat lelah dengan sikapnya. Sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu dengannya karena merasa sakit hati.
Dari kejauhan, kulihat lalu lalang orang berkumpul dan bergerombol di salah satu sudut jalan. Rasa penasaranku mendorong untuk melihat apa yang terjadi. Mataku terbelalak dan kerongkonganku serasa tercekat. Aku melihat seorang lelaki menggenggam daun hanjuang merah tergeletak tak berdaya dengan kucuran darah dikepalanya. Beberapa orang memeriksa kondisinya dan dinyatakan sudah tidak bernyawa. Tubuhku bergetar dan merasa lemas seketika. Lelaki itu pergi selama-lamanya bersama luka-luka cintanya.

 

Lusi Hanasari. Gadis kelahiran Lamongan yang sangat menyukai Petrichor. Memiliki hobi membaca dan menulis baik karya fiksi maupun non fiksi. Saat ini masih tergabung dalam komunitas menulis COMPETER (Community of pena terbang Indonesia) dan Komunitas Negeri kertas.com. Beberapa karyanya pernah dimuat dalam seleksi antologi puisi bersama penerbit Sabana pustaka 2016. Ia dapat dihubungi melalui kontak Whatsapp 082217519945

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan