Rambut Ramdan: Cerpen Fikraneil H Nouran

65

Ramdan, usia 16 tahun, badan tinggi tapi tidak gemuk, kulit putih, hidung mancung, memiliki rambut panjang, lurus, belah dua, tergerai manis hingga mengenai samping matanya. Sudah tiga bulan lamanya, ia memanjangkan rambut itu.

Kini ia menduduki bangku sekolah menengah atas kelas XI. Hari ini ia masuk sekolah baru, di tahun yang baru, semangat baru, dan membuka halaman baru.

Saat ia memasuki kelas barunya, banyak sekali siswi-siswi yang memerhatikannya. Mungkin karena rambutnya yang begitu panjang dan menawan. Dan mungkin juga karena pakaiannya yang elegan dan rapi.

Ramdan tak menghiraukan siswa-siswi yang memerhatikannya, karena ia telah terbiasa dengan hal itu. Saat ia menduduki kelas X di sekolah lamanya, ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, terlebih lagi siswi-siswi yang kagum pada rambutnya yang panjang dan menawan.

Saat jam pelajaran pertama mulai, bu Fitri mengabsen satu persatu anak kelas XI.1 hingga selesai. Kemudian ia melihat-lihat siswa-siswi dari kanan hingga ke kiri. Ia pun terhenti saat melihat wajah Ramdan. Sepertinya, anak ini siswa baru di sekolah ini, ucap bu Fitri dalam hati.

“Hei kamu yang duduk di belakang, di sebelah Furqon,” tegur bu Fitri.
“Saya Bu?” Tanya Ramdan.
“Ya, kamu anak baru ‘kan? Sila perkenalkan diri di depan kelas,” perintah bu Fitri.

Ramdan pun maju dan memperkenalkan dirinya di depan siswa-siswi kelas XI.1. Saat memperkenalkan dirinya, tampak siswi-siswi saling bicara di antara mereka.

“Ganteng banget ‘tu cowok,” ucap salah seorang siswi terdengar oleh Ramdan.
“Iya lho. Rambut dan pakaiannya sangat rapi,” ucap siswi yang lain.

Setelah selesai memperkenalkan dirinya, bu Fitri bertanya kepada Ramdan, “Ramdan. Itu rambutmu sudah panjang, kapan mau dipotong?”
Ramdan terdiam sejenak seraya memikirkan apa yang seharusnya ia jawab.
“Kapan mau dipotong, Nak?” Tanya bu Fitri lagi dengan suara yang lembut.
“Nggak tahu kapan, Bu. Malas,” ucap Ramdan dengan remeh.

Bu Fitri dan siswa-siswi di kelas itu pun terkejut karena mendengar jawaban Ramdan yang terdengar kurang sopan.
“Parah ‘tu cowok, ganteng tapi nggak beradab,” ucap salah seorang siswi di kelas tersebut.
Ucapan itu pun tedengar oleh Ramdan, dan ia pun berkata. “Terserah gue lah. Mulut-mulut gue.” Tegas Ramdan dengan ketus.

Bu Fitri pun semakin kehabisan kesabarannya. Mukanya tampak merah.
“Ramdan, kamu baru di sini sudah buat orang marah. Selesai jam peljaran ini, ikut saya ke ruang kepala sekolah!” ucap bu Fitri dengan suara agak keras.
“Ok, Bu,” ucap Ramdan santai.

Sebagian siswa-siswi menggelengkan kepala, dan terdengar gerutu mereka tak jelas.
Jam pelajaran bu Fitri pun selesai. Ramdan menepati janjinya. Ia mengiringi bu Fitri menuju ruang kepala sekolah.
Sesampainya di ruang kepala sekolah, bu Fitri langsung menceritakan semua hal yang terjadi di kelas.
Kepala sekolah pun memanggil Ramdan untuk masuk ke ruangannya.

Berita Lainnya

“Ramdan, apakah kamu tahu apa yang terjadi jika seseorang tidak memiliki adab?” Tanya pak kepala sekolah.
“Tidak, Pak,” jawab Ramdan santai.
“Yang pertama, orang yang tidak memiliki adab akan dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya, dan ia akan dibenci karena tidak memiliki rasa sopan santun terhadap sesama. Kedua, orang yang tidak memiliki adab tidak akan dihormati oleh orang-orang di sekitarnya karena prilaku saling menghargai tidak ada pada dirinya…”

Kepala sekolah terdiam sejenak. Ia tatap Ramdan dengan lembut.
“Ketiga, ini yang paling penting. Orang yang tidak memiliki adab akan susah mengejar impiannya karena ia tidak bisa menjaga adabnya kepada orang tua, guru dan orang-orang di sekitarnya.” Kepala sekolah berhenti lagi.
“… Dan jika ia tidak bisa menjaga adabnya, menjaga akhlaknya kepada orang tua maka hancurlah sudah masa depannya,” sambung kepala sekolah.
“Kenapa saya sangkut pautkan dengan masa depan?” kepala sekolah terdiam lagi. lalu ia melanjutkan. “Karena selain membutuhkan usaha, kita juga membutuhkan restu orang tua untuk bisa meraih masa depan yang cerah. Dan ingat kutipan ini ya: restu Tuhan tergantung restu orang tua. Jika orang tua tidak merestuinya maka Tuhan pun juga tidak merestuinya. Dan jika orang tua merestuinya maka Tuhan pun juga ikut merestuinya,“ nasehat pak kepala sekolah terdengar lembut namun menusuk hati Ramdan.

Ramdan terdiam mndengarkan pengajaran pak kepala sekolah. Ia tak bisa berkata sepatah pun karena hatinya mendapat tamparan keras dari nasehat yang disampaikan kepala sekolah. Ramdan pun mulai merenungkan kesalahan-kesalahannya selama ini.

Dalam hati ia merasa, betapa banyak orang yang hatinya telah aku sakiti. Aku mohon ampun kepadamu, Tuhan. Ia berpejam. Ia merasa sangat menyesal.

Kepala sekolah masih diam. Ruangan terasa senyap, sunyi dan tidak ada yang berkata sepatah pun. Mereka masih tenggelam dalam renungan masing-masing.

“Ramdhan,” terdengar suara pak kepala sekolah mengusik keheningan.
“Iya, Pak,” jawab Ramdan sambil menunduk. Suaranya terdengar lembut, tak seperti yang sebelum-sebelumnya.

Matanya tak sanggup menatap mata kepala sekolah.
“Sekarang kamu sudah tahukan, apa yang harus dilakukan ke depannya?” Tanya kepala sekolah kemudian.
“Ya, Pak. Saya sudah tahu. Saya minta maaf, Pak. Saya beterima kasih kepada bapak. Saya menyesal karena tidak dapat menjaga adab kepada orang tua, guru dan orang-orang di sekitar saya.” Katanya penuh penyesalan.
“Selanjutnya saya akan meminta maaf kepada orang-orang yang sudah saya sakiti hatinya, Pak.”
“Nah, itu sikap yang sangat bagus Ramdan. Saya mau memaafkan kamu tapi ada syaratnya,“ kata kepala sekolah melihat Ramdan dengan sungguh-sungguh.
“Apa itu, Pak?” Tanya Ramdan dengan sopan.
“Ingat pesan saya ya. Jika kamu besok tumbuh menjadi orang besar, maka tolong dijaga adabnya. Kenapa saya mengatakan seperti ini? karena pada zaman sekarang banyak sekali orang-orang besar yang tidak memiliki adab. Jadi, kamu jangan seperti mereka ya,” pesan pak kepala sekolah kepada Ramdan.
“Baik, Pak. Sekali lagi, terima kasih, Pak.”
“Ya. Sama-sama, Nak,” jawab pak kepala sekolah.
“Sekarang kamu boleh ke kelas lagi,” ucap pak kepala sekolah. Ramdan menyalami tangan kepala sekolah, dan menciumnya dengan penuh takzim.

Keesokan harinya Ramdan datang ke sekolah dengan tampilan yang berbeda, yaitu dengan gaya rambut pendek.
Saat ia memasuki kelas, tak heran banyak sekali siswi-siswi yang membicarakannya.
“Ih Ramdan, rambutnya pendek banget,” ucap seorang siswi.
“Iya tuh, gantengnya jadi hilang,” ucap siswi lainnya.
“Ih Ramdan, rambut kamu ke mana? Ganteng kamu jadi hilang lho,” celetuk siswi yang lain pula.
Ramdan tak menghiraukan siswi-siswi yang membicarakannya. Ia terus berjalan menuju kelasnya.

Saat bu Fitri di kelas, ia pun mengabsen satu persatu anak kelas XI.1. Sampai di nomor absen 16, yaitu nomor absen Ramdan, lalu Ramdan pun mengangkat tangannya seraya maju ke depan dan berkata kepada bu Fitri. “Bu, maafkan saya, karena ulah saya, kemarin ibu jadi marah-marah.”
“Baik, Ramdan, ibu sudah memaafkanmu.”

Bu Fitri terdiam sejenak. Siswa-siswi tak ada yang bersuara. Ruang kelas hening.
“Syukurlah kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Sekarang rambut kamu sudah pendek dan banyak sekali siswi-siswi yang membicarakanmu. Apakah kamu malu?” Tanya bu Fitri.
“Tentu saja tidak, Bu. Karena saya tahu bukan rambut yang membawa saya ke masa depan cerah, tapi adalah adab dan budi pekerti saya.”
***

Payakumbuh, 05 Februari 2025

Fikraneil H Nouran merupakan siswa kelas XI SMA IT Insan Cendekia Borading School (ICBS) Payakumbuh Sumatera Barat.

 

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan