Penghapusan PT 4 % atau Penyederhanaan Fraksi: Catatan Politik Hukum Husnu Abadi, Ph.D.

177

Putusan MK No. 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), atas ketentuan yang ada pada Pasal 414 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berkaitan dengan Parliementary Threshold sebesar 4 %, yang diputus Kamis, 29 Februari 2024, mendapat tanggapan beragam. Putusan MK menyebutkan bahwa norma PT 4% adalah konstitusional, sepanjang diberlakukan untuk Pemilu 2024, dan inkonstitusional bersyarat, untuk Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.
Dalilnya karena MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 % dimaksud dalam Pasal tersebut. Angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap ionversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilihan umum. Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 % dari suara sah secara nasional. Kebijakan ambang batas parlemen dinilai telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga diredukasi ketika mendapatkan suara lebih banyak tetapi tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak langsung telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih, Berdasarkan hal tersebut dalil pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumentai yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah. Hakim MK, Enny Nurbaningsh menjelaskan bahwa Putusan MK bukan meniadakan ambang batas parlemen, tetapi memutuskan bahwa besaran threshold atau besaran angka persentasenya diserahkan ke pembentuk UU. Harapannya pembuat kebijakan bisa menentukan threshold yang rasional dengan metode kajian yang jelas dan konprehensif dan dapat meminimalkan disproporsionalitas yang semakin tinggi dan menyebabkan suara sah yang terbuang, (Kabar24. Dany Saputera, Bisnis.com Jumat 1 Maret 2024 12.43).
Perintah MK kepada pembentuk UU, untuk memperbaiki besaran PT itu, dengan sejumlah rambu-rambu. Pertama, perubahan ambang batas parlemen didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan harus menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional terutama untuk menjaga bersarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi. Perubahan besaran PT juga harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan jumlah partai politik. Selain itu perubahan ambang batas parlemen wajib melibatkan semua kalangan yang meiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik, yang bermakna termasuk partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR. Perubahan harus selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. (Fitria Chusna Farisa, Nasional.kompas.com. 1 Maret 2024, jam 10.46, dilihat Ahad, pukul 21.02, 3 Maret 2024)..
Tanggapan Mahfud MD, mengapresiasi Putusan MK dimaksud, yang menyatakan bahwa PT 4% tidak berlaku pada Pemilu 2029. Adanya perubahan aturan yang berdampak langsung ke peserta kontestasi politik, baik memberatkan ataupun meringankan, harusnya ditetapkan berlaku pada periode berirkutnya. Dia membandingkan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres yang ditetapkan berlaku pada periode yang sama. Mahfud menilai bahwa substansi putusan MK No. 90 itu salah. Adapun pakar hukum yang lain, Juanda, memberi tanggapan bahwa mengapa putusan MK ini, berlaku untuk tahun 2029, padahal perhitungan jumlah suara KPU baru selesai 20 Maret, artinya dasar pertimbangan MK itu tetap tidak mencerminkan keadilan dan diskriminatif. Untuk putusan MK No.90 dapat diberlakukan segera untuk Pemilu 2024, sedangkan untuk Putusan No 116 berbeda dan diberlakukan untuk Pemilu 2029, ini putusan MK yang setengah hati. (www.instagram.com, dilihat Ahad, 3 Maret 2024, jam 21.09).
Reaksi Partai. Ketua MP PPP M. Romahurmuzy menyambut baik putusan MK dimaksud, dan menganggap bahwa putusan MK tersebut merupakan kemenangan kedaulatan rakyat karena setiap suara pemilih terkonversi menjadi perolehan kursi anggota DPR. Inilah sebenarnya esensi sistem pemilu proporsional yakni tidak ada suara rakyat yang terbuang.(nasional.tempo.co, 29.2.2024.) Diharapkan oleh Romy, putusan MK ini dapat berlaku prospektif yakni berlaku mulai hari ini saat diputuskan. Sebab saat perkara ini diputuskan, tahapan penghitungan sebagaimana ketentuan ambang batas parlemen belum berjalan. Mengapa ? Perubahan ketentuan usia syarat capres-cawapres bisa berlaku pada Pemilu 2024 tetapi mengapa penghapusan ambang batas parlemen pada Pemilu 2029 ? Sedangkan Habiburrahman, tokoh partai Gerindra, menyatakan besaran PT itu harus mempertimbangkan kepentingan setiap partai untuk dapat diwakili di setiap komisi dan alat perlengkapan dewan (AKD) lainnya, antara 11 sampai dengan 17 orang. Bilamana jumlah anggota partai kurang dari itu, maka partai itu tidak dapat ikut serta dalam rapat sejumlah AKD.
Dari PT ke Penyederhanaan Fraksi. Bilamana ditelaah, konstitusi yang sekarang ini, tidak ada memberikan rambu-rambu apapun berkenaan dengan ada tidaknya Parliementary Threshold, ambang batas minimal jumlah suara yang harus diperoleh oleh sebuah partai politik dalam sebuah pemilihan umum, agar dapat dihitung kursi yang menjadi haknya. Kebijakan hukum di awal reformasi, yang berkenaan dengan demokrasi adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi (Sekjen MPR; 2011; 12). Namun ketika pembentuk undang-undang, menyusun UU yang berkenaan dengan partai politik dan pemilihan umum, telah memasukkan kebijakan hukum baru yang bertujuan untuk mengurangi jumlah partai peserta pemilihan umum untuk pemilihan umum berikutnya. Lihat UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, dimana pasal 39 angka (3) menyebutkan bahwa untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya partai politik harus memiliki sebanyak 2 % (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3 % (tiga perseratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah propinsi dan di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan umum.
Ketentuan ini, sama sekali tidak memberikan halangan bagi partai politik untuk memperoleh kursi di DPR, berapapun sedikitnya suara yang ia peroleh dalam pemilihan umum, asalkan suara partai itu dapat dikonversi menjadi kursi. Ketentuan ini hanya menghalangi sebuah partai politik untuk mengikuti pemilihan umum yang akan datang (Pemilu 2004). Mekanisme ini, telah menempatkan 19 partai politik di DPRRI dari 48 partai peserta (1999-2004) dan 16 partai dari 24 peserta (DPR 2004-2009).
Berbeda dengan itu, kebijakan hukum terbuka ini, berubah untuk Pemilu 2009, dimana UU memberlakukan PT 2,5 % , kemudian berubah menjadi PT 3,5 % (Pemilu 2014), dan PT 4 % untuk Pemilu 2019. Dari pemilu itu telah berhasil menyederhanakan jumlah partai di parlemen yaitu 9 partai dari 38 peserta (2009-2014), 10 partai dari 12 partai (2014-2019) dan 9 partai dari 16 partai (2019-2024). Untuk periode 2024-2029 diperkirakan 8 partai berada di parlemen dari 18 partai nasional peserta pemilu.(Zunita Putri, detiknews. per 4 Maret 2024 jam 08.27, dilihat 5 Maret jam 12.11)
Jumlah partai yang gagal masuk parlemen karena tidak berhasil memperoleh suara yang sah sekurang-kurangnya seperti yang ditentukan oleh PT 2,5 %, PT 3,5 % dan PT 4 % menyebabkan suara sah yang tidak terwakili di DPR menjadi persoalan serius dipandang dari sudut proporsionalitasnya.
Pada pemilu 2009, ketika penerapan PT 2,5 %, suara sah 104.099. 785, suara yang terwakili di DPR 85.061.132 (81.71 %) , dan suara yang tidak terwakili/terbuang 19.099.785 (18,29 %). Namun hasil Pemilu 2014 memunculkan angka yang menarik, karena setelah besaran PT dinaikkan menjadi 3,5 % justru menjadikan suara yang tidak terwakili hanya berjumlah 2.968. 844 atau hanya 2,37 %. Adapun suara yang terwakili di DPR berjumlah 122.003.647 suara (97,73 %), dari suara sah keseluruhannya 124.972.491 suara. Bila dilihat dari hasil Pemilu 2019, jumlah suara yang terbuang naik kembali, ketika PT dinaikkan menjadi 4 %, yaitu 13.595.142 suara (9,71 %). Adapun suara yang terkonversi menjadi kursi di DPR berjumlah 126.376.118 suara (90,29 %) dari keseluruhan suara yang sah berjumlah 139,971.260 suara.
Bila dilihat dari fakta empiris yang ada, dapat ditarik kesimpulan bahwa disproporsionalitas itu belum menunjukkan konsistensi. Pada penerapan PT 4 % persentasi disproporsionalitasnya justru lebih rendah dibandingkan dengan penerapan PT 2,5 %. Melalui data di atas, kenaikan penerapan PT menjadi 3,5 % pada Pemilu 2014 tidak secara serta merta menaikkan persentase disproporsionalitasnya. Justru suara yang tidak terkonversi pada kursi parlemen menurun dan hanya berjumlah 2.968. 844 atau hanya 2,37 %.
Putusan MK No. 116 itu tentulah harus dianggap sebagai cukup progressif karena selama ini posisi MK pada setiap perkara yang masuk ruang lingkup Kebijakan Hukum Terbuka itu terlihat kaku, seperti misalnya pada kasus pengujian besaran Presidential Threshold 20 % dimana MK selalu berpedoman pada alasan bahwa besaran itu merupakan Kebijakan Hukum Terbuka dan merupakan kewenangan utuh dari pembentuk hukum. Namun berbeda dengan putusan MK No. 116 itu yang menyatakan bahwa PT 4 % itu in konstitusional bila diterapkan pada Pemilu 2029, dan karenanya memerintahkan kepada pembentuk hukum untuk merubahnya menjadi besaran yang rasional.
Tentu saja, pembenyuk undang-undang, haruslah sepenuhnya memahami, bahwa karena sistem pemilu yang dianut adalah sistem proporsional, maka seharusnyalah tidak ada tempat bagi pembentuk UU untuk melakukan pembatasan/ penghadangan masuknya wakil-wakil rakyat melalui partai untuk duduk di parlemen, berapapun suara yang diperoleh, asalkan dapat terkonvenrsi menjadi kursi.
Pembatasan jumlah partai di parlemen, yang merupakan simbol dari kebijakan hukum penyederhanaan jumlah partai di parlemen, haruslah diubah dan diberi dengan makna baru menjadi penyederhanaan jumlah fraksi di parlemen, sesuai dengan prinsip sistem pemilu yang bersistem proporsional . Kebijakan hukum ini pernah diterapkan pada awal Orde Baru (Fraksi Persatuan Pembangunan, gabungan 4 partai Islam), Fraksi Demokrasi Indonesia (gabungan 5 fraksi nasionalis lainnya). Juga di awal reformasi, Pemilu Tahun 1999, terdapat 19 wakil partai di parlemen dan kemudian terbentuk menjadi sejumlah 10 fraksi (termasuk fraksi ABRI). Terdapat partai yang membentuk fraksi sendiri (PDIP= 153 anggota, Golkar= 120, PPP=58, PKB=51, PBB=13) dan terdapat pula beberapa partai yang membentuk fraksi bersama, misalnya Fraksi Reformasi (PAN/34 anggota dan Partai Keadilan/7 anggota). Terdapat FKKI (12 anggota, 7 partai), Fraksi Perserikatan Daulatul Ummat, 9 kursi/ 5 partai serta Fraksi DKB, 5 anggota/2 partai.
Untuk hasil Pemilu selsanjutnya, 2004, terdapat 16 partai yang berhasil mengirimkan wakil2nya di parlemen dan kemudian membentuk 10 fraksi dimana hanya FBPD yang merupakan fraksi gabungan sejumlah partai.
Dengan demikian, dari data pemilu 1999 sampai dengan Pemilu 2019 di atas, parlemen Indonesia, sejak reformasi selalu mempunyai maksimal 10 fraksi, dan minimal 9 fraksi. Dari pemilu yang diadakan itu terdapat 2 macam pengaturan untuk masuk parlemen yaitu pertama tanpa pembatasan jumlah minimal suara yang diperoleh sebuah partai, dan kedua dengan pembatasan yang besarannya dimulai dari 2,5 % kemudian 3,5 % dan kini 4 %.
Adanya fraksi gabungan harus dianggap sebagai media dan forum bersama/gotong royong dan forum musyawarah antar beberapa partai yang tidak memenuhi syarat pembentukan fraksi. Memang forum yang demikian ini menjadi penting untuk menumbuhkan semangat saling harga menghargai dan menghormati antar partai. Dengan demikian pembentuk hukum dapat memberikan persyaratan bahwa terbentuknya sebuah fraksi adalah sekurang-kurangnya terdiri 75 anggota parlemen atau sekurang-kurangnya 10 % dari jumlah anggota parlemen (15% x 575 = 58 anggota).
Simpulan. Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Mengingat sistem pemilihan umum proporsional merupakan sistem yang dipilih, maka makna proporsionalitas perwakilan di parlemen merupakan tujuan utama, sedangkan penciptaan kondisi yang disproporsionalitas dalam parlemen haruslah dikesampingkan dan pembentuk hukum harus berpedoman pada kata kunci ini. Walaupun putusan MK hanya memerintahkan penurunan besaran PT, namun pembentuk hukum diberi keleluasaan juga untuk meniadakan adanya kebijakan PT dengan menggali kembali makna sistem proporsionalitas itu.
2. Kehendak kebijakan hukum untuk tetap menerapkan penyederhanaan jumlah partai di parlemen melalui PT, haruslah dimaknai dengan makna yang baru dan lebih progressif yaitu penyederhanaan jumlah fraksi dan pembentukan fraksi di parlemen adalah keharusan yang tidak bisa diingkari. Dalam hal pembentuk hukum menginginkan parlemen Indonesia berjumlah lebih sederhana dari yang ada selama ini maka syarat pembentukan fraksi sekurang-kurangnya terdiri dari 75 anggota tentulah dapat dipertimbangkan.

Tulisan Terkait

Husnu Abadi, Ph.D., Fakultas Hukum UIR

 

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan