Melayat Sitor dalam Puisi: Catatan Shafwan Hadi Umry

134

Penyair Sitor Situmorang kelahiran Harianboho (1923-2014) Sumatra Utara dapat digolongkan sastrawan terkemuka di Indonesia. Buku Kritik sastra H.B. Yassin menempatkan Sitor dalam jajaran sastrawan Indonesia seperti Ajip Rosidi, Subagio Sastrawardojo, Akhdiat Kartamiharja, dan lain-lain.

Ia meninggalkan Indonesia untuk berkelana di luar negeri ke Italia, Perancis dan Belanda. Pengembaraan yang dilakukan Sitor ke berbagai mancanegara tidak membuat ia kehilangan jejak tanah airnya, atau ketercabutan dari akar kultural Batak. Dia tidak pernah kehilangan bahasa Indonesia dan semangat pantun Melayu. Dia tetaplah ‘orang Batak’ yang menjaga tradisi leluhur dan menjaga jarak dengan pengaruh dunia global.

Beberapa puisi Sitor di bawah ini membuktikan bahwa ia adalah manusia Indonesia yang berakar dalam budaya lokal.

Saya pernah menulis tentang Sitor ‘Malin Kundang yang tak kembali’ dan ‘Lagu Gadis Itali’. (Mitos Sastra Melayu, 2010) Ia juga pernah singgah di Balai Bahasa Medan berceramah satu jam sebelum menuju kota Parapat bersama istrinya Barbara. (Medan Bisnis, 2013).

Betapa dapat dibayangkan manusia Sitor yang menjelang kepulangannya ke Danau Toba diamuk rasa ‘nostalgik tradition’ kerinduan kepada tanah kelahiran dengan segala adat dan tata krama hidup dan kehidupan masyarakat Batak.

duduk di restoran Orchad road
mengamati lalu lintas Singapura dari balik kaca
terbayang bagaimana aku
akan menanggalkan sendal langlang buana

Tulisan Terkait

lalu khusuk mengenakan pakaian adat
memimpin upacara sulang bao
sebagai penyambung lidah kaum
……
Pada klimaks isi puisi tersebut ditutup oleh penyair dengan pernyataan:

aku besok pulang, tapi
seperti tak pernah pergi.

Kedua kalimat ini dapatlah digolongkan bahwa Sitor bukanlah seperti para penyair asing (Barat dan Timur yang merasa terbuang dari kampung halaman dan malangnya mereka tak berdaya mengatasi rasa alienasi-rasa terasing-dari tanah air). Sitor tetap berjaya menjaga dan memelihara tradisi lokal yang telah tertanam jauh dalam jangkar bumi Nusantara yang bernama Indonesia. Sitor bukanlah Si anak hilang.Ia tetap kembali untuk merangkul ibu dan bapaknya .

Dalam puisi ‘Si Anak Hilang’ (Yunus, dalam Hadi, 2010) betapa diceritakan Sitor pulang kampung kembali berkumpul dengan ayah dan ibunya.

Si anak hilang kini kembali
tak seorang dikenalnya lagi
berapa kali panen sudah
apa saja telah terjadi
——-
malam tiba ibu tertidur
Bapa sudah lama mendengkur
di pantai pasir berdesir gelombang
tahu sianak tiada pulang

Kebahagiaan orangtua yang menantikan kepulangan sang anak, tapi anak sendiri tahu bahwa yang pulang hanya tubuhnya, hatinya tidak; ia tetap si anak hilang. Hal ini membuktikan hakikat perkembangan zaman yang dikuasai teknologi suatu ‘condisi sine quanon’ sesuatu yang memang terjadi. Kita tidak hidup lagi dalam “tradisi”, kita telah menjadi orang lain.

Kemajuan zaman dan perubahan sosial menyebabkan manusia mengambil jarak dari sekitarnya. Setiap priode sastra ada masanya dibaca, diingat dan dilupakan. Kesadaran untuk melawan lupa, maka puisi hendaklah dicatat dan dituliskan. “Semuanya perlu dicatat, dan semuanya dapat tempat”, tulis Charil Anwar –sang penyair si anak Medan yang tumbuh besar di akarta dan pada akhirnya tenggelam beratus ribu tahun. Kita pun tetap mencatat Sitor Situmorang sang gelandangan intelektual dan penyair sepanjang zaman.*

 

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan