Istana Tanpa Mahkota
MUTIARA percaya –dan selalu percaya- bahwa rumah bagi keluarga yang bahagia adalah istana. Ada kesejukan terpancar bagi orang-orang sekitar, ada pula kedamaian bagi penghuni di dalamnya. Sewaktu masih gadis dulu, cerita-cerita Emak dan Nenek telah membuainya agar cepat-cepat membangun istana rumah tangga itu. Dengan demikian mereka akan tampil sebagai raja dan permaisuri.
Bukannya Tiara, begitu biasanya ia dipanggil, tertipu oleh cerita-cerita indah emak dan neneknya ketika enam tahun lampau ia menerima penangan dokter Hasan. Sekali-kali bukan. Sebab, saat mengambil keputusan untuk menikah, Tiara merasa sudah saatnya, usianya sudah 28 tahun. Bagi perempuan-perempuan di kampung, usia itu kadang kala dianggap sudah terlewat matang. Makanya perempuan cantik dengan kulit putih berdagu runcing itu tak pernah menyesali perkawinannya. Apalagi ia selalu mempercayai peruntungan jodoh ada di tangan Tuhan.
Mengapa harus menyesal? Begitu suara Tiara mematut-matut nasibnya. Dokter Hasan yang sehari-hari berkerja di sebuah rumah sakit, kemudian membuka praktik sendiri sore hari, telah membawa Tiara ke jenjang kehidupan yang sarat dengan kemewahan. Dokter Hasan memang berpikiran maju, sangat maju.
Dokter berpenampilan necis dengan rambut agak berombak itu telah menyulap kehidupan Tiara sebagai permainsuri yang selalu berdandan cantik serasi. Pengalamannya bertahun-tahun di Eropa memjadi inspirasi penampilan sosok isterinya. Masih ada memang bias-bias Melayu pada penampilan Tiara, namun tampaknya akar tradisi yang telah membesarkannya itu nyaris tercerabut.
Dua tahun seatap dengan dokter Hasan, mampu melepaskan pola tradisi prilakunya. Acung sembah dengan tubuh sedikit membungkuk ketika menerima tamu tetua kampung tak ada lagi.
Bayangan tentang tradisi yang begitu pekat seperti diajar neneknya, kian lama menghilang. Tiara bagaikan menemukan bentuknya sendiri selama berdampingan dengan suaminya. Tak terhindari, tabiat suaminya pun mempengaruhi perempuan bertubuh semampai dengan pinggul bak pelepah pinang yang masih melekat di batang.
Kedatangan emak petang tadi tenyata begitu membekas di batin Tiara. Pasalnya, emak selalu bertanya soal keturunan. Usia perkawinan enam tahun sudah terlambat mendapatkan anak. Meskipun rumpun keluarga Tiara terbilang sangat subur, karena hampir semua sanak familinya mempunyai anak banyak.
“Masih belum juga ‘berisi’ perutmu, Ara ?” tanya emak dengan langgam Melayu yang totok. ‘Ara’ panggilan khas emak kepada Tiara. Selain panggilan itu berasal dari singkatan nama si anak, Ara merupakan sebutan orang-orang tua di kampungnya untuk anak perempuan Melayu.
Tiara tak menyahut. Wajahnya tiba-tiba lembab dan menunduk. Sekilas terbayang wajah dokter Hasan yang kaku dan tegang bila menyinggung soal keturunan. Suaminya tak pernah memberikan restu pada Tiara untuk melahirkan seorang anak pun. Maklumlah, ketika dokter Hasan menikahi Tiara sebenarnya lelaki itu baru saja bercerai dari isteri yang telah membuahkan lima anak yang beranjak dewasa.
“Bagaimana, Ara ?” sekali lagi emak mengejutkan Tiara.
“Oya, Mak. Mungkin Tuhan belum hendak memberi…”
“Suamimu kan dokter, apakah tak ada kerabat sesama dokter yang ahli kandungan? Sudahkah kalian berusaha?” Emaknya mendesak. “ “Semuanya sudah diupayakan. Ya, sekarang tinggal berdoa,” sahut Tiara berusaha mengelabui emaknya.
Percakapan dengan emak sulit sekali lepas dari pikiran Tiara. Dia mengerti harapan seorang emak untuk menimang cucu-cucunya. Bukan emak belum pernah menimang cucu, tapi sebagai anak bungsu emak sangat mengharapkan cucu dari anak terakhirnya. Keempat kakak Tiara rata-rata sudah memberi cucu tiga sampai enam anak.
Tampaknya menimang cucu buah pernikahan Tiara dengan Dokter Hasan bagi emak akan memiliki kepuasan yang lebih dari sebelumnya. Apalagi, sering perempuan tak beranak di kampungnya menjadi celaan orang-orang ramai pula. Tuduhan perempuan mandul memang sangat tidak menyedapkan hati. Hamil, meskipun sekali dalam seumur hidup sudah cukup menjadi perlambang akan keberuntungan nasib seseorang. Bukan main lega hati seorang emak begitu mendengar anaknya yang dinikahkan selang setahun akan melahirkan anak. Barangkali suasana itu lah yang tak bakal didapat oleh Tiara.
Dokter Hasan sejak beberapa bulan perkawinan sudah menetapkan sebuah keputusan yang tak bisa diutak atik lagi. Tiara tak boleh hamil dan punya anak. Dia cukup menjadi perhiasan istana yang dibangunnya. Tak salah lagi, kemolekan Tiara memang selama ini hanya menjadi buah bibir dan menimbulkan decak kagum kawan-kawan sekerja suami. Dalam setiap resepsi, Tiara hadir dengan mesra merangkul pinggang suaminya yang bertubuh gempal. Pandangan sejuta mata yang menusuk lika-liku tubuh isterinya dalam balutan kebaya yang seksi tak jarang membuat banyak lelaki menahan napas. Dokter Hasan merasakan kebanggaan dan kenikmatan saat orang-orang mengagumi isterinya.
Semestinya Tiara bahagia hidup di rumah besar yang setara istana itu. Suatu ketika, Tiara benar-benar merasa terhibur menyaksikan istana miliknya itu. Pasalnya waktu kecil dulu, sambil berenang-renang di tepian sungai Siak yang merah airnya, Tiara bersama teman-teman kecilnya, terpanah menatap kemegahan Istana Assyerayah yang putih ranum itu. Sekarang ia memiliki istana impian itu, tapi makin lama tinggal di situ ia makin sadar bahwa ada sesuatu yang lenyap dari kesempurnaan dirinya. Betapa pun Tiara selaku perempuan tak bisa membohongi naluri keibuannya. Dia ingin menimang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Dalam hati kecilnya kini hanya ada satu tuntutan kebutuhan, yaitu anak. Kata-kata emaknya telah menyulut semangatnya untuk kembali mengulangi permintaannya kepada suaminya.
“Rasanya hidupku semakin tak sempurna tanpa seorang anak. Apa lagi emak sering pula bertanya-tanya. Masih belum cukupkah Abang memberi siksaan hidup dengan hanya perlimpahan harta benda saja ?” suara Tiara bergetar hati-hati.
Dokter Hasan tak berpaling. Matanya yang nyalang bak elang hendak menyambar anak ayam terhujam tepat di layar TV. Antena parabola telah memberikan segala bentuk hiburan pada kehidupanya.
“Aku sungguh tak mengerti Tia, apalagi yang kurang untukmu? Segalanya sudah ku berikan. Kamu menikmati kemewahan, tak masuk akal kalau kamu masih saja menuntut soal anak,” ucap dokter Hasan dengan heran.
“Anak itu kebutuhan jiwa Bang. Abang boleh tanya perempuan mana yang tak ingin punya anak dari rahimnya sendiri?” balas Tiara dengan semangat.
“Alaaah…Itu hanya pengaruh kata-kata emakmu saja.”
“Abang ! Emak memang punya keinginan yang besar menimang cucu yang lahir dari perkawinan kita. Tapi lebih dari itu, akupun sangat merindukan anak sebagai kawan bermain di rumah ini bila sedang sendirian.
“Kalau hanya itu, seribu anak pun bisa kudatangkan saat ini juga, tapi kau tak memahami batinku.”
“Maksud Abang apa ?” Tiara heran. Butir-butir airmata mulai mengalir di pipinya.
“Tiara, coba pahami pikiranku. Aku ingin menjaga kemolekanmu. Betapa serasi seorang perempuan cantik menghuni istana ini. Berada dalam gelimang harta yang siap menghidupi sampai kapan pun,” tegas suaminya seraya menyebut deposito yang ratusan juta dengan kekayaan yang tak terhitung banyaknya.
“Terimakasih dokter budiman. Aku sudah cukup bahagia dengan kelebihan hanrta ini. Aku menginginkan kekayaan alamiah. Aku butuh seorang anak yang siap mewarisi hidupku. Aku ingin menjadi seorang ibu bagi anak-anakmu,”
“Kata-katamu meracau Tiara. Anak bukan satu-satunya penyempurnaan kebahagiaan seseorang. Betapa banyak pasangan yang tak beranak sepanjang hidupnya. Mereka juga bisa bahagia.”
“Itu hanya pikiran orang-orang yang berada di puncak kesuksesan. Sudah sampai di atas, lupa anak tangga yang dituruni. Aku belum pernah sampai di sana, aku baru menapak di bawah. Seorang anak tak ubahnya menjadi satu baris anak tangga yang mesti kutapaki. Terus terang, aku belum pernah menaiki anak tangga itu. Abang tak pernah memberikan kesempatan.”
“Sudah hebat kau sekarang. Mengajariku dengan bidal dan tamsil. Sudah kau gunakan segala kelebihan harta di rumahku ini untuk menambah kepandaianmu. Lalu kepandaian itu kau muntahkan untuk mengajariku,” dokter Hasan semakin naik darah.
Tiara masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Ratapannya kian keras, dia makin terbelenggu oleh kemelut, dan suaminya tak peduli.
Pertengkaran demi pertangkaran semakin menumbuhkan rasa tawar dalam rumah tangga Tiara. Perempuan berlesung pipit dengan senyum yang menawan itu semakin sadar bahwa istana yang dihuninya bertahun-tahun itu hanya istana kosong belaka. Istana tanpa mahkota. Orang-orang di luar memandang sebagai kemegahan, namun Tiara merasa hampa. Hari-harinya dilalui dengan bermenung saja.
Dalam suasana nestapa ini tiba-tiba suaminya membawa seorang bayi dari sebuah panti asuhan. Bayi itu berkulit putih dengan raut muka mirip Tiara. Dokter Hasan memberi hadiah bayi yang diidamkan Tiara.
“Tapi bayi ini bukan dari rahimku,” tolak Tiara dingin.
“Ini jalan yang paling tepat, Tia. Kau dapat menimang anak tanpa merusak kemolekanmu,” ujar dokter spesialis paru itu.
Tiara tak bisa membohongi kenyataan. Bayi yang diberi nama Hastia -akronim Hasan dan Tiara- itu lebih banyak berada di pangkuan Mak Sawiyah, pembantunya. Hati Tiara belum terobati. Dia masih menginginkan kelahiran bayi dari rahimnya sendiri.
Harapan dan impian Tiara untuk memiliki anak sukar dipadamkan. Diam-diam dia menghubungi Dokter Leonar, pacarnya di masa SMA dulu. Waktu itu Leonar duduk di jurusan IPA dan Tiara di IPS. Mereka berpisah saat Leonar harus melanjutkan pendidikannya ke fakultas kedokteran di jawa. Dua tahun setelah itu, hubungan mereka terputus begitu saja. Selanjutnya Tiara berada dalam dekapan dokter Hasan yang usianya jauh lebih tua.
Dokter Leonar mendengarkan semua keluh kesah Tiara. Apalagi keahliannya di bidang jiwa sangat membantu Tiara menemukan jalan keluar terbaik.
“Bersabar saja. Sadari kedudukanmu. Kamu adalah isterinya. Mudah-mudahan kelak dia berubah,” kata dokter Leonar yang bertahun-tahun menjalankan profesi sebagai psikiater itu.
“Kamu tak usah menghiburku, Leon. Aku tak butuh petuah-petuah konyol yang hanya meninabobokan sesaat. Aku butuh seorang anak,” tegas Tiara.
“Menurutmu apa jalan keluarnya?” giliran dokter muda itu yang menyela.
“Maukah kau memberiku seorang anak. Dari benihmu, cukup seorang,” ucap Tiara Lirih.
Dokter Leon terperangah. Langit-langit di ruang praktiknya petang ini terasa berputar cepat. Ditatapnya wajah Tiara yang cantik, perasaannya luruh.
“Kita sama-sama dewasa Tia, Bukan anak SMA lagi. Ingat kedudukan kita masing-masing. Kamu milik dokter Hasan, dan aku ayah dari dua anakku.”
“Sungguh Leon, bersediakah kamu memenuhi permintaanku?” Tiara memelas.
Hati Leonar bertarung, satu sisi melintas rasa setiakawan dengan pengkhianatan pada isterinya. Dia dilanda kebimbangan. Namun tatap mata Tiara yang memelas tak mampu dielakkannya.
Tiga bulan kemudian tiara hamil. Dengan sukacita Tiara menyampaikan hal itu pada suaminya.
“Tidak Tia, pasti telah terjadi perselingkuhan. Semestinya kamu tidak bisa hamil bila benih itu dariku,” bantah suaminya dengan keras.
“Bagaimana tidak, Bang, inikah karunia Tuhan. Akhirnya doaku, doa Emak dan doa Nenek makbul juga. Aku sungguh bahagia karena tak lama lagi istana ini akan memiliki mahkota,” bela Tiara.
Dokter Hasan mulai berpikir-pikir. Hubungan badan yang selama ini dilakukan dengan cara coitus interruptus apa mungkin bisa membuahkan bayi. Seolah percaya dan tidak, dokter Hasan tetap menuding Tiara telah berbuat serong.
Tiara tidak peduli pada tudingan suaminya. Kerinduan memiliki bayi mungil yang siap ditimang-timang mengalahkan seluruh perasaannya. Kebahagian itu diberitakan ke seluruh sanak familinya, terutama emak dan nenek di kampung.
Dokter Hasan semakin diamuk keraguan yang maha dahsyat. Dalam kebimbangan ia terus mencari peluang-peluang jawaban yang mendekati kebenaran. Mengapa Tiara bisa hamil? Seorang kenalannya dokter spesialis kandungan meyakinkan, cara dokter Hasan menggauli isterinya bisa saja membuahkan janin.
Berada di antara keraguan yang panjang, dokter Hasan pun menyambut kelahiran bayi mungil itu. Tangis bayinya serasa memecahkan kekosongan istana. Namun dokter Hasan seakan terlempar dalam kekosongan lain di sudut istana. Hatinya kosong ditusuk kebimbangan yang panjang.***
Pekanbaru, 9203