Cerpen : Matahari Tak Terbit Pagi Ini – Fakhrunnas MA Jabbar

7,109
Tulisan Terkait

Rempang: Husnu Abadi

Berita Lainnya

Merenda Hari | Puisi : Hanani

Loading

Matahari Tak Terbit Pagi Ini

PERNAHKAH  kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu  dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya.

Seperti hari ini, matahari tak terbit sama sekali. Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada  helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum selama ini. Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan kemilau cahaya tetapi selama ini sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu. Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau tapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari liang langit, tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya.

Kaulah matahari  itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga tak  terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah langit menuju  sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa  melewati jejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana luhl mahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh dipisahkan lempengan waktu. Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan..kita pun bertemu lagi kemudian dengan perasaan yang asing hingga  kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya. Tapi, kau memang telah menjadi dirimu sejak lama. Aku pun.

Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik  cahaya matahari, kita bertatap muka  penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu dengan lain mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Papavarotti. Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah baru.  Bagaikan sepasang angsa putih yang menari-nari di bawah gemerlapan cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat ratusan kitab, laksa aksara.  Namun, setiap perjalanan pasti ada ujungnya. Setiap pelayaran ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca  benderang niscaya ditingkahi temaram bahkan  kegelapan.

Matahari memang tak terbit pagi ini. Siapa pun di sini terpercik kegelapan. Andai kau juga ada di sini, akan menyerahkah untuk kalah? Aku tak. Seperti langkah Sang Sapurba yang turun dari Bukit Seguntang dulu hingga menyemai akar-akar  Melayu di antara pertembungan Riau-Johor-Tumasik hingga Malaka, Siak atau Pekantua.  Hingga juga ke hamparan pulau-pulau yang terkepung di Selat Melaka. Ya,  tanah leluhurmu dan kampung halaman mu pula. Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, maka dirimu boleh jadi termaktub dan pohon ranji sejarah itu. Boleh jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri atau pun Tuanku Putri yang molek. Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah, Puan Bulang Cahaya atau pun siapa saja yang pernah mengusung regalia kerajaan yang membesarkan marwah perempuan.

Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kutub kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan tumpukan warna di kanvas yang penuh garis dan kata-kata    sebab  lukisan agung ini  tak kunjung  selesai. Masih diperlukan banyak sentuhan  kuas dan cairan cat warna-warni hingga lukisan ini mendekati sempurna. Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang tanpa batas.

Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar. Tiap pintu dan tingkap dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu temaram memburaikan janji-janji. Sebuah percintaan agung sedang dipentaskan  di bawah arahan sutradara semesta. Kau  membilang percik air yang berjatuhan di danau kecil di sudut pekarangan jiwa dalam kecup dan harum mawar.  Bahkan, tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus kisi-kisi tingkap hingga jadi begitu dingin. Malam-malam penuh mimpi dan keceriaan   bagaikan sepasang angsa yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu beningnya.  Kau  redupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah dapat dituliskan secara khidmat dan penuh makna. Kau menatap langit-langit kamar sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis dengan desah napasmu.  Kita merecup semua getar irama percintaan  itu tiada batas.

Malam itu siapa pun  tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaka. Selebihnya sunyi menyebat kita dan tiupan angin yang  melompat lewat kisi-kisi jendela yang agak terdedah. Dengan apakah kulukiskan pertemuan kita,Kekasih? Chairil sempat bertanya seketika.

Ah, tak cukup kata memberi makna, katamu. Dan isyarat sepasang angsa yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang kita pun sudah pula bertanam dan menebar benih. Kelak, katamu, akan ada buah yang bakal dipetik sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi tanpa paksa dan janji. Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak dapat menangkap fotosintesa matahari. Di tiap helai daun itu bermunculan nama kita sebagai sebuah keabadian.  Andai matahari tak terbit lagi saat pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun yang berguncang dihembus angin sepanjang hari.

Sungguh, matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu yang berhari-hari menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di jiwa. Percintaan ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan kupu-kupu  yang menyemai spora di mahkota bunga.

Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit memeluk bumi. Tapi, bagi kita, kala berada jauh, keadaan begitu gelap dan sunyi  tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang terenggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercerabut dari akar yang semula menghunjam jauh di tanah. Kita bagaikan orang tak punya pilihan saat berada  di persimpangan tak bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat bertuju di perjalanan berikutnya. Hidup ini penuh gurindam dan bidal Melayu yang memagari ruang dan langkah kita menuju titik terjauh  yang harus dilompati. Kata-kata  yang berdesakan di bait puisi dan lirik lagu menebar wangi hari-hari.

…………

takkan kutemui wanita seperti dirimu

takkan kudapatkan rasa cinta ini

kubayangkan bila  engkau datang

kupeluk bahagia kan daku

kuserahkan seluruh hidupku

menjadi penjaga hatiku

            Suara Ari Lasso lewat Penjaga Hati itu mengalir pelan-pelan dari tembok-tembok kegelapan  yang mengepungku.  Benar kata emak dulu, kita akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi berada jauh yang tak tersentuh.

            Matahari tak terbit pagi ini. Begitulah kita merasakan saat diri kita berada di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk mempertemukan kedua tebing kutub itu. Atau, kita harus kuat merenangi laut salju yang kental atau menyelam di bawah bongkahan es yang dingin menyengat tubuh. Begitu diperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu yang lenyap begitu cepat saat diri memerlukan setitik cahaya.

            Apa perasaanmu kini? Kau telan kesendirian itu di kejauhan sambil berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kisi hati yang tersaput luka rindu kita. Andai kita bisa menolak gumpal awan dan menyeruakkan matahari kembali, begitulah  takdir yang hendak kita  bentangkan di kitab sejarah sepanjang masa. Tapi, kita akan cepat lelah. Menyeruakkan awan untuk menyembulkan garang matahari bukanlah hal yang mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukkan segenap awan dan matahari itu.

Kau ingat ‘kan, kisah Qays dan Laila atau Romeo dan Juliet yang memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang. Kau pun ada dalam bagian kisah yang tak pernah lekang di panas dan  lapuk di hujan itu. Selalu ada manik-manik kasih mengalir di samudera kehidupan yang maha-luas ini. Meski kadangkala suaramu tersekat melempar tanya kala anugerah kasih ini terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa waktu yang masih tersedia meski semua jalan yang terbuka di depan bagai tak berujung jua.

 “Aku takut bila aku berubah…Tapi, tak akan pernah, pangeranku” ucapmu pelan.

3600 detik/ 7 hari/ 365 hari…garis panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit diraba. Banyak ancaman yang siap mengepung kita hingga merobek tabir setia. Ya, kesetiaan  tak kasat-mata. Hanya ada di bilik hati. Ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintu hati itu tak setiap waktu bisa terbuka.

Andai kau bangun esok pagi, nantikan selalu matahari akan terbit seperti janji yang diucapkannya pada semesta. Di helai cahaya matahari itu selalu ada kehangatan yang meresap di  keping-keping jiwamu.

Aku pun.***

Pekanbaru-Jakarta, 071007

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan

3 Komentar
  1. Hendra mengatakan

    Mashokkk

  2. It's dis?? probably mengatakan

    Setiap masa ada orang nya setiap orang ada masanya
    7 November 2023

  3. Adinda yassirly amrilla mengatakan

    Setiap yang datang akan pergi dan setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan