Cerpen Laila Suryani: Lanting

61
Tulisan Terkait

Rempang: Husnu Abadi

Berita Lainnya

Loading

LANTING

Sweater(1) lembut berbahan kulit domba itu tak mampu meredam rendahnya suhu malam. Meringkuk di sudut ruangan, gemelutuk gigi beradu. Mencoba mencari kehangatan dengan menggosokkan kedua tangan berkali-kali. Sia-sia. Lelaki paruh baya berkulit kecoklatan itu lalu memejamkan mata. Rekaman peristiwa berkelindan di benaknya.

***

Bulan merah saga menyeruak dari balik awan. Cahayanya memendar, menyinari kegelapan. Lanting(2) di tepi Sungai Indragiri itu bergoyang oleh ombak akibat deru speed boat(3) yang melaluinya. Pasang maksimum akibat gravitasi bulan ini diperparah dengan curah hujan yang hampir tiap hari turun. December rain(4).

Terbayang di matanya, saat sang istri meringis kesakitan, nampaknya akan segera melahirkan. Bergegas dia turun dan meminta istrinya menunggu. Dia akan menjemput bidan dan seorang wanita setengah tua yang biasa membantu di Lanting-nya. Namun pasang dalam yang dikenal dengan nama “Pasang 13” menyusahkannya untuk cepat sampai ke tujuan.

Sementara itu, di waktu yang bersamaan, istrinya hilir mudik di dalam Lanting, menanti si lelaki yang sedang memanggil bidan. Melongok keluar, berharap dia segera datang. Atau ada yang memberikan pertolongan.

Malam semakin menjelaga, sesekali terdengar kecipak air dan kayuh sampan di kejauhan. Dengan menahan rasa sakit karena ketuban yang sudah pecah, si wanita naik ke atas katil(5) dan berbaring di tilam. Menyiapkan air panas dan berjuang sendirian. Peluh membanjir di sekujur tubuhnya. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Berulang-ulang. Setelah berjuang sekuat tenaga, di detik ke-enam puluh, dengan satu sentakan kuat, suara tangisan menyeruak ke angkasa seiring dengan pintu Lanting yang terbuka.

“Astaghfirullah… Allahu Akbar!” teriak mereka bersamaan. Dengan segera perempuan tua dan bidan menangani semuanya. Membersihkan bayi dan memintan Dia mengadzankan. Lalu mulai membantu si Ibu yang tampak lemah dan kelelahan.

Meletakkan bayi di samping ibunya, Dia, si lelaki menatap sang istri yang matanya tetap terpejam. Lalu menggenggam tangan yang terasa dingin. Perlahan kedua netra sang istri terbuka.

“A’…. Titip anak kita.”

Lalu, mata sayu milik perempuannya itu terkatup selamanya. Dan seperempat malam itu pun diwarnai derai air mata.

***

Ritual pemakaman baru saja usai. Banyak mata menatap iba padanya, si lelaki 30 tahunan dan bayinya. Dia yang selama ini menghabiskan waktunya berjualan sarapan dan lauk di Lanting tersebut. Bersama almarhumah istri dan dibantu Cik Isah, perempuan setengah tua yang membantu di sana. Memasak, membereskan serta mencuci peralatan masak dan piring kotor bekas pelanggan yang makan minum di Lanting tersebut. Juga melayani pembeli. Untuk urusan bahan dapur dan masakan, biasanya Dia dan istrinya yang naik ke daratan dan pergi ke pasar.

Pelanggan mereka rata-rata adalah buruh pelabuhan atau nelayan dan supir boat. Terkadang, ada juga beberapa pelanggan lain yang sengaja turun ke Lanting karena ingin menikmati sarapan pagi sambil duduk menikmati pemandangan Sungai Indragiri dan angin laut.

Masakan istrinya terkenal enak. Laris manis. Berbagai masakan olahan Banjar ada di sana. Pulut Serundeng dengan lauk sambal ikan teri atau udang Bajang, lontong dan laksa serta lepat dengan kuah kentang dan udang kecil, serta Nasi Habang atau Nasi Kuning berlaukkan Ayam atau Telur Masak Habang. Ada juga Pulut Panggang, Wadai Amparan Tatak, Bingka Kayapu, Kararaban, Roti Pisang, dll. Untuk minum, ada teh manis, the tawar, kopi, teh es, serta teh telur.

Biasanya Dia yang menyiapkan minuman untuk pelanggan, sedang sang istri yang menyiapkan makanan. Untuk kue yang tersedia di Lanting yang merangkap jadi warung dan tempat tinggal ini, biasanya dari warga sekitar yang menitipkan jualannya untuk di jual di Lanting tersebut. Sementara perempuan tua yang biasa mereka panggil Cik Isah, membantu melayani pembeli dan mencuci peralatan dan piring serta gelas kotor. Wanita setengah tua ini telah beberapa tahun membantu di situ dan sudah seperti keluarga.

Malam itu, Cik Isah hanya bekerja sampai sore karena anaknya baru datang dari desa sekitar. Sudah beberapa hari ini, perempuan tersebut, tidur di Lanting. Kuatir sewaktu-waktu istrinya akan melahirkan. Namun, menurut perkiraan bidan, sang istri akan melahirkan seminggu lagi, sehingga Dia dan istri mengizinkan Cik Isah untuk tidur di rumahnya sendiri.

Dia dan istrinya memutuskan untuk menutup Lanting lebih cepat. Tidur lebih awal agar bisa bangun lebih cepat menyiapkan dagangan untuk kesesokan harinya. Namun, tak dinyana, di hampir seperempat malam, istrinya mengeluh kesakitan. Ingin dibawa naik, air pasang dan menggenangi jalanan, apalagi sedang gerhana bulan yang dipercayai sebagian masarakat menjadi pantangan bagi wanita hamil untuk keluar rumah.

Bergegas menuju rumah Cik Isah lalu bersama perempuan itu bersegera menjemput bidan. Namun, apalah daya, secepat apapun mereka berusaha sampai di Lanting, nyawa istrinya tak tertolong.

Banyak hal yang Dia sesali. Andai Dia datang lebih cepat, andai istrinya dari awal tinggal di rumah Cik Isah menjelang kelahiran, seperti saran wanita itu. Timbul rasa benci pada diri sendiri. Juga pada anak lelaki yang menyebabkan istrinya tiada.

Anak yang memiliki tanda lahir di pipinya ini tak lagi Ia hiraukan. Cik Isah-lah yang merawat anak tersebut. Perempuan yang tak tega melihat sang anak terbiar, memutuskan membawa anak tersebut tinggal bersamanya. Mendidik dan menanamkan hal baik seperti ajaran yang perempuan itu tanamkan pada anak-anaknya. Sesekali, perempuan yang beranjak semakin tua ini membawa sang anak padanya, walau tak sekalipun lelaki ini menunjukkan rasa cinta dan sayang pada sang anak.

Kini, usaha Lantingnya pun merosot tajam, sejak kematian perempuannya itu. Ditambah lagi beberapa warga turunan Tionghoa dan masarakat sekitar yang mendirikan toko di sepanjang sungai dan banyaknya warung yang berjualan makanan dan mudah diakses oleh pembeli.

Usianya saat ini sudah tak muda lagi. Warna keperakan menghiasi rambutnya. Tenaga pun tak sekuat dulu lagi. Kadang Dia menggigil sendirian. Berkali-kali Cik Isah, warga sekitar dan sang anak mengajak tinggal di daratan. Namun semua ditolak. Baginya Lanting dan kenangan akan sang istri merupakan segala-galanya. Dia akan setia bersama Lanting tersebut, sampai sang waktu dan tangan Tuhan bekerja. Menjemputnya.

Anaknya, meski selama ini tidak Ia hiraukan, dengan didikan Cik Isah, tak pernah membencinya. Setelah tamat sekolah menengah atas, bekerja di sebuah institusi pemerintah dan menyewa sebuah rumah. Cik Isah sendiri sudah meninggal dunia setahun yang lalu dan rumah yang almarhumah dan anaknya tempati dijual oleh ahli waris dan sudah menjadi ruko.

Terkadang, si anak menginap di Lanting tersebut menemaninya. Namun tak bisa setiap saat karena pria dengan tanda lahir itu harus keluar kota untuk urusan pekerjaan. Lanting yang sudah menua sengaja dibiarkan tak diperbaiki, dengan harapan mengingat kondisi yang seperti itu, Lelaki Lanting ini mau tinggal di daratan bersama sang anak.

***

Malam yang dingin. Purnama bercahaya. Namun tak seorang pun hirau akan pendarnya yang bersaing dengan lampu jalanan. Lelaki Lanting itu meringkuk di sudut ruangan. Di atas katil kenangan, matanya terpejam. Sudah dua hari anaknya tidak berkunjung karena urusan pekerjaan di kota lain. Teringat istri yang dicintai yang sudah puluhan tahun meninggalkan dirinya, juga anak semata wayang.

Dengan berbalut sweater, perlahan Dia turun menuju dapur. Sesuatu menyesak perutnya dan harus dikeluarkan. Membuka pintu dan menuju jamban. Saat mengambil air, dindingnya berderak dan jatuh ke air.

***

Keesokan harinya tersiar kabar “Lelaki Lanting ditemukan tak bernyawa dan mengapung di permukaan Sungai Indragiri”.

=========== ********** ==========

Catatan: – Sweater (Ing.)        : Baju hangat

  • Lanting (Banjar)    : Rumah perahu
  • Speed Boat           : Perahu Layang/perahu bermesin.
  • December Rain     : Hujan Bulan Desember
  • Katil (Banjar)        : Tempat tidur terbuat dari papan/kayu
  • Laila Suryani dilahirkan di Negeri Seribu Parit, Seribu Jembatan, Tembilahan pada 01 Oktober 1970. Penulis dan penggiat literasi Inhil ini, menjabat sebagai Kepala SMPN 4 Tembilahan Hulu ini memiliki 4 orang putra. Pernah menjadi instruktur K-13 tingkat kabupaten dan Virtual Coordinator Training wilayah Kalimantan.

Untuk pemuatan karya sastra (Puisi, Cerpen, Pentigraf, Esai, Pantun, Kritik, Resensi, Peristiwa Budaya, dan tulisan sastra lainnya) silakan dikirim melalui surel:

redaksi.tirastimes@gmail.com

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan

1 Komentar
  1. Laila Suryani mengatakan

    Terima kasih Pak Bambang, cerpen saya sudah dimasukkan ke sini. Alhamdulillah