Kediktatoran Raja dan Perjuangan Budak Jelata (Sepucuk Ulas Hikayat Dewa Safri karya Afrizal Cik): Catatan Riki Utomi

67

Apakah sebuah kekuasaan yang dimiliki seseorang bersifat mutlak? Sejauh mana kekuasaan itu mampu bertahan pada diri seseorang? Dapat kita jawab dengan pandangan masing-masing. Kekuasaan—di daerah dan tempat manapun—pasti ada dan dimiliki oleh seseorang yang dipercayakan untuk memimpin. Namun bila ia terbuai, larut, dan lupa akan hakikat sebuah kuasa, hal itulah akan membuatnya lupa diri.

Kekuasaan yang bablas itu dapat membuatnya sewenang-wenang, jauh dari hakikat sebenarnya. Maka ia akan menjadi sosok diktator atau “bertangan besi” karena kekejaman yang dilakukannya terhadap orang-orang bawahannya (baca: rakyat). Muara dari hal tersebut dapat menyebabkan daerah yang dikuasainya akan chaos; kekacauan, ketimpangan, kecurigaan, kebencian akan timbul dan menjadi semakin marak yang berujung rusak.

Kekuasaan—apapun bentuknya itu—yang dimiliki oleh seseorang, terlebih pada seorang raja akan berdampak kepada kepribadiannya. Lebih jauh dapat ditelisik dari keimanannya. Seorang raja yang beriman, taat kepada ajaran agama (Islam), akan memiliki rasa patuh akan segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Ia akan cenderung melaksanakan syariat agama dengan baik. Dia akan sampai pada titik sadar bahwa kekuasaan bukan mutlak miliknya, bukan sampai dibawa mati. Sosok raja yang sangat sadar, tahu betul bahwa kekuasaan hanya titipan dari Yang Maha Kuasa, yang suatu saat hal itu akan lepas dari dirinya. Itulah sosok raja beriman yang didamba rakyat. Sedangkan raja yang tidak memiliki dasar iman yang kuat akan cenderung gelisah, gamang. Ia akan ketakutan, mudah tersulut emosi apabila ada sesuatu yang menggoyang merebut kekuasaannya, sehingga dirinya merasa tidak dapat nyaman dalam hidup. Semakin ia memikirkan hal itu semakin membuatnya bersikap egois; pemarah, tidak berpikir dalam mengambil keputusan, sewenang-wenang, angkuh, sombong, dan menjadi kejam.

Begitulah kisah awal dari Hikayat Dewa Safri (Dari Budak Buta Hingga Menjadi Maharaja) karya Afrizal Cik, S.Sos., M.Si. terbitan Asa Riau, cetakan kedua 2016. Sebuah buku cerita rakyat yang menggugah. Kisah yang memberikan gambaran perjuangan hidup tentang sosok anak manusia dari kaum jelata yang terlahir dalam kedaan buta hingga menjadi seorang raja yang bijaksana. Namun perjuangan hidupnya untuk mencapai prestise tertinggi itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak “batang terendam” yang harus diangkat oleh Dewa Safri juga kedua saudara kandungnya dalam menghadapi tantangan hidup, juga perjuangan mereka dalam menghindar dari buruan raja yang zalim.

Awal kisah, kedua orang tuanya mendapatkan sebidang tanah dari petinggi kampung. Sehingga suami-istri itu memiliki anak. Ketiganya laki-laki. Namun anak ketiga terlahir dalam keadaan buta. Hal itu sempat membuat kedua pasangan suami-istri itu down dan tidak semangat membesarkan Dewa Safri. Terpikir pula oleh mereka untuk memberikannya kepada orang lain. Namun karena kedua abangnya selagi kecil sangat senang dan sayang dengan Dewa Safri membuat suami-istri itu menepikan pikiran dan niat buruk itu.

Mereka tinggal di sebuah kerajaan yang dipimpin seorang raja. Namun wilayah itu sejak dulu dirasa tidak memiliki kemajuan oleh rakyat. Raja dan pembesar negeri sibuk dengan kemewahan. Larut dengan segala kenikmatan hidup tanpa memikirkan lebih jauh rakyatnya. Sehingga rakyat merasa tidak mendapatkan apa-apa dari kepemimpinan sang raja. Perangai orang-orang kerajaanpun semakin tampak sombong dan angkuh. Hingga suatu malam sang raja bermimpi buruk. Dalam mimpinya ia didatangi oleh raja terdahulu.

“Suatu malam manakala sedang tidur Raja Bara Alam bermimpi telah didatangi raja terdahulu, ‘wahai Bara Alam, dengarkanlah kata-kataku ini. Belum sempat engkau mati, maka kekuasaanmu sebagai raja akan terganti. Istri-istrimu akan lari. Engkau juga akan terkurung dalam bilik yang terkunci. Kemudian engkau mati dalam perigi….” (Hal: 37).

Timbullah gangguan teror mental bagi sang raja sejak mengalami mimpi buruk itu. Setiap hari terasa begitu mengusik. Sang raja pun meminta para ahli nujumnya untuk menerawang siapa gerangan yang berani mengganggu kekuasaannya. Setelah para ahli nujum beraksi dengan segala kesaktiannya, didapat sebuah kesimpulan yang sama bahwa sebuah keluarga dengan tiga orang anak laki-laki dan seorang diantaranya buta yang kelak akan menggoyang kuasa raja angkuh itu.

Teror segera dimulai. Atas titah sang raja, siapa saja yang memiliki tiga orang anak harus diangkut ke istana dengan diiming-imingi akan diasuh oleh keluarga raja. Namun disebalik itu, tentu terselubung niat jahat yang tidak terkira. Maka setiap keluarga menjadi cemas. Mereka mulai menyembunyikan anak-anaknya. Termasuk orang tua Dewa Safri yang turut menggigil mendengar maklumat tersebut.

Kisah ini—secara umum dapat kita katakan—senada dengan kondisi negara kita saat ini, bahwa kekuasaan yang jauh dari kepentingan rakyat akan berdampak kesenjangan sosial. Rakyat tidak merasa kesejahteraan, bahkan menjadi menderita; susah, cemas, dan terteror oleh hal-hal kebijakan absurd. Secara tidak langsung, kisah ini membawa pesan kritik sosial. Negara dengan pemimpin yang tidak memiliki kebijakan tepat guna untuk rakyat akan berdampak kesenjangan pada kehidupan rakyatnya. Para pemangku kuasa tidak lagi amanah, hanya sibuk memperkaya diri sendiri, kolega, dan keluarganya. Sedangkan dengan rakyat mereka lupa (atau sengaja?) sehingga rakyat menjadi tetap miskin dan terus terbelakang.

Pada masa lalu (baca: zaman kerajaan) hal-hal seperti ini juga pernah terjadi dan akhirnya membuat suatu wilayah tersebut mengalami kemunduran karena para elit penguasa tidak memiliki kompetensi sebagai wakil rakyat. Meskipun sosok tersebut adalah seorang raja. Sekelas raja, juga pada dasarnya seorang manusia (rakyat) biasa yang “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan manusia-manusia yang ada di wilayahnya. Seorang yang dikatakan raja juga harus mengerti betul “dimana bumi di pijak, disitu langit di junjung.” Sebab dengan hal itu ia akan sadar untuk menempatkan sesuatu pada kadarnya.

Kisah hikayat ini juga hampir mirip dengan kisah kediktatoran Fir’aun pada masa Nabi Musa AS. Dimana sebagai raja, Fir’aun mengambil keputusan untuk membunuh setiap anak laki-laki yang dimiliki oleh rakyatnya. Hal itu karena ketakutan akan kekuasaannya yang suatu masa nanti akan digantikan oleh kalangan Bani Israil. Maka dengan sewenang-wenang ia berlaku kejam terhadap rakyatnya, kaum Bani Israil. Namun Allah SWT Maha Pelindung akan hamba-Nya. Atas ilham dari-Nya, Ibu sang Nabi menghanyutkan Nabi Musa yang masih bayi ke Sungai Nil untuk diasuh oleh keluarga Fir’aun.

Dalam kisah Hikayat Dewa Safri ini, sang Raja Bara Alam juga berperangai serupa Fir’aun. Ia memiliki watak sombong, angkuh, sangat merendahkan rakyatnya. Kedudukannya sebagai raja membuatnya berdiri di atas angin, lupa akan hakikat hidup. Sehingga kian lama, rakyat tidak menaruh suka lagi padanya. Dari mimpi buruknya itulah ia mulai melancarkan kekejaman dan menunjukkan kediktatorannya sebagai raja absolut. Perintahnya kepada seluruh pengawal dan para penghulu agar melacak (mendata) setiap keluarga di wilayahnya yang memiliki anak laki-laki tiga orang yang seorangnya buta. Maka aksi bengis itupun gempar dan membuat rakyat menjadi ketakutan. Sebagian anak laki-laki sudah berhasil dipaksa menuju ke istana tanpa tahu sebab-musabab dan dengan kepergian yang membuat cemas para orang tua.

“Warkah itu diambilnya, dikeluarkan dari buluh sampulnya. Tertulis di warkah itu, ‘untuk keamanan negeri, maka raja memerintahkan menangkap anak laki-laki tiga bersaudara yang ada di tiap-tiap kampung sebelah timur negeri. Datuk Penghulu juga dibenarkan untuk membunuh langsung tiga anak laki-laki bersaudara”. (hal: 55-56).

“Bunyi telapak kaki kuda hulubalang raja selalu saja terdengar di kampung Jelutung. Mereka senantiasa memandang dan memperhatikan anak-anak bermain. Setelah itu, mereka bertanya kepada setiap anak yang mereka temukan tentang jumlah saudaranya.” (hal: 73-74).

Perintah yang sangat memaksa dan bengis. Sampai-sampai semua hulubang dan para penghulu juga dituntut untuk menjadi kejam. Mereka seperti dituntut menepikan atau menghilangkan nurani sebagai manusia. Pertanyaannya, apakah semudah itu nurani manusia menjadi hilang? Tidak adakah sama sekali “hati kecil” yang ikut berbicara tentang ketidakadilan? Hal ini hanya dapat dijawab bagi mereka yang masih memiliki kadar iman. Barangkali, hal inilah yang masih dimiliki oleh Hang Jebat dalam Hikayat Hang Tuah. Ia berani memberontak sekalipun harus dicap sebagai “pendurhaka” karena telah mengamuk di dalam istana. Namun, setidaknya kita sepakat bahwa yang dibela oleh Hang Jebat adalah kebenaran, tentang keadilan. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia benar dan melawan secara agresif adalah tuntutan keadaan, juga menunjukkan kepada mereka yang “penjilat” itu, bahwa raja bukan segala-galanya dan raja yang diktator harus dihentikan. Artinya, Hang Jebat masih memiliki kadar iman dan hati kecil yang masih waras meskipun dalam konteks kehidupan masa lalu dicap sebagai perbuatan lancang.

Kisah Hikayat Dewa Safri juga memiliki kesan senada. Akibat kediktatoran sang raja, membuat rakyat gelisah. Tapi Afrizal Cik sebagai penulis tidak memunculkan tokoh hero seperti Hang Jebat dalam hal ini. Tokoh utama Dewa Safri juga tidak pula di hanyutkan ke sungai seperti kisah Nabi Musa sewaktu bayi. Tetapi penulis memberikan alur kisah lain yang mengajak pembaca untuk merasakan perjuangan sejati anak laki-laki tiga bersaudara demi bertahan hidup dari kekejaman rajanya.

Orang tua Dewa Safri semakin gelisah memikirkan nasib ketiga anaknya. Bagaimanapun suami-istri itu tidak sampai hati bila suatu ketika akan ditemukan oleh hulubalang raja. Tetapi dengan penuh keyakinan dan rasa sayang kedua abang Dewa Safri, Bujang Kuntang dan Bujang Kuntung, untuk tetap menjaga adiknya yang buta itu terus saja kuat. Keduanya meminta izin melarikan diri keluar dari kampung untuk hijrah ke negeri lain melewati hutan. Namun, siapa yang tega dengan tekad anak kecil seusia itu? Melarikan diri menembus hutan mencari negeri lain tanpa arah? Tapi jalan lain telah buntu. Hingga konflik keluarga tampak mencuat seketika.

“Kemudian di antara Kunduk dan Kuntum terjadi pembicaraan serius. Mencari kesepakatan untuk menyelamatkan anak-anak mereka. Tapi berbagai dalih dan jalan tampaknya telah buntu. Kesepakatan mereka akhirnya sesuai dengan usul yang disampaikan oleh Bujang Kuntang dan Bujang Kuntung yaitu membawa Dewa Safri lari bersama hingga sampai ke negeri lain. Selama kedua orang tuanya berbicara, anak-anak mereka tidak ada berkata sepatahpun. Mereka semua diam, mendengarkan dengan baik. Setelah pembicaraan Kunduk dan Kuntum selesai, barulah Bujang Kuntung biacara.” (hal: 84).

Maka mulailah ketiga beradik itu melarikan diri dari kampung halamannya. Menuju hutan belantara yang tiada terhingga, memulai petualangan berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sampai akhirnya menjumpai kampung lain. Di sini, penulis membawa pembaca untuk “rehat” sejenak dari kisah kekejaman raja tersebut. Pembaca—secara tak langsung—diajak untuk mengikuti petualangan tiga anak lelaki itu selama di dalam hutan; suka-duka mereka, cara mereka bertahan hidup di tengah hutan liar, aksi mereka dalam menghadapi binatang buas, dan bagaimana mereka menyiasati kerinduan yang tak tertahan kepada orang tua mereka, hingga konflik dua abang Dewa Safri yang tidak lagi tahan terhadap tingkah laku adiknya yang buta itu. Di sini dapat kita rasakan kepiawaian Afrizal Cik dalam mendeskripsikan cerita bukan hanya tentang pergulatan batin tokoh tetapi pembaca seperti ikut berpetualang (adventure) ke dalam hutan.

Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Mozaik : Menakar Rasa

Kita dapat mengerti tentang perasaan-perasaan tokoh, bahkan sedetail tentang bagaimana tokoh bisa mendapatkan air yang bersih ketika selama di dalam hutan. Bagaimana pembaca diajak percaya tentang tokoh yang tetap menjaga kebersihannya, yang mana dalam kisah itu mereka juga mandi di genangan air bersih dari bekas tercerabutnya akar pohon besar yang tumbang. Sampai pembaca dapat mengetahui tentang hal-hal mistis seperti jenis-jenis makhluk halus penunggu hutan dan cara mereka menyiasati untuk tidak larut pada ketakutan. Sampai hal-hal suara binatang tertentu yang dapat mendatangkan sesuatu di dalam hutan. Di sini Afrizal Cik memberikan pendeskripsian kisah pergulatan konflik batin tokoh yang memikat, artinya hal tersebut dapat diterima sesuai kondisi riil ketika berada di tengah hutan. Penulis tidak abai untuk mengisahkan apa-apa saja serba kemungkinan yang bisa terjadi dalam posisi dan kondisi seperti itu.

“Banyak petanda alam yang mereka dapatkan selama berjalan bertahun-tahun dalam hutan belantara itu, termasuk juga dimana ada bangkai binatang besar, dimana ada ular, ada binatang berbahaya, dan petanda akan hujan dan ribut. Apabila ada sekelompok elang yang terbang memutar di atas, itu petanda di bawahnya ada binatang besar yang mati. Apabila ayam mereka berkokok tiba-tiba petanda ada ular yang medekat. Apabila anai-anai memanjat pohon petanda tempat itu akan segera direndam banjir. Berbagai petanda alam mendewasakan mereka tentang perjuangan hidup. Kalau petanda makanan, mereka akan memakan apa saja buah yang dimakan kera. Kalau buah itu tidak dimakan kera, walaupun seranum dan sewangi apapun, ketiga bersaudara itu tidak akan memakannya. Sebab buah yang tidak dimakan kera adalah buah-buahan beracun.” (hal: 117-118).

Banyak kisah lagi tentang petualangan mereka di dalam hutan ketika melarikan diri demi menghindar kezaliman raja. Dimana hal apapun yang terjadi di dalam hutan, membuat ketiga beradik itu menjadi dewasa; bijak, tangkas, sigap, awas, saling menghargai, dan berbagi apapaun baik makanan yang ditemukan atau juga cerita. Ya, sebagai penghibur hati yang lara, mereka selalu bergiliran bercerita. Hal ini untuk melupakan sejenak penderitaan selama menempuh perjalanan yang tak tahu entah kapan berakhir. Kadang Bujang Kuntung yang bercerita, kadang Bujang Kuntang, kadang pula Dewa Safri yang diminta bercerita.

Namun ada yang unik dalam hal ini, karena setiap diminta bercerita atau ditanya oleh kedua abangnya tentang cita-cita, Dewa Safri selalu mengatakan ingin menjadi raja. Kedua abangnya langsung terpingkal-pingkal mendengar kekonyolan adiknya itu. Namun setidaknya, kekonyolan itu mampu menghilangkan sejenak duka-lara mereka. Hal ini terus berlangsung setiap kali mereka menyuruh giliran bercerita, Dewa Safri selalu hanya mengatakan singkat dan padat, “Aku hanya ingin bercita-cita menjadi raja.”

Sebagai penulis Afrizal Cik mengajak pembaca untuk mengerti dan memaklumi perangai anak seusia itu yang mana mereka masih polos dan “seenak udel” saja kalau berbicara. Bukankah lazimnya anak-anak demikian? Berpikir tanpa beban. Tanpa kelogisan pikiran dan keadaan. Kita dapat mengerti tentang pikiran kedua abangnya Bujang Kuntang dan Bujang Kuntung bahwa apa yang dikatakan oleh adiknya itu sesuatu yang mustahil, tidak masuk akal. Sebab mereka hanya rakyat jelata dan papa kedana. Manalah mungkin terjadi. Mereka hanya ibarat “ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.”

Namun dari kisah ini, seolah-olah penulis ingin membantah ketidakkemungkinan itu. Bahwa siapapun orang—dari kalangan rakyat jelata sekalipun—memiliki hak yang sama. Bahwa jalan nasib dan takdir seseorang tiada yang tahu. Walaupun dalam konteks masa silam (masa kerajaan) hal itu dipandang tidak mungkin. Sebab seorang raja memiliki zuriat garis keturunan yang turun-temurun untuk menggantikannya. Tetapi Dewa Safri memiliki garis takdir yang elok. Dia memang di izinkan Tuhan untuk nantinya menjadi raja di suatu negeri dan memimpin negeri itu menjadi makmur.

Di sini penulis mengajak pembaca untuk terlibat dalam emosi Dewa Safri bahwa siapapun dapat meraih harapan yang sudah menjadi keinginannya. Bahwa setiap manusia memiliki hak azasi yang sama akan harkat dan martabat. Lebih jauh, dapat kita katakan bahwa siapapun berpeluang menjadi pemimpin negeri (raja). Raja akhirnya hanya menjadi sebuah diksi yang tidak lagi “angker”. Bukan lagi menjadi baku yang hanya di “sembah” oleh kaum bawah. Sebab siapapun bisa meraihnya asal dengan hati yang bersih dan penuh perjuangan.

Afrizal Cik memunculkan konflik ketiga beradik itu, yang mana hal ini sebagai awal sepak terjang perjuangan Dewa Safri untuk menjadi dirinya sendiri. Menempuh hidup sampai berhasil mengabdi di lingkungan istana, sampai pula menanjak karirnya hingga akhirnya menjadi raja. Hal itu oleh faktor Dewa Safri yang asyik mengulang-ulang cita-citanya ingin menjadi raja yang akhirnya membuat kedua abangnya kesal bukan kepalang. Akibat selalu kesal—karena keduanya tak lagi menganggap itu sebagai lelucon—membuat mereka sampai pada titik jenuh. Mereka pun merajuk, hingga akhirnya tidak peduli lagi pada adiknya itu. Sampai-sampai keduanya meninggalkan Dewa Safri sendirian di tengah hutan.

“Tapi sayang kedua abangnya telah menjauh dan terus menjauh. Suara pekik Dewa Safri hanya didengar sayup-sayup saja. Akhirnya suara itu hilang. Berulang kali ia mememik, menghiba, tapi sia-sia. Kedua abangnya telah bertekad dengan amarah untuk meninggalkannya di tengah hutan belantara itu. Dewa Safri tak dapat berkata apa-apa lagi. Hanya tangisan yang ada. Dia ketakutan ditinggalkan di tengah hutan itu. Teramat sulit baginya untuk berjalan, sebab harus meraba. Tak ada yang dapat dilihatnya di hutan itu.” (hal: 127).

Dewa Safri pun mengalami konflik pribadi di tengah hutan. Dalam hal ini Afrizal Cik mengajak pembaca unutk ikut trenyuh akan nasib anak buta ini. Di tinggalkan orang terkasih di tengah-tengah hutan? Tidak dapat dibayangkan. Tetapi setidaknya hal itu dapat diwajarkan dari sikap anak-anak yang masih labil. Kedua abangnya yang terlampau emosi tidak dapat lagi dicegah. Juga dari sikap Dewa Safri sendiri yang siapa sangka dengan selalu mengatakan “ingin menjadi raja” membuat kedua abangnya menjadi risih. Sebuah permakluman sekaligus konflik internal yang menarik, karena Afrizal Cik tanpa diduga menciptakan itu kepada Dewa Safri sehingga anak buta itu harus berjuang lebih keras lagi menghadapi segala sesuatu di tengah hutan belantara.

Tetapi pembaca tidak hanyut untuk larut pada penderitaannya. Afrizal Cik memberikan jalan keluar kepada anak buta itu. Suatu ketika Dewa Safri tak sengaja mendengar percakapan dua mahkluk halus (mambang hutan). Percakapan itu antara lain tentang jenis dedaunan mujarab yang dapat membuat mata normal kembali (celik). Dari kejadian mistis yang mengerikan itu, akhirnya Dewa Safri berusaha menemukan dedaunan tersebut. Setiap ia memetik daun akan digosokkannya ke mata. Sampai akhirnya daun yang ia cari berhasil membuat matanya dapat melihat.

“Baru saja Dewa Safri membaringkan badannya, terdengarlah suara-suara aneh, sengau, kaku, dan mengerikan seiring dengan deru angin. ‘Jadi, Nek hisap darah orang itu?’ kata suara satu. ‘Nek hisap sampai kering. Darah betina bunting tua memang manis,’ suara kedua menjawab. ‘Dulu Nek mengobati dia buta. Tapi kenapa Nek pula yang membunuhnya?’ tanya suara pertama lagi. ‘Dia ingkar. Padahal dulu dia berjanji setelah mendapatkan jodoh, saudagar kaya itu akan memberikan Nek makan pada tiap purnama. Setelah setahun menikah, tidak ada yang diberikannya,’ jawab suara kedua lagi. ‘Jadi dengan apa Nek mengobat mata buta?’ suara pertama muncul lagi. ‘Dengan daun rumput celuba yang banyak di bawah pohon inilah. Nek sapukan tujuh kali ke matanya. Makanya dia dapat celik,’ jawab suara kedua. Lalu kedua suara itu tertawa ngilai.” (hal: 137-138).

Sepak terjang Dewa Safri setelah ia dapat celik membawa pembaca kepada sikap dan karakternya yang mampu memberikan kesan seorang pemuda berbudi. Ia akhirnya tinggal bersama seorang nenek di negeri lain. Hingga ada sayembara di negeri kerajaan itu bahwa siapa saja yang dapat menyembuhkan anak gadis raja yang tiba-tiba buta akan mendapatkan hadiah berupa kedudukan tinggi di lingkungan istana. Dewa Safri pun mencoba ikut andil dalam hal itu dan berhasil berkat “daun rumput celuba” yang dibawanya dari hutan. Diapun mendapatkan posisi penting dalam lingkungan istana. Syukuran besar-besaran pun dibuat atas kesembuhan putri raja. Seluruh rakyat diundang makan di istana. Tanpa sadar, nasib Dewa Safri dipertemukan kembali dengan kedua abangnya di helat makan itu. Sampai kedua abangnya menjadi hulubalang raja pula.

Suatu ketika seorang hulubalang Kerajaan Tanah Pasir Bulan bernama Kapitan Huat—negeri tempat tiga beradik itu dulu di lahirkan—berbuat onar. Sehingga dia pun ditangkap. Ketika dihadapkan kepada Raja Mentayan, hulubang samseng itu malah berbuat yang lebih ekstrem ingin menikam sang raja. Namun berhasil diatasi Bujang Kuntang, abangnya Dewa Safri. Akhirnya hulubalang angkuh itu tewas seketika.

Hal itu membuat Raja Bara Alam di kerajaan Tanah Pasir Bulan murka. Mereka pun mengirim pasukan untuk berperang. Tetapi kemenangan berada di tangan Kerajaan Mentayan di bawah komando Dewa Safri yang sudah menjadi Raja Muda. Karir Dewa Safri semakin naik yaitu menjadi raja di Kerajaan Mentayan setelah ia menggantikan raja sebelumnya yang mangkat. Ia pun akhirnya menikahi anak gadis raja yang dulu pernah disembuhkannya ketika mendadak buta.

Sebagaimana bentuk kisah hikayat (cerita rakyat) yang bersifat happy ending, kisah ini pun berakhir dengan kebahagiaan tokoh-tokoh utamanya. Bahkan ketiga bersaudara itupun berjumpa kembali dengan orang tua kandungnya setelah sekian lama berpisah. Cerita rakyat seperti ini sejatinya penuh hikmah dan memberikan motivasi bagi pembaca, khususnya anak-anak muda. Dari semangat hidup tiga bersaudara itu yang gigih berjuang untuk merantau dapat memberikan kesan bahwa niat kuat dapat menjadikan kita berhasil.

Selain itu, kisah-kisah seperti ini patut diberikan apresiasi tinggi bagi penulisnya. Sebab di masa sekarang sudah sangat jarang orang mau menikmati kembali cerita-cerita rakyat tempatan apalagi menuliskannya. Setidaknya dari yang sedikit itu—boleh dikatakan—Afrizal Cik yang tunak di Tanah Jantan ini bertukus lumus dan gemar membumikan kembali kisah-kisah cerita rakyat di daerahnya Kabupaten Kepulauan Meranti, untuk dapat dinikmati oleh generasi muda saat ini. Lebih jauh, perannya sebagai penulis yang tunak pada khazanah sastra Melayu dapat menghidupkan kembali geliat literasi di daerah ini dengan harapan agar tetap hidup dan bergairah. Melewati cerita rakyat dari hasil karyanya ini kita dapat pula memperkaya wawasan tentang daerah sendiri.

Afrizal Cik juga telah memberikan kontribusi, sekaligus—mungkin dapat juga kita katakan—solusi tersedianya bahan-bahan literasi sastra daerah dari buku-bukunya yang banyak mengangkat kisah tokoh-tokoh tempatan. Sebab di tengah-tengah modernisasi dan globalisasi ini bahan-bahan bacaan sastra daerah tempatan sudah langka. Tetapi dengan hadirnya karangan-karangan Afrizak Cik, hal itu dapat kita nikmati kembali. (*)

Selatpanjang, 16 Maret 2025

————————–
Riki Utomi menulis puisi, cerpen, esai, dan novel. Sejumlah karyanya pernah tersiar di Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Suara Merdeka, Lampung Post, Banjarmasin Post, Inilah Koran, Riau Pos, Batam Pos, Kendari Pos, Bangka Pos, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Haluan Kepri, Haluan Riau, Metro Riau, Koran Riau, Serambi Indonesia, Tanjungpinang Pos, Radar Banyuwangi, RuangLiteraSIP, Magrib.id, Buletin Jejak, Apajake, Ngewiyak, Sastramedia.com, Nusantaranews.co, Riau Realita, Riau Sastra, TirasTimes, Harian Detil, Majalah Sabili, Majalah Sagang, Majalah Tanjak, Majalah Elipsis. Buku fiksinya Mata Empat (Cerpen, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (Cerpen, 2015), Mata Kaca (cerpen, 2017), Anak-Anak yang berjalan Miring (cerpen, 2020), Menjaring Kata Menyelam Makna (esai, 2021), Belajar Sastra Itu Asyik (nonfiksi, 2011), Jelatik (novel, 2021). Kini pendidik dan bermukim di Selatpanjang, Riau. (*)

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan