KRITIK & ESAI: ‘Perjalanan Kelekatu’: Pengucapan Estetik-Simbolik Dunia Melayu

65
Tulisan Terkait

Rempang: Husnu Abadi

Loading

’’Perjalanan Kelekatu’’: Pengucapan Estetik-Simbolik Dunia Melayu
Oleh Musa Ismail *)

/1/

’’Perjalanan Kelekatu’’ (Yayasan Sagang, 2008) merupakan kumpulan puisi ketiga Rida K. Liamsi setelah ’’Ode X’’ (stensilan, 1971), dan ’’Tempuling’’ (2003). Tahun 2007, novel perdananya ’’Bulang Cahaya’’ lahir pula dalam kesibukan, kreativitas, dan pengendapan batinnya. ’’Bulang Cahaya’’ dan ’’Tempuling’’- nya mendapat tanggapan luas oleh para kritikus Indonesia sebagai salah satu khazanah corak dunia kesusastraan di tanah air, khususnya di negeri Melayu. Rida mencatat dalam ’’Perjalanan Kelekatu’’ bahwa judul antologi ini merupakan gabungan sinergi dua judul puisi: Perjalanan dan Kelekatu. Pemilihan judul ini, menurut CEO Riau Pos itu, karena hampir sebagian besar puisi-puisi dalam kumpulan ini adalah hasil renungan dan catatan-catatan perjalanan, baik perjalanan fisik maupun perjalanan batin. Katanya lagi, puisi-puisi perjalanannya ini lebih merupakan rekaman seorang jurnalis, rasa yang bangkit dari terkaman kenyataan, gelombang cemas, dan  kesertaan empati. ’’Mungkin bukan sebuah perenungan yang dalam, dan karenanya belum tentu menyisakan puisi-puisi yang kekal,’’ kata Rida. Terlepas dari apa yang telah diungkapkan mantan Wartawan Tempo ini, ’’Perjalanan Kelekatu’’ dengan 28 kepak puisi telah memulai suatu tradisi pergerakan dan gambaran estetika tersendiri pula jika dibandingkan dengan ’’Tempuling’’

Dalam memilih judul, sastrawan yang pernah bernama samaran Iskandar Leo ini, sangat ekspresif dalam pilihan kata (diksi) atau frase idiomatik. Judul kumpulan puisi ini merupakan salah satu bukti bahwa Rida punya kejeniusan lingkuistik yang halus, peka, atau sensitif. Sejumlah puisi yang terdapat dalam buku ini ditangkup sangat indah, lawa, dan menarik dalam judul ’’Perjalanan Kelekatu’’. Penggabungan dua judul puisi menjadi judul ontologi merupakan daya tarik khas Rida dalam menyuguhkan puisi-puisinya. Judul ini pulalah yang merupakan salah satu bukti nyata tentang pengucapan estetik-simbolik dalam dunia Melayu. Saya katakan estetik-simbolik karena beberapa hal. Pertama, pemadanan kedua kata tersebut mengandung suatu persebatian yang selaras jika kita dekatkan dengan sifat kelekatu. Kedua, keindahan itu muncul juga karena (mungkin) baru inilah judul kumpulan puisi yang merupakan gabungan dari dua judul puisi. Ketiga, berkat gabungan itu, telah menumbuhkan sayap-sayap makna (polisemantis) baru sebagai frase idiomatik yang energik. Keempat, judul ini memberikan pengaruh asosiatif (daya ajuk) terhadap pembaca.

Jika kita kaji dengan model lingkar hermeneutik, judul ’’Perjalanan Kelekatu’’ menjadi sangat estetik sekaligus simbolik. Ricouer menjelaskan, ada dua fase lingkar hermeneutik, yaitu (1) pemahaman dan perenggutan makna yang bersifat tebakan atau teka-teki terhadap teks secara keseluruhan, dan (2) perluasan makna yang akan dijadikan sebuah model pemahaman yang sophisticated (mapan, canggih—pen.), didukung oleh prosedur ekplanatoris. Selanjutnya, Teew mengatakan, lingkar hermeneutik dapat bekerja dengan memulai interpretasi dari unsur atau bagian-bagian yang ada, kemudian mengarah pada keseluruhan. Proses tersebut dapat dibalik, dimulai dari keseluruhan, kemudian mengarah pada bagian-bagiannya. Lingkar hermeneutik bekerja secara timbal balik dan bertangga hingga diperoleh integrasi makna total dan makna bagian secara optimal (1984:123-124).

Mari kita kecai-beraikan dan kita telaah satu per satu. Kalau kita maknai secara harfiah, kata ’’perjalanan’’ bermakna ’’peristiwa berpindah dari suatu tempat (asal) ke tempat lain.’’ Kata ini mengusung jenis kata benda. Kata ’’kelekatu’’ bermakna ’’nama binatang terbang sejenis anai-anai yang menyenangi cahaya’’. Disebut juga laron atau dalu-dalu (bahasa Melayu Kepulauan Riau). Juga termasuk kata benda. Penggabungan kedua kata sehingga menjadi ’’Perjalanan Kelekatu’’ telah memberikan kesan keindahan, vitalitas, aktif, dan menunjukkan suatu sifat yang berkaitan dengan nama hewan bersayap rapuh tersebut. Kalau saya interpretasikan, ’’Perjalanan Kelekatu’’ melahirkan (1) makna suatu gebrakan, pengembaraan, berkelana untuk memaknai dan mencari kearifan dalam hidup. Tujuan akhirnya adalah menemukan cahaya Illahi Rabbi, (2) pelarian makhluk hidup untuk mencari kebahagiaan/kesenangan (eskapisme), dan (3) pencarian tempat berlindung (berteduh) setelah dihunjam berbagai permasalahan.

/2/

Dunia Melayu identik dengan Islam. Artinya, estetika Melayu identik dengan estetika Islam. Buku paling awal yang memandang estetika sebagai ilmu tersendiri dan terkenal ialah Aesthetica (1750) karya Baumgarten, filsuf rasionalis Jerman. Kata aesthetica diambil dari kata Yunani, yaitu aesthesis. Artinya, pengamatan indera atau sesuatu yang merangsang indera. Dari pengertian itu, Baumgarten mengartikan estetika sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang dapat diamati dan merangsang indra, khususnya karya seni. Di dalamnya juga, tercakup pengertian sensasi atau reaksi organisme tubuh manusia terhadap rangsangan luar. Dalam tradisi Islam, estetik diambil dari Alquran dan hadis, yaitu jamal (keindahan batin) dan husn (keindahan lahir). Keindahan Ilahi merupakan peringkat keindahan tertinggi dalam Islam (dunia Melayu).  

Dalam Islam (dunia Melayu), hidup ini adalah perjalanan, fana, dan tempat singgah seperti diucapkan dalam larik puisi ’’Kelekatu’’: Ada ketika kita menjadi seperti kelekatu/Terbang dari lampu ke lampu/Dari pintu ke pintu/Dan akhirnya terdampar di bawah bangku//. Hidup di dunia ini merupakan suatu permainan dan senda gurau yang membuat kita terbelenggu dalam keseronokan palsu:

Hanya kita yang merasa Aduhai

                                               Aduhai

                                                      Aduhai

Hanya kita yang tahu, apa yang tak pernah sampai

Lebih dalam, puisi ini menggambarkan suatu simbol perjalanan kehidupan manusia. Di dalamnya, manusia terjerat kesepian, keterasingan, keseronokan, kepedihan, dan kematian. Kematian inilah merupakan awalnya perjalanan menuju keindahan Ilahi yang kita sendiri tak pernah tahu waktunya.

Ada ketika kita menjadi seperti kelekatu

Menunggu resa angin, menjadi isyarat musim

Memburu cahaya, dan gugur saat gelap tiba

Tapi kita tak tahu Bila

                                     Bila

                                            BILA

Puisi-puisi lain yang pengucapannya senada dengan puisi Kelekatu adalah Kedidi Kini Sendiri Pergi Mencari, Di Jabbal Rahmah, Di Masjidil Haram, setelah Menara Zamzam, Aku Telah Menangkap Isyarat Itu, Di Masjid Amir Hamzah,  Di Tapaktuan Mereka Takut Menunggu Malam,   Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami, Di Great Wall, Percakapan Akhir, dan Seekor Lumba-Lumba yang Ngembara. Secara mengerucut, pengucapan dan pemaknaan yang muncul dari puisi-puisi tersebut ialah tujuan terakhir dari kehidupan, yaitu kematian (sebagai awal perjalanan untuk kehidupan berikutnya untuk menemukan cahaya). Beberapa puisi tersebut jelas sekali merupakan pengalaman perjalanan batin seorang Rida ketika di tanah suci. Dari pengucapan-pengucapan dalam puisi di atas, terjadi perjalanan kerohanian tentang makna kehidupan sebenarnya. Salah satu gambaran Sebagai contoh gambaran pengucapan estetik-simbolik Melayu (yang sufisme) dapat kita pahami dalam bait puisi Di Great Wall berikut. 

Akhirnya, aku mendaki tangga demi tangga, menahan denyut

demi denyut, mengepal gigil demi gigil, karena katamu, jika

harapan yang sanggup di kabut, dibancuh dalam panas gairahku,

maka rindu yang terpendam akan bangkit dan mengalir….

Dalam puisi Seekor Lumba-Lumba yang Ngembara (Kepada Idrus), pengucapan estetik-simbolik Melayu (yang sufisme) pun dapat kita tangkap.

Seekor lumba-lumba yang ngembara, seperti musim,

sekali datang sekali beredar. Tapi laut tak henti menungngu

kembara membentang layar, kembara menurunkan layar.

Dan kau seperti perahu-perahu yang lelah, kini saatnya

melabuh jangkar.

Pengucapan estetik-simbolik demikian membentang ke arah alam transendental, alam ke-Tuhanan, bersemangat profetik. Semangat profetik ini merupakan titik pusat dalam Perjalanan Kelekatu, yaitu sentral pertemuan antara alam mikrokosmos dan makrokosmos, antara dimensi sosial dan dimensi transendental. Dapat saya katakana pula bahwa estetika-simbolik yang dilukiskan Rida ini membentuk citraan-citraan visual yang berkaitan dengan psikologi (simbol-simbol digunakan merujuk pada peringkat batin. Lalu, juga menyangkut kosmologi, yaitu citraan-citraan yang berkenaan dengan perjalanan dari alam terendah ke alam tertinggi (alam ke-Tuhanan). Secara teserlah, hanya beberapa puisi yang terang-terangan menyebut diksi yang berkaitan dengan religiusitas. Tetapi secara terselubung, kaitan makna ke-Tuhan-an tak dapat kita sangkal di dalam puisi-puisi sastrawan asal Dabosingkep, Kepulauan Riau ini.

Melayu merupakan khazanah yang kaya akan budaya. Kekayaan Melayu itu merupakan tifa induk dalam setiap transformasi nilai-nilai kebudayaannya. Sebagai salah satu produk kebudayaan, kelahiran sastra tak akan pernah kosong dari peristiwa budaya. Pengucapan estetik-simbolik ke-Melayu-an yang ditawarkan Rida dalam karyanya ini merupakan transformasi dari sistem nilai-nilai kehidupan dunia Melayu.  Nilai-nilai tersebut ditransfer dalam bentuk keindahan bersastra melalui puisinya. Pengucapannya ini diangkat dari pengalaman-pengalaman perjalanan estetik yang pernah dialami. Dunia empirisnya inilah yang bergejolak di dalam batin sehingga membentuk suatu pengalaman perjalanan rohani. Kemudian, Rida memproduksinya dengan pengucapan kental lidah Melayu (dapat kita lihat secara jelas dari kondisi dan diksi).

Estetik-simbolik dalam Perjalanan Kelekatu, ternyata tidak hanya membicarakan keindahan tertinggi. Beberapa puisi tersebut, juga menggambarkan keindahan lahir (husn) atau bentuk luar yang diperoleh di alam syahadah dan dapat dicerap indra atau mata jasmani. Imam Al-Gazali menyebut dengan istilah keindahan sensual atau nafsani, yang timbul dari cinta jasmani. Jenis keindahan ini dapat kita tangkap dalam puisi Mak, Bah, Sanghai Baby, Rose Tiga, Rose Empat, dan Cinta.

/3/

Tampaknya, Rida masih memendam kerinduan pada laut. Ini membuktikan bahwa lingkungan sosial dan lingkungan alam telah memberi corak diksi dan pengucapan puisi-puisinya. Sebagai sastrawan yang dilahirkan di daerah Kepulauan Riau, kesan lingkungan alam Melayu begitu kental. Rida begitu senang memilih laut sebagai setting sebagian besar puisinya. Kalau kita kembali ke puisi Tempuling, kesan lingkungan alam ini pun begitu ketara membancuh hidup dalam proses kreatifnya. Latar belakangnya sebagai wartawan pun telah membentuk kepekaan terhadap peristiwa alam.

Berbagai kesan makna yang timbul dari larik-larik dengan kata laut(-an) atau samudera. Laut bisa bermakna macam-macam. Pertama, laut suatu hamparan kesepian dan kehampaan seperti dalam puisi Nguyen. Kedua,  laut bermakna hamparan tempat bernaung, memberikan kesenangan, dan tempat menggapai angan. Kesan ini dapat kita tangkap dalam puisi Mak dan Bah.  Ketiga, laut bermakna sebagai gambaran padang kematian yang bakal kita alami seperti dalam puisi Seekor Lumba-Lumba yang Ngembara. Keempat, laut bermakna sesuatu bentuk teror yang menghadirkan traumatis mendalam. Ini dapat kita tangkap dalam puisi Di Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu Malam. Kelima, laut diibaratkan dengan Dayang. Di sini, laut bisa memberikan pelayanan apa saja kepada manusia seperti yang dilakukan oleh seorang Dayang (baca Dayang Ku Laut).

Beberapa puisi lain, membicarakan kesan-kesan nostalgia sejarah. Selain itu, pula melukiskan ketidakpuasan terhadap penguasa negeri yang zalim seperti dalam puisi Kasturi. Kesan serupa yang paling mengharu-biru, penuh emosi, dan penuh gaya bahasa repetisi-retorika terdapat dalam puisi Dan Sejarah pun Berdarah. Kedua puisi tersebut menggunakan nama-nama tokoh dalam Sejarah Melayu. Di samping itu, makna yang dikandung dalam puisi tersebut lebih kuat kepada aspek emosionalitas Melayu dalam menghadapi kekalahan. Seakan-akan Rida mengajak orang-orang Melayu untuk melakukan pemberontakan terhadap setiap ketidakbecusan pemerintahan.  

/4/

Karya sastra merangkum berbagai persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan tersebut menyangkut kehidupan (manusia) sosial sebagai mikrokosmos, lingkungan alam sebagai jagad raya (makrokosmos), dan aspek transendental (ke-Tuhan-an). Persoalan-persoalan itu bisa dalam bingkai terpisah-pisah (split frame), bisa pula membentuk bingkai kesatuan (unity frame). Sastrawan meramu bingkai-bingkai persoalan tersebut dengan kejeniusan linguistik yang dimilikinya. Bahasa-bahasa yang unik selalu saja tumbuh dari pena para sastrawan sebagai media prasyarat perkembangan kebudayaan (peradaban).

Perjalanan Kelekatu telah menghidangkan berbagai bingkai persoalan kehidupan. Dalam hal ini, Rida mengakui bahwa sebagian besar puisi-puisinya dalam ontologi ini merupakan hasil dari perjalanan fisik dan batin. Secara fisik, hasil dari perjalanan penyair ini telah merekam berbagai persoalan yang berkaitan dengan bingkai mikrokosmos dan makrokosmos. Secara batin pula, dengan penuh perenungan, penyair melakukan perjalanan menuju hal-hal yang berkaitan dengan sifat-sifat relegius, profetik (aspek transendental) sebagai perjalanan menuju cahaya ke-Tuhan-an.

 Puisi-puisi (genre lain) memang tak bisa lepas dari persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam. Sanghai Baby, Di Great Wall, Seekor Lumba-Lumba yang Ngembara, Surat Kepada GM, Percakapan Terakhir, dan beberapa puisi lain merupakan hasil perjalanan fisik Rida. Dari hasil perjalanan ini, penyair menangkap berbagai hal, yaitu (1) kerinduan kepada orang tua, (2) kerinduan kepada alam yang bersahabat, (3) penderitaan di suatu sudut kehidupan, (4) cinta, kebencian, ketakutan, kesetiaan, kerinduan, dan  kesedihan, (5) kematian seseorang, (6) bencana alam. Puisi-puisi yang berkaitan dengan perjalanan batin Rida di antaranya juga berbaur dengan puisi-puisi di atas seperti Di Great Wall, Seekor Lumba-Lumba yang Ngembara, Percakapan Terakhir, Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami, Di Masjid Amir Hamzah, dan kuncinya terdapat dalam puisi Kelekatu.

Dalam kumpulannya ini, ada beberapa persoalan yang menyedot perhatian Rida secara khusus. Pertama, peristiwa air mata Tsunami yang menenggelamkan Aceh. Peristiwa ini menggugah manusia untuk tidak melupakan Tuhan. Setelah kata gempa (bahasa Melayu), muncul pula Tsunami yang mengerikan itu. Kata Hasan Junus, makna Tsunami sederhana saja, yaitu gelombang pasang, tetapi makna konotasinya mengerikan sekali. Bencana ini telah meluluhkan kesombongan kita sebagai makhluk lemah. Selain itu, Rida pun mengingatkan kita peristiwa teror ketidakamanan di Negeri Serambi Mekah itu. Puisi-puisi tersebut, yaitu Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami, Di Tebing Lauttawar, dan Di Tapaktuan Mereka Takut Menunggu Malam. Ketiga puisi ini juga mengandung nilai-nilai religius. Gambaran perhatian Rida ini dapat kita simak dalam kutipan puisinya berikut ini.

Di Baiturrahman,

Di ujung gerimis, setelah hujan tangis

Aku menyaksikan hamparan pualam yang muram di pucuk

malam

….

Di dekatku serasa beratus-ratus roh tiarap

                        Meratap

: Kamilah yang pagi itu hanyut bersama gelombang

 Bergulung bersama pohon

….

(Aceh Suatu Hari, Sesudah Tsunami)

Di tebing Lauttawar, ternyata hari lewat dengan lebih hangat,

karena uap kopi yang gurih, suara jarring yang ditebar, dan

geliat ikan yang menggelepar, telah menyisihkan berita

televisi dan surat kabar. Di puncak Takengon, gempa

masih kerap menggampar, tapi pucuk-pucuk pinus masih bisa

berkelakar: Di sini Tuhan memang lebih sabar!

(Di Tebing Lauttawar)

 

Tuhan,

Di Tapaktuan kami kini takut menatap laut.

Sebab biru yang membentang harap, seketika bisa jadi misteri:

laut jadi hitam, laut jadi suru, laut jadi pekik kematian

Sebab, di ujung tanjung, telah lesap beribu-ribu cinta, telah

terkubur beribu-ribu mimpi.

sampai kini, tangisan kekanak, jadi belati menikam hati.

(Di Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu Malam)

 Kedua, peristiwa pencarian menuju cahaya Tuhan. Kehidupan memang merupakan suatu pencarian. Ini sangat padan kalau kita sandingkan dengan frase idiomatik Perjalanan Kelekatu. Bukankah suatu perjalanan merupakan suatu upaya untuk pencarian sesuatu? Pencarian yang dilakukan manusia bisa bersifat duniawi maupun ukhrawi. Kedua sifat perjalanan ini bertujuan untuk mencari kedamaian, kenyamanan hidup, ketenangan lahir dan batin, keharmonisan, dan kebermaknaan hidup.

Semua makhluk hidup pasti mati. Peristiwa kematian merupakan salah satu jalan pulang untuk menuju kehadirat Tuhan. Sebelum sampai pada waktu kematian, berbagai upaya dilakukan manusia sebagai makhluk. Upaya tersebut terkadang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Namun pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebaikan. Puisi-puisi seperti Kedidi Kini Sendiri Pergi Mencari, Kelekatu, Di Jabbal Rahmah, Di Masjidil Haram setelah Menara Zamzam, dan Perjalanan. Mari kita simak peristiwa pencarian dalam kutipan puisi berikut.

Kedidi

Kini sendiri

Pergi

Mencari

Mencari jalan pulang

….

(Kedidi Kini Sendiri Pergi Mencari)

 

….

Ada ketika kita menjadi kelekatu

Menunggu resa angin, menjadi isyarat musim

Memburu cahaya, dan gugur saat gelap gulita

Tapi kita tak tahu bila

                                       Bila

                                             BILA

(Kelekatu)

 

….

Sekarang, dari Jabbal Rahmah, aku ingat perjalanan bathin

ku: Tuhan, di bentangan padang seluas pandang, aku pernah

wukuf. Pernah bersujud. Pernah meratap. Pernah pasrah.

Pernah menyerah. Tuhan, aku malu…

(Di Jabbal Rahmah)

 

….

Di penghujung musim panas, ketika sisa siang masih panjang,

aku menyimpan cemas: adakah kelak perjalanan bathin ini masih

tetap menggetarkan, dan masih akan luluhkan sujudku di

pangkuan-MU. Labbaika…Allahumma…

(Di Masjidil Haram, setelah Menara Zamzam)

 

Perjalanan Kelekatu telah menjadi teman perjalanan hebat bagi dunia sastra Melayu, terutama dalam hal pengucapan-pengucapan estetik-simboliknya. Kaya makna, mengandung idiomatik-jenius kultur Melayu, bagai laut yang terhampar luas, dan ibarat padang yang seluas pandang. Sangat kuat dengan citraan visual (visual image), citraan gerak, citraan simbolik. Di samping itu, kokoh dengan pendeskripsian suasana sehingga ada beberapa puisi bersifat naratif.

Aku menyimpan cemas: adakah kelak perjalanan batin ini masih tetap menggetarkan,…***

 

 

Musa Ismail seorang penulis dan ASN di Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkalis. Dia dilahirkan di Pulau Buru Karimun, 14 Maret 1971. Karyanya adalah kumpulan cerpen “Sebuah Kesaksian” (2002), esai sastra-budaya “Membela Marwah Melayu”  (2007), novel “Tangisan Batang Pudu” (2008), kumpulan cerpen “Tuan Presiden,  Keranda,  dan Kapal Sabut”  (2009), kumpulan cerpen “Hikayat Kampung Asap” (2010), novel “Lautan Rindu” (2010), kumpulan cerpen “Surga yang Terkunci” (2015), dan novel ”Demi Masa” (2017). Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan (2010) dan peraih Anugerah Pemangku Prestasi Seni Disbudpar Provinsi Riau (2012). Puisi-puisinya terjalin dalam beberapa antologi karya pilihan harian Riau Pos,  antologi “Setanggi Junjungan” (FAM Publishing, 2016), antologi puisi HPI “Menderas sampai ke Siak” (2017),  “Mufakat Air” (2017), ”Jejak Air Mata: Dari Sitture ke Kuala Langsa (Jakarta, 2017), ”Mengunyah Geram: Seratus Puisi Melawan Korupsi” (Jakarta, 2017), ”Dara dan Azab” (Malaysia, 2017), ”Kunanti di Kampar Kiri” (Pekanbaru, 2018), ”Jazirah” (Tanjungpinang, 2018). Kumpulan puisi perdananya bertajuk Tak Malu Kita Jadi Melayu (TareBooks, 2019). Pada 2019 juga, terbit bukunya berjudul Guru Hebat (Tarebooks). Pada 2020, terbit buku esainya yang berjudul Perjalanan Kelekatu ke Republik Jangkrik (Tarebooks, 2020) dan novel Sumbang (dotplus, 2020).

 

 

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan