Laksamana Timsah, Silang Sengketa dalam Gelanggang Sejarah: Catatan Rian Kurniawan Harahap

37

Mendengar Ngah Aroel kembali menerbitkan buku kumpulan cerpen. Sontak langsung meyakinkan saya pada sebuah premis bahwa Dumai Kota Penulis. Ngah Aroel sebagai seorang cerpenis tak kehabisan amunisi dalam menembakkan imajinasi-imajinasinya ke dalam sebuah buku. Ngah Aroel telah mengambil tempat sebagai salah satu cerpenis Riau paling produktif dalam satu dekade belakang. Posisi ini pun memperkuat bahwa literasi itu tidak hanya terpusat di Pekanbaru saja, tapi Dumai telah menjelmakan dirinya kembali sebagai tempat lahirnya peradaban literasi dan kebudayaan kekinian.
Pembacaan atas kumpulan cerpen “Laksamana Timsah” perlu dilakukan secara hati-hati. Sebabnya, kumpulan cerpen ini bukan hanya perkara konflik-konflik keseharian, atau barang remeh temeh. Ngah Aroel bermain dalam kebudayaan serta gelanggang sejarah manusia. Perihal bagaimana perseteruan antar binatang yang sebenarnya bisa ditarik kembali duduk permasalahannya hingga menjadi benang kusut yang tak terurai sampai kini. Inilah pesan-pesan yang sengaja ditaruh Ngah Aroel dalam silang sengketa yang muncul sebagai plot.
Kekuatan diksinya yang bermain dengan aksentuasi melayu Dumai tentunya menambah kosakata serta keberalihan wacana. Sangat menarik jika membandingkan pembacaan cerpen dengan bahasa Indonesia seutuhnya dengan cerpen yang kaya dengan aksentuasi bahasa melayu. Pembaca dibawa pada ranah latar kedaerahan serta membuka cakrawala tentang khasanah kebudayaan lokal tempatan. Inilah yang menjadi signature dari Ngah Aroel. Sebab saat ini sulit ditemukan penulis-penulis yang memang fokus pada pengembangan bahasa melayu daerahnya.
Ngah Aroel membangun cerpennya dengan rapi, latar yang dinamis serta menjauhkan pembaca dari apa yang disebut dengan imajinasi langit. Justru Ngah Aroel memainkan logika bercerita dari apa yang terhampar dihadapannya. Ia mengambil kisah-kisah yang sudah ada sedari dulu lalu membentangkan kisahnya menjadi jauh dari apa yang dipikirkan orang. Maka buku “Laksamana Timsah” telah menjadi pelepas dahaga di padang gurun. Dimana buku-buku cerpen saat ini sangat jauh dari lokalitas yang membuka mata pembaca.
“Laksamana Timsah” bukan hanya sekadar cerita tapi buku ini menyimpan legasi tentang peristiwa-peristiwa perebutan kekuasaan. Persis seperti di zaman kesultanan. Maka untuk membacanya memang memerlukan banyak “kacamata” sehingga punya andil dalam membangun menara ingatan yang abadi tentang sifat

 

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan