Ketika Netizen Indonesia Jadi KPK | Opini : Nafi’ah al-Ma’rab

168

Ketika Netizen Indonesia Jadi KPK: Sebuah Perspektif Impression Managament Komunikasi

Ada satu pernyataan unik untuk netizen Indonesia, ‘maha benar netizen dengan segala komen-komennya.’ Ungkapan ini memang tidak berlebihan dalam konteks warganetnya Indonesia. Mengingat beberapa waktu belakangan banyak kasus-kasus terungkap dengan kegigihan netizen Indonesia menjadi detektif di akun-akun sosial media pejabat.

Kasus pamer harta di media sosial belakangan ini menjadi hal menarik yang patut dicermati. Pasca kasus Rafael Alun, sejumlah istri pejabat lainnya pun menjadi sorotan karena dianggap flexing (memamerkan gaya hidup mewah). Kekayaan jumbo para pejabat pajak dengan gaya hidup hedon juga menjadi pemberitaan yang santer belakangan ini.

Wahono Saputro misalnya, seorang pejabat pajak yang terseret kasus Rafael dengan koleksi kendaraan mewah dan aset senilai Rp14,3 miliar. Sedangkan buat warga Riau, berita yang menarik perhatian soal gaya hidup istri dan anak Sekretaris Daerah (Sekda) Riau, SF Harianto. Walaupun sang suami menyebut barang-barang yang dipamerkan adalah barang kw, tetapi di satu pihak istri dan anak justru membantah pernyataan tersebut.

Ketika Netizen Jadi KPK

Ada yang bilang jadi netizen di Indonesia ini berat. Pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata pada bulan Februari 2023 yang diberitakan Kompas.com menyebutkan permintaan langsung dari KPK agar netizen Indonesia bisa ikut melacak aset para pejabat penyelenggara negara kemudian diviralkan. Alih-alih hari ini netizen seolah benar-benar menjelma jadi KPK. Ramai-ramai netizen menyorot gaya hidup keluarga pejabat, viral, dan tak ampun banyak para pejabat yang terpaksa menutup akun sosial media karena khawatir ada pemeriksaan dari KPK.

Begitulah ‘kehebatan’ netizen Indonesia. Jangan main-main dengan netizen. Hobi ngumpul di dunia nyata di bawa ke dunia maya sehingga akhirnya membuat netizen RI menjadi warga super power di internet. Di tahun 2021 lalu misalnya, akun Instagram milik turnamen All England terpaksa hilang karena serbuan warganet Indonesia. Demikian juga akun Instagram Badminton World Federation (BWF) yang terpaksa menutup kolom komentar karena tak sangguh menahan serbuan komentar dari netizen Indonesia.

Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Gaya Hidup dan Perspektif Pengelolaan Kesan

Dunia media sosial hari ini menjadi panggung drama yang sangat menarik untuk siapapun. Sebenarnya, ini bukan hanya dalam konteks seorang pejabat. Siapapun kita jika punya peluang untuk tampil dengan simbol terbaik di area front stage sosial media, pastinya akan merasa senang dan bangga.

Dalam perspektif komunikasi,  impression management atau (pengelolaan kesan) menjadi salah satu elemen penting ketika seseorang tampil di hadapan publik. Pengelolaan kesan pada dasarnya adalah upaya untuk menunjukkan identitas seseorang dalam konteks interaksi sosial. Seseorang yang ingin dilihat sebagai seorang yang sukses, maka ia akan menunjukkan kehebatan dan prestasinya. Seseorang yang ingin dinilai sebagai seorang yang keren, gaul, kekinian, maka ia pun akan menunjukkan hal-hal wah dari dirinya. Itulah prilaku individu yang secara psikologi ditampilkan di publik.

Selain pengelolaan kesan, seseorang yang tampil wah di hadapan publik secara komunikasi juga terkait konsep looking- glass self atau cermin diri. Kita membayangkan bagaimana penampilan dan penilaian kita di hadapan orang lain. Penampilan yang wah pastinya dianggap juga memiliki imbas penilaian yang positif.

Walaupun akhir dari konsep ini bisa jadi seseorang bahagia atau malah kecewa. Beberapa kasus yang hari ini terjadi adalah kondisi yang kedua. Upaya menampilkan kesan keren, kaya, wah, hebat, justru berakhir dengan ketakutan dan upaya menutup-nutupi apa yang sudah dilakukan. Buntut dari permintaan KPK menjadikan netizen ‘setara’ dengan penyelidik hukum di Indonesia.

Hidup kita memang tidak akan lepas dari penilaian orang lain. Namun, apapun pilihan dan konsep hidup yang kita pilih, sebaiknya memang bentuk jujur dari identitas kita yang sebenarnya. Jujur dalam perspektif menampilkan, jujur juga dalam mendapatkan apa-apa yang kita tampilkan sehingga mengurangi kecurigaan. Karena hidup masyarakat kita susah, kadang kehebatan kita di front stage bukan lagi jadi sarana dan ajang pujian. Tidak semua orang senang dengan kehebatan yang ditampilkan, apalagi jika kehebatan itu memang berasal dari tindakan tak jujur.

Lalu kesimpulannya, apakah kita harus bangga jadi netizen Indonesia atau sebaliknya? Karakter kita akan menjadi penentunya.

(Nafi’ah al-Ma’rab adalah nama pena dari Sugiarti. Ia adalah penggiat literasi dari Forum Lingkar Pena sekaligus mahasiswa pascasarjana Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Riau)

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan