Mengenang Buya Aidarus Gani
pada suatu sore menjelang Ramadhan
anak-anak membersihkan makam
menaburkan bunga, doa dan pujian
dan seorang anak muda mengambil kalam
mengukir sebuah kalimat sederhana
di sudut makam
“izinkanlah kami, buya
berkelana kembali
meninggalkan makammu yang harum ini
ke seberang sana
demi berdirinya sebuah momentum
pertanda datangnya zaman baru
menutup lembaranmu yang lama”
anak muda itu berhenti sejenak
mengambil surat yasin yang terselip di antara
kitab kuning dan khazanah moderen yang terserak
ia mencari ayat sempurna
untuk menutup
kalimat sederhana yang sedang ia tulis
sambil menghapus air mata, ia pun melanjutkan
“kami tak rela meninggalkanmu, kesepian
kami ingin terus bersamamu
walau kami tahu, engkau tak akan bangun lagi
tapi setidaknya, suaramu masih bergema dalam nurani
menjaga cahaya kehidupan dan perjuangan
menjaga keseimbangan alam, ilmu dan iman”
senja hari telah berganti dengan gelap
air sungai telag berubah menjadi air danau
dan anak muda itupun berlayar dengan sampan ruhaninya
memandang ke bawah, kedasar danau
lama dan semakin lama
mengharapkan bayang-bayang buya
hidup kembali
matanya terpejam dan mengalirkan air mata
air mata lima belas ribu jiwa yang masih bertanya
ke mana makam ini akan dibawa
1991
Untuk pemuatan karya sastra (Puisi, Cerpen, Pentigraf, Esai, Pantun, Kritik, Resensi, Peristiwa Budaya, dan tulisan sastra lainnya) silakan dikirim melalui surel:
redaksi.tirastimes@gmail.com