
Semalam di Kota Sabang, Menyaksikan Sunset di Tugu Kilometer : Oleh Tutin Apriyani.
Semalam di Kota Sabang, Menyaksikan Sunset di Tugu Kilometer : Oleh Tutin Apriyani.
Oleh Tutin Apriyani.
SABANG, sebuah kota di Pulau Weh, Aceh, merupakan destinasi wisata yang kaya dengan keindahan alam dan sejarah. Perjalanan kami dimulai dengan menaiki feri selama dua jam dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, menuju Pelabuhan Balohan, Sabang.
Informasi awal menyebutkan bahwa feri akan berangkat pukul 14.00 dengan durasi penyeberangan 1,5 jam. Namun, kenyataannya, kami harus bersabar hingga pukul 15.00 untuk memulai perjalanan. Meski molor satu jam, suasana penyeberangan tetap terasa menyenangkan, terutama saat menikmati pemandangan laut dan deretan pulau kecil di sepanjang perjalanan.
Penumpang memiliki dua pilihan kelas untuk menikmati perjalanan ini: Kelas VIP dengan harga tiket Rp 65.000, menawarkan kenyamanan lebih dengan kursi empuk dan ruang ber-AC. Kelas biasa dengan harga tiket Rp 35.000, yang cukup memadai bagi mereka yang ingin menikmati perjalanan dengan hemat.
Saat feri bersandar di Pelabuhan Balohan, udara segar Pulau Weh menyambut dengan pemandangan Teluk Balohan yang indah.
Kota Sabang terbagi menjadi tiga kecamatan utama: Suka Jaya, Suka Makmur, dan Karya. Setiap sudutnya menawarkan pesona berbeda.
Perjalanan kami menuju Tugu KM 0 yang sudah termasyhur sejak lama. Supir mobil carteran yang membawa kami ke lokasi itu agak ngebut, mengingat hari sudah sangat petang. Takut nanti sesampai di tempat tujuan, hari sudah gelap.
Sesampai di Tugu KM 0 Sabang, suasana sunset (jelang matahari terbenam) cukup menakjubkan. Tugu yang cukup tinggi itu seolah melambai ke laut dengan matahari merah saya menyembul di sela awan petang. Puluhan orang yang berkunjung setelah puas berfoto di kawasan tugu, berebutan di pagar dan bebatuan ingin menyaksikan matahari merah itu memantulkan cahaya keindahan. Begitu luar biasa indahnya ciptaan Allah. Berselang belasan menit, matahari itu pun menghilang. Tinggal langit temaram abu-abu. Kami dan sejumlah pengunjung bergerak ke sebuah meunasah (mushalla) kecil berwarna putih tak jauh dari tugu. Kami menunaikan shalat Maghrib.
Perjalanan kami lanjutkan menuju Teluk Teupin Layeu, tempat makan ikan bakar. Tempat ini penuh pengunjung untuk menikmati makanan ikan laut. Letak restoran ini menghadap ke Teluk Sabang, di kejauhan nampaklah lampu-lampu pelabuhan dan kota Sabang.
Perjalanan malam berlangsung santai. Kami melewati Teluk Pria Laut yang eksotis, di mana air laut yang jernih memantulkan warna langit abu-abu. Ada pula Pantai Gapang, meskipun sepi dari aktivitas diving , tetap memikat dengan ketenangan alamnya. .
Di Pulau Weh cukup banyak obyek wisata yang patut dikunjungi. Ada danau Aneuk Laut yang merupakan reservoir alami yang juga digunakan untuk sumber air bersih masyarakat. Tak jauh dari sana, Pulau Klah menjadi tempat ideal untuk mancing. Pulau kecil ini memiliki suasana yang benar-benar tenang, jauh dari hiruk-pikuk.
Selain itu jejalanan yang penuh tanjakan di antaranya Cot Meureung, menawarkan pemandangan dari ketinggian. Dari sini, perjalanan berlanjut ke Cot Radar.
Di Pulau Weh masih ada sebuah Bandara yakni Bandara Maimun Saleh, yang kini hanya melayani penerbangan terbatas, yaitu Susi Air pada hari Selasa dan Jumat. Bandara ini dulunya menjadi penghubung penting untuk wisatawan. Lima tahun lalu, penerbangan ke Sabang masih disubsidi oleh pemerintah untuk meningkatkan aksesibilitas.
Di pulau ini terdapat sejumlah gunung, antara lain Gunung Jaboi adalah gunung berapi aktif yang masih bisa dikunjungi. Kawahnya memancarkan aroma belerang, memberikan pengalaman unik bagi pengunjung yang ingin merasakan sisi lain Pulau Weh.
Sabang, dengan pesona alam dan budayanya, adalah destinasi yang meninggalkan kesan mendalam. Perjalanan ini mengingatkan kami bahwa keindahan Indonesia tak pernah habis untuk dijelajahi.
Malam itu kami menginap di sebuah guest house yang bersih bertarif hotel. Terletak dari Tugu Simpang Garuda, pusat kota Sabang. Hampir sepanjang malam, hujan turun begitu lebat.
Perjalanan pulang dari Sabang menuju Banda Aceh pun memiliki cerita serupa saat kedatangan di pelabuhan. Informasi dari supir mobil carter, feri dijadwalkan berangkat pukul 07.30. Dengan asumsi tersebut, kami terburu-buru mempersiapkan diri sejak pagi sekali. Namun, setelah sampai di pelabuhan, ternyata keberangkatan tertunda hingga pukul 08.30.
Meski sempat kecewa dengan jadwal yang tidak sesuai, penyeberangan pulang tetap memberikan pengalaman yang tak kalah menarik. Pemandangan laut di pagi hari memberikan nuansa segar, menemani perjalanan kembali ke Banda Aceh.
Semua romantisme satu malam di Sabang menambah kesan mendalam di Pulau paling Utara Indonesia ini *
Hj. Tutin Apriyani, SE adalah pramugari maskapai pemerintah 1980-1993, pernah terbang bersama rombongan VVIP Presiden Soeharto. Pensiun tahun 2018.