Berlian | Cerpen : Pamula Trisna Suri

67
Tulisan Terkait

Rempang: Husnu Abadi

Berita Lainnya

Loading

BERLIAN

Setelah enam bulan lamanya menanti, akhirnya tes pack bergaris dua strip. Bagi kami pasangan muda yang hidup di kampung, penantian selama enam bulan terasa lama. Sebab tiap hari tetangga dan kerabat terus-menerus merongrong dengan pertanyaan yang sama. Kapan isi?

Kala itu suami sangat senang. Girang bukan main. Tiap pekan kami periksa ke dokter secara rutin. Tidak banyak kendala selama kehamilan dan dokter berkata, bahwa tumbuh kembang janin di dalam perutku bagus.

Hingga suatu hari, ketika usia kandunganku menginjak usia tujuh bulan dan mengalami masalah. Saat aku bersama suami berkendaraan sepeda motor, secara tidak sengaja suami menerjang lubang jalanan. Dan sempat terjatuh.

Awalnya kondisi kehamilanku baik-baik aja, namun selang beberapa hari setelah itu terjadi pendarahan yang hebat, sehingga orang tuaku memutuskan untuk membawaku ke Rumah Sakit terdekat. Aku cemas dengan kondisiku. Anak pertama yang kuimpikan berada dalam bahaya, dalam perjalanan kupanjatkan doa-doa sambil menahan perih. Ibu, selalu menguatkanku dan memintaku untuk berpikir bahwa janinku baik-baik saja.

Tiba di rumah sakit, perawat dengan sigap memindahkanku pada tempat tidur dorong dan membawaku ke ruang UGD. Dokter segera memeriksa kondisi janin dan pendarahanku. Setelah beberapa waktu memeriksa dokter mengatakan bahwa janinku baik-baik saja. Namun karena pendarahan yang terjadi, dokter menutuskan bahwa aku harus opname. 

Hari-hari kulalui di rumah sakit dengan beristirahat total. Rasa nyeri sudah berkurang namun entah kenapa darah masih mengalir deras. Satu minggu berlalu pendarahan belum juga berhenti namun sudah berkurang.

Rasanya aku sudah tidak tahan lagi tinggal di rumah sakit berlama-lama. Makanan yang disediakan rumah sakit terasa hambar, membuatku malas makan. Kubujuk ibu agar mau minta ijin diperbolehkan pulang. Awalnya dokter melarang karena kondisiku masih belum stabil. Namun setelah kami sepakat menerima resiko, aku diijinkan untuk pulang dengan membawa tumpukan obat-obatan yang harus kuminum setiap harinya.

Selama di rumah pendarahan masih berlangsung. Obat-obat itu tidak berfungsi. Sepuluh hari kemudian kurasakan ada rasa nyeri hebat pada bagian perut bawah. Akhirnya Ibu membawaku ke bidan terdekat. Menurut ibu, ini adalah tanda-tanda mau melahirkan. Dalam batinku menolak, usia kandunganku masih tujuh bulan. Bayi belum tumbuh sempurna dan belum siap lahir.

Dalam doa aku berharap ini hanya kontraksi biasa, sama seperti yang terjadi sebelumnya. Tapi aku menyadari sakit kali ini berbeda. Seolah semua tulang rusuk dihantam benda tajam, perut perih seakan teriris-iris.

Setelah memeriksa kondisiku, bidan mengatakan bahwa aku bisa melahirkan dengan normal, dengan kondisi bayi sungsang. Bidan pun membimbingku untuk mengejan. Beberapa saat kemudian bayi mungil itu lahir dengan bagian pantat yang lebih dahulu keluar. Berat badannya hanya 1100 gram. Atau hanya satu kilogram lebih.

Setelah semua perjuangan itu terasa ada yang aneh. Kenapa bayiku tidak menangis? Samar kulihat bidan menepuk-nepuk badan si kecil dengan wajah cemas, dan kemudian berlarian diikuti perawat keluar ruangan. Aku tinggal di klinik dengan ditunggui asistennya. Sungguh lemas rasanya.

Sore hari baru kuketahui bayiku dibawa ke rumah sakit. Pihak rumah sakit menyatakan bahwa anakku harus masuk inkubator, karena kondisi fisik dan berat badan sangat kurang. Kurang lebih selama 32 hari anakku di rawat, akhirnya aku dan keluarga bisa membawanya pulang. Betapa bahagia saat itu, seperti sebuah keajaiban bayi dengan berat badan 11 ons itu bisa selamat.

Sampai di rumah ibu membantuku merawatnya. Ingin sekali aku memandikannya sendiri namun aku belum berani. Kondisi anakku tidak sepeti bayi lainnya. Siku dan lututnya berdeketan seperti posisi bayi saat masih dalam perut.

Rasanya sedih hati ini melihatnya. Tak terasa air mataku mengalir melihat ibu memanjatkan doa-doa saat mengusap setiap bagian tubuhnya. Kami merawatnya dengan sepenuh cinta. Perkembangan dan pertumbuhannya pun semakin bagus. Berat badan mulai naik, parasnya bertambah cantik. Kulitnya putih bersih. Dan anak itu selalu tersenyum saat dipanggil namanya. Berlian Cornela Adista.

Menginjak usia satu tahun, kusadari ada yang salah dengan anakku. Saat ini dia belum bisa menapakkan kaki seperti teman lainnya. Dia hanya bisa merangkak. Saat kami coba membuatnya berdiri tampak kaki kanan dan kirinya tidak sama panjang.

Hancur rasanya hatiku. Cobaan apa lagi ini. Segera kukeluhkan semua ini pada ibu. Akhirnya kami sepakat untuk membawanya ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa anakku harus fisioterapi. Aku pasrah, jika memang itu yang terbaik, baiklah.

Kami rutin melakukan fisioterapi namun hingga beberapa bulan tidak ada perkembangan yang terlihat. Tetangga dan kerabat mulai memberikan pendapat untuk mencoba terapi di tempat lain, bukan secara medis. Sebagai orang kampung aku pun mencobanya. Hal-hal seperti ini biasa di kampungku. Bukan dukun, tapi tukang urut kampung yang punya ilmu turun temurun.

Kami membawanya kepada orang tua di kampung sebelah. Di sana seorang kakek tua menempelkan kapas di lutut anakku, dengan sekejap keluar cairan dalam kapas tersebut.

“Mbak, ini anaknya sepertinya akan lumpuh. Udah dari bawaan lahir seperti ini. Dia gak akan bisa jalan,” ujarnya lugas.

Bagai disambar petir mendengar pernyataannya. Aku putus asa. Kubawa pulang anakku dengan rasa sedih yang tak terperi. “Maafkan ibu, Nak.” Sepanjang jalan kuciumi wajahnya.

Tak hanya satu orang yang kudatangi, Hampir enam orang pengobatan tradisional yang kudatangi namun hasilnya sama. Tidak ada perkembangan yang berarti. Aku mulai putus asa. Berbagai saran kerabat untuk mencoba terapi di pengobatan alternatif kuabaikan. Hingga suatu hari ibu mendekatiku.

“Nduk, apa salahnya kita coba saran dari Mbak Marsih, katanya dulu pernah ada kejadian seperti ini dan anaknya bisa jalan,” bujuk Ibu.

Setelah kupikir-pikir dari pada berdiam diri, apa salahnya aku selalu mencoba dan berusaha agar anakku bisa berjalan. Akhirnya keesokan hari kami ke rumah Mbak Jum. Mbak Jum menyapa kami hangat.

Dia membawa sebuah mangkuk yang berisi ramuan tradisional, entah apa saja aku tak tahu. Dia melumuri kaki anakku dengan ramuan tersebut sambil memijit-mijit kakinya. Kulihat anakku sesekali menangis karna kesakitan. Beberapa kali kami ke sana dan ramuan yang diberikan selalu berganti-ganti.

Hingga tanpa kami sadari anakku mulai berani menapakkan kaki dan bisa berjalan saat usianya empat tahun lebih.  Betapa bersyukurnya aku, walaupun dia berjalan tidak seperti teman lainnya.

Umur 5 tahun kucoba masukkan Erli, panggilan Berlian, masuk sekolah TK. Aku mulai khawatir dengan kondisinya yang berbeda dengan teman lain. Erli tidak berjalan seperti biasa. Dia pincang dan sedikit bungkuk. Aku khawatir dia akan di ledek oleh teman-temannya. Aku takut mentalnya jatuh dan bahkan tidak mau keluar rumah karena malu.

Kuceritakan kecemasanku bahwa Erli adalah anak yang istimewa, pada guru-guru di sana dengan harapan mereka punya perhatian lebih terhadap anakku. Setiap berangkat sekolah aku selalu berpesan padanya untuk tetep semangat belajar. Kuberikan pemahaman bahwa dia adalah anak yang istimewa. Dibalik kekurangan pasti ada kelebihannya. Tak henti-henti pesan dan motivasi kuberikan pada Berlian.

Betapa terharunya aku, ketika apa yang kukhawatirkan tidak terjadi. Justru tiap kuantar sekolah, teman-temannya menunggu di pintu gerbang dan bersiap untuk membantunya. Mereka menyambut Erli dengan riang dan menuju kelas bersama-sama.

“Ya Allah, terimakasih atas semua ini,” lirihku sambil melangkah ke ruang guru untuk bertanya perkembangan belajarnya.

“Erli itu luar biasa, Bu. Walaupun dia punya keterbatasan, dia tidak mau dibedakan dengan anak-anak lain. Erli sangat percaya diri. Saya sangat salut, Ibu berhasil membuatnya menjadi anak hebat,” kata Guru kelas pagi itu.

Tak terasa, waktu perpisahan tiba. Biasanya ada pentas seni drum band yang dilakukan oleh anak-anak. Seperti kegiatan yang lain, aku tidak ingin anakku diperlakukan spesial. Dia harus sama dengan teman-temannya. Pada penampilan drum band pun dia ikut serta walaupun hanya membawa alat yang kecil dan ringan agar tidak terlalu membebaninya.

Melihatnya betapa cantiknya Erli di atas pentas, menjadi anggota drum band dan digendong oleh seorang guru, air mataku menetes. Beruntungnya kami guru dan teman-temannya menyayangi Erli.

Berbekal pengalaman saat TK aku mulai yakin melepas Erli untuk bersekolah di SD Negeri. Di setiap jenjang sekolahnya selalu muncul kekhawatiranku, Erli akan merasa berbeda. Tetapi ternyata Erli sangat bisa mengatasi masalahnya. Bahkan seorang guru pernah menceritakan, Berlian begitu bijak mengatasi anak-anak badung yang meledeknya.

“Anakmu hebat, Bu. Dia bilang, bersyukurlah kamu sempurna. Aku saja yang tak sempurna bersyukur, gitu katanya,” cerita salah seorang guru kepadaku.

Mendengar cerita itu hatiku luluh. Anak sekecil itu sudah bijaksana menghadapi masalah. Aku sangat bersyukur apa yang kutanamkan memberikan hasil.

            Waktu berlalu begitu cepat, Erli tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri dan ayu. Memasuki akhir sekolah kucoba untuk bernegoisasi dengannya karena dalam kondisi saat ini aku tidak bisa lagi antar jemput sekolah. Kuusulkan agar ia tidak melanjutkan ke jenjang SMA ataupun SMK, tetapi masuk ke pondok pesantren agar tidak perlu pulang pergi.

            “Gini aja, Bu, aku berhenti sekolah dulu,” katanya tegas. Dan begitulah akhirnya dia tak melanjutkan.

Beberapa bulan kemudian ada tetangga yang bekerja di kelurahan  menyarankan agar Erli ikut kursus. Tawaran itu disambut baik olehnya. Terlihat matanya bersinar saat mendengar  jurusan yang ditawarkan adalah menjahit.

Aku sempat sangsi, apa Erli bisa? “Bisa kok, Bu. Aku bisa jahit, kaki-kakiku cukup kuat untuk menginjak mesin jahit,” kata Berlian bersemangat.

            Aku masih tidak percaya Berlianku bisa menjahit. Hingga suatu waktu dia membawa sebuah baju hasil jahitannya untukku. Masyallah, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan. Sungguh Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang.

Dibalik kekurangan anakku, Allah memberikan kelebihan untuk anakku. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Pak Bambang, kenalanku di tempat kursus menyarankanku agar membawa Erli ke Solo, di sana ada tempat khusus untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Beliau dengan ringan langkah dia mengantarkan kami ke solo untuk melihat-lihat situasi  dan kondisi di sana. Ternyata di sana adalah sebuah tempat bimbingan untuk anak-anak difabel yang terhimpun dari beberapa daerah. Erli sangat bersemangat. Dia setuju untuk pindah belajar di sana.

            Beberapa jurusan ditawarkan, dan Erli memilih jurusan fotografi. Kemampuan sosialnya pun meningkat. Dia menjadi lebih percaya diri dan lebih bersyukur dengan melihat kawan-kawannya yang senasib, bahkan ada yang dengan kondisi jauh di bawahnya.

Sekolah khusus penyandang disabilitas itu, setiap tahun mengadakan kompetisi sesuai jurusannya. Erli pun ikut mendaftar untuk kompetisi itu. Keterampilan mengambil fotonya memang bagus, beberapa kali dia memberikan hasilnya kepadaku.

            “Bu, doakan aku menang,ya?” ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya.

Minggu pagi aku menerima videocall dari aplikasi whatsapp. Terlihat wajah ayu Erli menggunakan kebaya. “Sekarang pengumumannya, Bu,” kata Erli.

Dia balikkan layar telpon kedepan, dan kulihat lelaki muda berdiri di depan mikrofon, “Selanjutnya kita umumkan pemenang lomba fotografi.” Suara itu cukup jelas, aku pun ikut gugup menanti pengumuman.

            “Pemenangnya adalah Berlian Cornela Adista.” Suara tepuk tangan menggelegar, kulihat arah kamera sudah tertuju ke wajah gadisku.

            “Selamat, Nak, Selamat, Alhamdulillah perjuanganmu dibayar tuntas,” kataku haru menahan tangis. Dia tersenyum bahagia, memamerkan gigi-gigi putihnya dengan senyum ayu khas Jogja.

            Benar kata Ibuku, semua anak spesial. Dibalik kekuranganya pasti ada kelebihan. Kita sebagai orang tua harus sabar dan mengarahkan minat dan bakat anak sesuai dengan keinginannya.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan