

Dalam Hikayat Hang Tuah ada diceritakan ketika, armada Portugis (1511) menghantam kapal Sultan Melaka di selat Melaka dalam perang laut yang berkecamuk lima hari itu, akhirnya armada Portugis menenggelamkan kapal Sultan Kerajaan Melaka. Kisah itu ditulis dalam Sejarah Melayu dan diangkat sebagai puisi balada terpanjang dalam puisi T Amir Hamzah.
Menurut hikayat itu lagi sang Laksamana Hang Tuah pernah bersumpah,”Takkan Melayu Hilang di Bumi!” Deklarasi Hang Tuah itu menjadi buah bibir orang Melayu dan pada akhirnya menjadi semboyan bermakna ganda. Pada satu pihak ia menggaungkan semangat Melayu yang pantang menyerah tetap mempertahankan kejayaannya. Pada pihak lain mengandung kecemasan akan terhakisnya Melayu bukan saja di laut tetapi juga di darat.
Kisah Hang Tuah bukanlah pembacaan yang selesai dalam wacana dunia Melayu. Ia sebuah bacaan dari sebuah terminal yang tidak terhenti tetapi berangkat keluar dengan dirinya dan merantau ke berbagai wilayah pesisir pantai Nusantara dan semenanjung Melayu khususnya.
Banyak pengembara asing yang meneliti watak orang Melayu.Ia digolongkan manusia penggembira, ramah, sering berpindah tempat untuk mencari koloni baru sebagai tempat berdiam dan mencari kehidupan baru. Oleh karena, orang Melayu banyak mendiami pantai-pantai pesisir maka mereka banyak menerima pendatang dari berbagai bangsa di dunia. Sebagai contoh Pantai Barus sekitar abad ke-7 sampai abad-ke 16 menjadi lalulintas pelabuhan yang sangat ramai dan sibuk. Sejumlah transaksi dagang sangat berkembang mulai dari kemenyan dan kapur barus sampai kain sutera dan porselin menjadi idola masyarakat ketika itu.
Beberapa abad sesudahnya ,dengan kedatangan kompeni Belanda ke Siak Indragiri, Batubara, Serdang dan Deli akhirnya terjadi perubahan semangat Melayu dengan jatuhnya berbagai kerajaan Melayu di Nusantara.
Kejatuhan Melayu akibat kekuasaan Belanda yang menaklukkan Siak berdampak pada kejatuhan kedaulatan raja Melayu seperti Langkat, Deli, Asahan dan Serdang yang pada mulanya mengakui kedaulatan utama Kesultanan Siak. Seperti semboyan “beraja ke Siak bersultan ke Aceh”
Takkan Melayu Hilang di Bumi
Sehubungan dengan semboyan Melayu ‘Takkan Melayu Hilang di Bumi’,kini terdengar nyaring kembali dan merasukkan kembali dengan roh Hang Tuah di seluruh pelosok Melayu Nusantara. Semboyan itu tersirat yakni jangan diganggu rasa dan karsa Melayu untuk hidup berkhidmad di negaranya sendiri yang dilindungi UUD 1945.
Sejak dahulu sudah berbudi dan berbudaya tenggang rasa menerima dengan terbuka semua pendatang serta berusaha dan berkarya, tapi jangan ada program terukur untuk menggusur tanah Melayu yang berabad dan berbilang kaum telah dihuni sebagai warga NKRI. Budaya leluhur Melayu yang terbentang sepanjang pantai Nusantara, termasuk masyarakat yang hidup dibumi Melayu Rempang dan Galang Kepulauan Riau.
Mereka hidup sejak kerajaan Melayu lingga. yang tersohor gagah, tabah dan konon takkan pernah menyerah apabila bumi adat dan ulayatnya diinjak orang luar. Oleh karena bangsa Melayu telah menyumbangkan darma baktinya kepada negara ini termasuk bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang bermarwah dan bertuah di peringkat antarbangsa. Merusak marwah Melayu sama dengan merusak bangsa.
Pada zaman industri dan investasi ini gugusan pulau kecil di Kepulauan. Riau (Kepri) seperti Rempang dan Galang sangat sexy untuk dikelola oleh negara-negara asing dalam bentuk kerjasama yang menguntungkan. Posisi Pulau Batam termasuk Rempang sangat strategis dalam jalur maritim yang menghubungkan benua Asia ke Afrika melalui jalur Laut China Selatan, Selat Malaka dan Samudera Hindia.
Bak kata pepatah ‘sebelum melakukan akad, kita harus sepakat’ Seperti halnya dalam adat bermasyarakat dikenal semboyan hukum “Laut, berpagar pasir, darat berpagar adat, langit berpagar hukum’. Penjabarannya ialah laut ada pagarnya, darat ada pagarnya, dan hokum juga berpagar langit yang mengisyaratkan hukum dijunjung adat didukung dengan semangat kekeluargaan.
Hari ini di media sosial, facebook, twitter dan Tik Tok kita dibanjiri carut-marut berdebat dan berkelahi termasuk saling menghujat yang semuanya menggunakan kalimat tidak berpagar, bahasa yang tidak berpagar sehingga meruntuhkan kesantunan kita sebagai bangsa yang berkebudayaan, hukum yang berbudaya. Bukankah pada pembukaan UUD 1945 untuk mendirikan negara ini dimulai dengan semangat kekeluargaan? Mengapa azas kekeluargaan ini tidak digunakan dalam mengatasi kemelut bangsa mencari solusi terbaik dari persoalan berbangsa hari ini. Kita yakin dengan semangat kekeluargaan itu segala konflik akan bermuara mencari konsensus yang terbaik. Semoga!
Oman, September 2023
Penulis: dosen dan sastrawan