Kiat Membangun Teater Sekolah: Catatan Shafwan Hadi Umry

14

Tulisan ini adalah rangkuman dari pertemuan saya dengan Mr. Mel Morrow seorang guru drama di Australia yang melakukan perbincangan dengan guru bahasa di ruang Universitas Macquarie, Sidney 1992).

Guru drama ini banyak menyampaikan kreativitasnya dengan menanamkan cinta teater terhadap siswa dan masyarakat di Australia. Pengalamannya selaku guru di sekolah dapat dijadikan perbandingan dengan guru drama di Indonesia

Mr. Mel Morrow adalah peminat drama klasik dan mengkhawatirkan hilangnya minat siswa tentang drama klasik / ini akibat orang sekarang cenderung menoleh ke drama modern. Apabila ini terjadi, hal ini malah malapetaka bagi generasi muda, demikian kata Morrow.

Ia melihat bahwa anak muda di Australia tidak tertarik pada drama klasik dan bersikap curiga dengan yang klasik. Gejala ini membuat Morrow merumuskan tugas-tugas yang harus dimulainya dengan tujuan menjadikan drama sebagai bombon coklat yang nikmat.

Tugas pertama, membuat hal-hal yang menarik minat siswa. Ia melakukan pelatihan kabaret dan menulis naskah yang dipadukan secara musikal. Kemudian memilih anak-anak sekolah yang semuanya laki-laki dan pandai di bidang olahraga. Anak yang pandai berolahraga ini ternyata pandai menyanyi. Ia memutuskan membuat kegiatan itu di sekolah. Di sekolahnya, guru drama ini menyulap bangsal sekolah menjadi bengkel drama.

Ada dua puluh anak yang dipilih dan dilatih menjadi pelayan. Di ruang pertunjukan hanya musik yang digelarkan untuk menghilangkan “bau teater”. Para penonton membawa minuman masing-masing. Penataan ruangan diubah-ubah untuk menyegarkan dan menyenangkan penonton yang terdiri atas siswa sekolah tersebut. Kini para pemain drama yang terdiri atas siswa sekolah tersebut menjadi pelopor dalam acara pertunjukan selanjutnya di sekolah.

Tugas kedua, melibatkan siswa sekolah ke dalam drama tersebut. Cara yang ditempuh adalah membawa para pemain keliling dunia. Meskipun usul tersebut ditertawakan oleh kepala sekolah, ia akhirnya berhasil mengusahakan tiket pesawat untuk membawa rombongan ke Inggris dan Perancis.

Di setiap negara yang dikunjungi, anak asuhnya bermain delapan kali. Mereka menetap sementara di rumah orang tua murid yang sekolahnya sebagai tempat pertunjukan. Banyak hal yang luar biasa menurut Morrow, antara lain mampu menggelarkan karya klasik dengan beratus-ratus penonton hadir menyaksikan. Keberhasilan ini membuat Morrow mengangkat naskah King Lear karya Shakespeare yang dianggap paling sulit dan membutuhkan 34 pemain. Persiapan ini bukan mudah dari segi kostum pemain. Lalu Morrow memutuskan suatu teknik yang dipelajarinya di Inggris, yakni pagelaran dan pelatihan. Caranya, yang ditonton para penonton adalah seolah-olah pelatihan tanpa memakai kostum yang dituntut naskah.

Berita Lainnya

Para pemain memakai kostum “yang pura-pura” dan beralasan kostumnya belum datang, dan pertunjukan tetap berlangsung. Para pemain seolah-olah baru datang untuk pelatihan, namun, sebenarnya Morrow telah mendesain tokoh yang diperankan siswa.

Kesan penonton adalah, produksi drama dibuat secara cerdik tanpa biaya yang mahal dan pemeran tokoh wanita dapat diganti oleh laki-laki dengan menggunakan topeng. Kostum yang digunakan berwarna putih dan peran yang membedakan diberikan tanda-tanda khusus, misalnya raja memakai dasi.

Tugas ketiga, mengajar siswa memperagakan puisi. Umumnya kata yang “mengerikan” di telinga siswa di Sidney, adalah puisi. Morrow memutuskan membuat acara perjalanan puisi yang disebutnya “tour poetry”.

Ia pergi ke China Town (daerah kampung Cina di Sidney) membeli selusin jas Cina, kemudian jas itu disemprot dengan berbagai cat warna. Anak laki-laki membeli celana jeans hitam. Kegiatan seterusnya adalah mengubah puisi menjadi lagu-lagu rock yang digemari anak muda. Di tengah-tengah lantunan musik lalu dihentikan kemudian acara pembacaan puisi dilakukan. Teknik pembacaan puisi dilakukan secara tunggal dan kadang kala secara kelompok. Puisi yang dibacakan tak ubahnya seperti peluru yang bergantian datangnya. Syahdan, dimulailah tour puisi-puisi ke kota-kota besar seperti Melborune. Morrow tiba-tiba merasakan puisi itu ternyata menyenangkan dan sebagai paspor perjalanan.

Dari pengalaman pagelaran puisi ini, Morrow berpendapat bahwa teks puisi harus dihafal dan hasilnya akan masuk ke dalam hati siswa. Kegiatan hafalan ini mestilah diikuti pementasan dibandingkan kegiatan menghafal begitu saja yang merupakan PR yang menyebalkan siswa.

Tugas keempat yang ditempuh Morrow adalah memilih karya Shakepeare yang tidak populer dan disajikan di negara tidak terkenal. Ini merupakan tantangan kreatif dan Morrow membutuhkan dua ratus dolar untuk membeli kain yang terbuat dari parasut. Kostum parasut diberikan kepada masing-masing pemain dan mereka memberinya warna dengan bentuk yang berbeda-beda. Morrow banyak disebut sebagai orang gila karena mementaskan drama Sheakpeare yang tidak populer dan rombongannya berpergian hanya membawa tas kecil yang berisi kostum parasut. Menurut Morrow, semakin sederhana pertunjukan semakin bernilai sebagai sesuatu yang klasik.

Cara yang lain puisi-puisi Less Murray dan Robert Gray yang dianggap orang sebagai penyair kontemporer dan terkemuka dewasa ini di Australia ditaribaletkan oleh para siswa yang dilatih Morrow. Para pemain berganti-ganti mengubah posisi dalam menari dan tiba-tiba Morrow merasakan bagaimana sebuah buku yang membosankan menjadi mencengangkan dalam pertunjukan. Dengan Mel Morrow, ada beberapa hal yang patut menjadi cerminan bagi guru-guru kesenian dan termasuk juga para pekerja teater, yakni bagaimana menyajikan naskah yang sulit dalam taktik-taktik seni yang populer dan menyenangkan banyak orang termasuk siswa. Tujuannya bagaimana mengubah ketakutan menjadi semangat untuk berkreasi**

Penulis dosen dan sastrawan tinggal di Medan.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan