Literasi Dan Penguapan? | Opini : Siti Salmah

Berita Lainnya

Loading

TAK kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Barangkali, pepatah ini saya—dan mungkin sebagian besar (yang hanya tahu selintingan mengenainya—rasakan ketika belum mengenal sosok yang terkenal kritis dan tidak suka basa-basi itu.


Berbagai tanggapan dilayangkan oleh orang-orang—yang tentunya tidak bisa saya sebutkan namanya—mengenai sosok yang bernama Profesor Yusmar Yusuf ketika tahu bahwa saya berniat untuk mengundangnya menjadi pemateri di Komunitas Salmah Creative Writing.


Ketika saya menayangkan poster di media sosial perihal niat tersebut, tanpa menunggu lama, whatsapp saya langsung dibanjiri pesan pribadi dari teman-teman yang peduli. Ada yang mengapresiasi seperti, “Luar biasa bisa mengundang Prof. Yusmar menjadi narasumber di komunitasmu.”


Ada pula yang khawatir dan menyuruh berhati-hati. “Hati-hati dengan beliau, bisa-bisa nanti sesat.” Tentu saja masih banyak komentar-komentar lainnya yang jika saya tuliskan di sini akan membosankan dan menghabiskan topik.


Meskipun demikian, beberapa komentar itu tidak serta-merta membuat bangga, pun ketar-ketir. Justru rasa penasaran pada sosok yang diperbincangkan banyak orang ini, semakin bergejolak. Lalu, saya beberapa kali berkonsultasi dengan Murparsaulian yang menjembatani proses perkenalan saya dengan narasumber.


“Profesor orang baik, tidak usah khawatir. Kita lanjutkan saja diskusinya,” ujar Mur.


Saya semakin yakin. Diskusi ini harus berlangsung. Namun saya sempat mengkhawatirkan jumlah peserta tidak sesuai harapan dan pola diskusi pasif yang hanya penyampaian satu arah. Tentu ini akan memicu ketidakpuasan dari seorang Yusmar Yusuf yang berujung kepada kritikan pedasnya. Lagi, Murparsaulian yang seakan paham betul dengan suasana hati saya, menguatkan. Agaknya dia sudah terbiasa mendapat kritikan itu.


Sampailah pada hari yang ditentukan. Awalnya peserta yang datang hanya berkisar 20-an orang saja yang terdiri dari; guru, mahasiswa, karyawan, musisi, penulis, sastrawan dan teaterawan. Alhamdulillah, di tengah pemaparan materi peserta semakin ramai yang hadir.


Diskusi berjalan lancar. Satu persatu muntahan kata-kata yang dikeluarkan Yusmar Yusuf dinikmati oleh setiap peserta. Sesekali riuh dengan tawa, entah paham atau pura-pura paham sebab diskusi kali ini mengusung tema sulit mengenai filsafat dengan bahasa-bahasa baru bagi teman-teman komunitas.


Literasi Memperhalus Akal Budi


Dari sekian banyak materi yang disampaikan Yusmar, ada satu hal yang saya rasa cukup mengena. Misalnya, menurut pemahaman saya berdasarkan apa yang disampaikan Yusmar, amat sangat berdosa rasanya sebagai pegiat literasi (guru-guru dan semua yang mengatasnamakan literasi) jika hanya tertuju pada baca dan tulis, euforia dan dongeng-dongeng yang sengaja dipaksakan kepada generasi muda.
Karena dosa itu pula, tidak dipungkiri banyak bermunculan penulis-penulis baru dari kalangan pelajar, mahasiswa ataupun guru, yang tulisan atau karya yang mereka lahirkan hanya sebatas angin lalu dan keberadaannya tak dirasa sama sekali.


Kebanyakan hanya sebatas share di media sosial lalu mendapat like. Tak jarang hanya emoji big thumb. Yang menyedihkan lagi, jika tulisannya panjang. Jangan harap dibaca tuntas.


Belum lagi maraknya “kesalingan” seperti: saling komen, saling like, puja-puji dan saling share meskipun apresiasinya palsu. Fenomena ini jua yang dirutuki oleh Plato ribuan tahun silam. Menurutnya, literasi pasca-aksara merupakan skandal terbesar umat manusia.


Saya melihat kekhawatiran seorang Yusmar tentang fenomena ini. Ia tidak ingin generasi sekarang menjadi generasi narkosis yang tenggelam dalam imajinasi semu tentang kebesaran diri sendiri. Hal ini akan menciptakan mentalitas penulis anti kritik dan berkegiatan hanya di satu komunitasnya, dengan kata lain seperti katak dalam tempurung.


Padahal jika diselaraskan dengan Marcus Aurelius, salah satu pemikir Stoa, “Kita selalu kagum, kita selalu mencintai diri sendiri. Namun justru peduli dengan pendapat orang lain.” Artinya, dibutuhkan suatu kebesaran hati untuk dapat menerima nasihat dan opini yang membangun—bahkan yang menjatuhkan sekalipun.


Literasi yang baik itu menurut Yusmar Yusuf, adalah literasi yang mampu memperhalus akal budi, saling memberi cahaya bagi orang lain.


Saya perhatikan, wajah peserta diskusi terkesima ketika mendengar kalimat memperhalus akal budi yang dilontarkan oleh Yusmar. Terlihat dari sorot mata yang tak lepas dan bergeming dari sosok Yusmar Yusuf.


Penguapan


Diskusi dengan Yusmar berlangsung menyenangkan. Ia memang tahu apa yang disampaikannya. Seperti Gandalf, sang penyihir tua pada film Lord of The Rings, Yusmar mampu menyihir peserta untuk menyimak dan hanyut dalam pemahaman masing-masing. Namun demikian, tentunya jika diskusi yang ditaja tidak melahirkan tulisan dan karya baru tak lebih dari penguapan yang nir-produktif.


Lalu menguapkah diskusi yang ditaja di rumah baca SCW?


Bagi saya tentu saja tidak, sebab dari pertemuan itu muncul tulisan dan karya. Baca saja apa yang ditulis Bambang Kariyawan (esai: Narkosis Literasi), Murparsaulian (opini: Literasi; Antara Kutukan dan Peradaban), Fedli Azis (opini: Menjingkang yang Majal), WS. Djambak (esai: Kononlah Literasi), Rian Kurniawan (opini: Manusia Pemungut Wahyu: Catatan Pinggir Diskusi Pembatinan Kebudayaan), Muhammad Asqalani Eneste (puisi: | Sprechen Sie Deutsch?), dan Della (opini: Peradaban literasi) Jefri Al Malay (esai:Skandal Literasi? Awas Jebakan!).


Tulisan mereka dan termasuk tulisan ini adalah bentuk kebaharuan dari diskusi-diskusi yang dilakukan selama ini yang mencegah penguapan itu terjadi.


Lantas, apakah tulisan-tulisan yang muncul sebagai pencegahan penguapan itu adalah bentuk puja-puji terhadap materi yang diberikan oleh Yusmar Yusuf? Atau bentuk kesalingan antara peserta dan pemateri?
Entahlah, semoga saja tidak.


Virus Yusmar Yusuf


Beberapa jam bersama Yusmar, Membuat saya teringat pada pemikiran yang disampaikan oleh psikolog asal Polandia, Robert Zojanc, “The more you see it, the more you like it.


Segala bentuk kehawatiran yang ditujukan tadinya tidak terjadi, dan benar adanya, bahwa semakin saya mengenalnya, memahami dan bergaul dengannya, semakin pula saya menyenangi segala ilmu yang diberikannya.


Bagi saya, Yusmar Yusuf itu ibarat “virus”. Virus yang meracuni untuk melahirkan tulisan-tulisan baru. Virus yang membuat kami ketar-ketir untuk [harus] berkarya, berani dikritik, dan mengkritik—asal sesuai dengan koridornya.


Lalu, bagaimana dengan peserta lain yang tidak mengirimkan tulisan ke media massa? Apakah mereka penguapan itu sendiri?


Tentu saja tidak sedangkal itu. Sejak diskusi itu selesai, seluruh peserta sedikit banyak telah mendapat pemahaman baru tentang literasi.


Berdasarkan pantauan saya, peserta diskusi yang hadir semakin gemar membaca buku-buku filsafat maupun buku lainnya, mulai menulis puisi, cerpen, esai walaupun masih tersimpan di grup-grup Whatsapp dan di file-file gawai mereka sendiri.


Ah, Yusmar Yusuf adalah “virus” bagi kami. [*]

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan