

Puisi adalah seni kata, bukan seni konsep. Penyair menari dengan kata dan menari di hadapan pembaca. Inilah yang kita temukan setelah membaca sejumlah puisi Anwar Putra Bayu (lahirlah di Medan 14 Juni 1966). Sebagai sebuah seni kata penyair bergulat dengan sejumlah kosa kata, sejumlah idiom dan sejumlah konotasi yang mengangkut sejumlah muatan arti untuk berkolerasi dengan orang lain termasuk pembaca.
Pada perantauan berkelana dengan sejumlah pengalaman yang dirasakan penyair, ia mestilah berupaya merebut “bahasa” sebagai cara dia mengucapkan dirinya. Terkadang di tengah keberbagian imajinasi keterbatasan kata-kata dalam mengungkapkan sesuatu yang belum akrab bagi pembaca, meskipun dia lebih dahulu mengakrabi pesan personal puisinya sendiri.
Kemampuan seorang penyair menemukan imajinasi dan merebut kata-kata dapat dianggap sebagai kekuatan penyair mengendalikan puisinya. Sebaliknya ketidakmampuan merebut kata dalam puisi meskipun menangkap sejumlah pengalaman imajinasi dapat digolongkan kelemahan seorang penyair menemukan korelasi dengan pembaca.
Puisi haruslah memiliki daya didih yang matang dan bergelora, bukan dingin dan hambar. Ia tak ubahnya seperti daging bistik yang perlu hangat, menggemaskan dan sekaligus menggairahkan.
Dari sejumlah puisi “tercerai-berai” yang dikumpulkan dari berbagai media ini kita bisa memilih beberapa puisi Anwar P Bayu di antaranya sebagai “bistik yang sehat dan bergizi”.
Menterjemahkan luka-luka. Semakin sumur tidak mencukupi. Bahkan air mata yang tak mampu keluar diam-diam menganak sungai.
Mari dimulai penggalian baru. Dan bukan suatu hal buruk. Kalaulah tercipta sebuah telaga. Dimana airnya yang bening. Dapat kita jadikan pencerminan
(Pada akhirnya)
Puisi ini menyuarakan derita dan optimisme penyair menghadapi hidup keseharian. Kemampuan untuk bersikap dewasa dalam menerima musibah sekaligus memetik hikmah dan mencari solusi kearifan.
Anwar Putra Bayu seperti memaklumi bahwa langit kehidupan. adalah arena pertarungan dan sekaligus arena tempat kembali merebahkan diri di kaki Sang Pencipta. Puisi sketsa Langit memiliki interteks dengan puisi “Adam pun menyeka air mata”. Seperti kata penyair:
Rasa solidaritas kebangsaan sebuah negeri sebuah kebanggaan bagi Bayu untuk memandang tanah air melalui “Pelayanan Dewa Ruci”.
Puisi yang terkuat dalam kumpulan ini dapat ditemukan pada “Abad Burung Bangkai”. Puisi yang merekam dan meramu serta memasak kepedihan bangsa. Secara tersirat penyair menyindir abad romantik telah tersingkir digantikan abad kekerasan dan etos kejahilan.
O, Dimana hujan sesungguhnya? Lalu bunyi ledakan. Dan kedinginan. Adalah kehidupan yang mengerikan.—
Marilah kita berangkat sekarang membangun tugu untuk mereka lalu tuliskan. Penyair telah hilang di tengah abad burung bangkai.
Pada puisi lain, penyair Bayu menampilkan sindiran bernada protes terhadap perdagangan global dan neoliberal yang telah terjadi dan tak dapat dihindari. “Puisi dari Jendela Internasional Plaza”, Bayu pun menulis:
Dari kebohonganmu leher mengangkat wajahmu. Menyadar para pekerja anak. Dibawah tangan kekuasaanmu. Sementara di balik jendela. Aku melihat buruh-buruh terpencar pencar. Mereka masih seperti rumpian kita.
Pada hakekatnya, puisi bukanlah pengalaman singkat dalam satu pose ketika orang memotret dirinya. Ada kecenderungan penyair mana saja untuk memberikan keabadian dalam menulis karya-karya sebagai kesaksian dari suatu zaman. Seperti kata A. Teeuw,” kita masih membaca Dante, Shakespeare, Prapanca, sebagai penyair besar yang membikin kekal yang sia-sia membikin abadi yang kelak retak” (1980: 114).
Demikian beberapa puisi Anwar yang juga aktifis sastra dalam dunia kesasatraan ***
*Penulis adalah dosen dan sastrawan