

Indonesia cukup memukau dan mempesona, tapi dalam kehidupan keluarganya ia berada dalam keluarga sederhana tidak tampak sebagai parSeorang ulama kharismatik Islam (meninggal 110 H) Hassan Bashri pernah menyampaikan pesan spritualnya bahwa Allah mewariskan kepada manusia yang hidup di dunia ini dengan tiga informasi. Pertama angan-angan, kedua ajal, dan ketiga sifat lupa. Dalam era milineal ini ketiga pesan Allah itu dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama angan-angan merujuk kepada visi manusia yang memiliki konsep dan pandangan yang jauh ke masa depan. Konsep ‘sunatunnallah’ ini wajar terjadi dalam kehidupan manusia yang hidup dan berjuang sebagai ‘khalifah di bumi’. Meskipun sebagai hamba yang ‘dhaif’ ia menyadari dan mengakui ‘manusia merancang, Allah menentukan’-“man prophoses, God disposses”.
Kedua, manusia terikat dengan ajalnya yang sudah diprogram sejak ia masih di rahim ibu, kapan ia lahir, kapan ia diayun ,kapan ia diberi nama, kapan ia disekolahkan , kemudian bekerja, berkeluarga, beranak cucu dan akhirnya kapan ia dipanggil oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Ketiga yang terakhir ,sifat manusia cepat lupa dan melupakan .”Siapa yang ingin mengingat panjang, jangan terbawa oleh ‘news’. Itu sebabnya pencatat sejarah perlu merawat apa yang cepat dilupakan. Kata-kata ini saya kutip dari Goenawan Mohammad (seorang penyair yang amat dikagumi Damiri Mahmud di masa hidupnya).
Sejumlah tulisan yang dihimpun Nevatuhela ini merupakan upaya merawat apa yang cepat dilupakan ,dilesapkan dalam peristiwa hidup manusia yang bergerak, berubah, berkelindan sebagai watak zaman.
Buku puisi Halakah Panggang (Damiri Mahmud, 2018) dan buku ”Catatan Mengenang Damiri Mahmud” (Nevatuhela) memuat tiga dimensi waktu seperti disampaikan Hassan Bashri di atas.
Pertama, Neva sebagai istri pendamping Damiri Mahmud yang kedua dalam kehidupan sang penyair itu ingin membangun akad perkawinan. Ikatan emosional perkawinan sebagai manifestasi dari membangun ‘angan-angan’-membangun visi pernikahan.
Saya tidak tahu apakah sebenarnya daya tarik Neva untuk mengetuk pintu hati sang penyair ini, sementara lelaki yang dikaguminya telah beranak dan beristri. Apakah motif kekayaan, kemampanan seseorang bahkan kegagahan serta kearifan literasi yang diproduksi Damiri dalam warisan tekstualnya?.Bagi kita mencari jawaban ini sesuatu yang masih menjadi ‘misteri’ dan hanya Nevatuhella yang dapat memilih jawabannya.
Tokoh Damiri Mahmud dalam blantika sastra pengarang sukses yang menyimpan harta dan tidak tinggal dalam rumah-rumah berlabel indah di istana kota.
Damiri Mahmud tinggal di sebuah kampung yang dilingkungi alam kemelayuan. Rumah-rumah keluarga, di Titi Payung (Kecamatan Hamparan Perak Sumatra Utara) di tepi sebuah sungai yang mengalir sepanjang hari dan beberapa pohon nyiur serta rambutan yang teduh dan menenangkan.
Karya-karya maestro sastrawan Sumatra Utara ini , telah keluar dari kandang kampungnya di Hamparan Perak dan mengucapkan dirinya ke ranah nasional sebagai seorang sastrawan dan penyair yang diperhitungkan dalam sejarah sastra Indonesia.
Barangkali,dan saya berani bertaruh bahwa Neva selaku istri dan pengagumnya telah ‘mengidolakan’tokoh prolifik ini dalam perjalanan waktu dulu, kini, dan nanti.
Dimensi kedua dan ketiga, sepertinya menyatu dalam kenyataan yakni tentang perjalanan usia dan ajal manusia. Damiri (1945-2019) . Sebagai upaya merawat kelupaan fitrah manusia, Nevatuhella berusaha membukukan sejumlah ulasan dan kupasan tentang sosok penyair Damiri Mahmud,
Namun apapun kata orang, Nevatuhella telah membuka ‘rahasia cinta dan kekagumannya ’yang selama ini diperam dalam masa, dan akhirnya masak dan menyampaikan aroma cinta itu bukan saja kepada sang ‘meastro Melayu’ ini, akan tetapi imbasnya kepada kita sebagai teman dan kolega sastrawan Damiri Mahmud.
Puisi Kampung Halaman
Dalam suatu wawancara radio, pengarang India yang bernama Yed Mehta ditanya wartawan mengapa sesudah tinggal di Amerika, ia masih merasa perlu menulis tentang India. Beliau menjawab bahwa semakin tua seseorang itu semakin hidup kenangannya tentang zaman kecilnya (Bennet, 1991)
Pernyataan Mehta itu menegaskan kembali bahwa ada kenangan yang lebih hidup bahkan tidak ada kesan yang bisa dihapuskan sebagaimana halnya kenangan tentang masa kecil. Hal ini tersimpan dalam ‘man set ‘seseorang apabila ia jauh dari tanah airnya.
Hal ini sama halnya dengan Tagore pujangga Benggali yang banyak mengembara ke mancanegara termasuk Amerika dan Jepang bahkan pernah singgah di Medan Indonesia. Namun dalam tulisannya Tagore tidak memunculkan kisah-kisah lingkungan luar negeri itu dalam karya kreatifnya. Ia agaknya tetap konsisten dengan Benggala, warna lokal India yang indah.
Itulah sebabnya pemandangan alam dan iklim bukan India jarang ditemui dalam karyanya. Hal ini juga tidakjauh berbeda dengan penyair Melayu Serumpun : A. Azis Deraman, Kemala, Mohammad Haji Salleh, Lim Swee Tin Damiri Mahmud, BY Tand , Abdul Hadi WM, Rida K Liamsi, Soni Farid Maulana, Fakhrumnas M.Jabbar, Husnu Abadi dan lain-lain Pada puisi mereka tergambar warna lokal dan solidaritas social tentang lingkungannya yang begitu akrab bagi penyair meskipun belum tentu akrab bagi pembaca.
Damiri Mahmud salah seorang penyair kontemporer Indonesia termasuk penyair Indonesia yang mengalami hal yang sama tentang ‘rasa terbuang’ dari tanahairnya. Istilah tanah air dalam pembicaraan ini bukanlah berkaitan dengan nationstate bernegara atau merujuk administrasi pemerintahan. Ia bermuara kepada ranah pemikiran dan wilayah batin yang bermitra dengan kehidupan fisikal manusia.
Rasa terbuang Damiri bukan hanya dengan tubuh tetapi jua dengan pemikiran. Hal ini dapat disimak pada baris puisinya:
Kini aku berlari-lari lagi seperti dulu mencari bau reruku dan kemang imanisnya kembang semangkuk biji selasih berlari-lar imenyibak durian luruh dalam semak-semak otakku merenang jurung dan udang siput dan lokan aku berlari-lari menghidu bau bunga kopi yang semerbak hilang dan tenggelam timbul dalam kenangan berlari-lari lelah di antara dempetan rumah dan gang sempit yang menjerit dan terjepit antara halaman dan kenderaan mencari-cari serumpun serai kearifan nenek moyangku yang lunglai ditelan lusuh lipu sederetan buku dan badai piawai teknologi
Pada baris-baris terakhir sebagai puncak ‘rasa amuk‘ penyair tak tertahankan dan sang badai teknologi (abadglobalisme’) dianggap semacam perkelahian terakhir. Sang penyair menulis: lelah/di sela-sela ketiak/di bawah kelangkanganku/ ngucurkan kencing/dan tinja/ nguapkan racun/ dan pestisida/ngembakan bau.
Secara tersirat Damiri melihat gejala peminggiran ‘tanah air Melayu‘ bukan saja di sebabkan perubahan tata ruang dan kebijakan penguasa akan tetapi lebih jauh lagi adanya rekayasa penyeragaman struktur tata ruang lingkungan.
Kampung menjadi desa. Kepala-kepala adat dan penghulu yang kebijakannya diputuskan melalui konsensus ‘tali berpilin tiga’ pemerintahan, ulama, dan kaum cerdik pandai di zaman dahulu dan kini diubah menjadi kepala desa oleh karena jabatannya harus berpedoman ke lapis-lapis penguasa di atasnya. Dengan pecahnya pusat rujukan tradisional memimjam pendapat budayawan Riau Al Azhar (2001) penyelesaian masalah atas suatu komunitas menjadi lamban karena seorang kepala desa di masa kini hanya dapat merumuskan sesuatu kebijakan atas persetujuan atasannya.
Penutup
Pada tahun 2018 , di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, buku puisi Damiri Mahmud, “Halakah Panggang”, memperoleh penghargaan sebagai salah satu Buku Puisi Pilihan, bersanding dengan empat buku puisi lain, dari dua ratusan buku puisi yang terbit sepanjang tahun 2018
Dewan Juri Anugerah Buku Puisi yang beranggotakan Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, dan Maman S. Mahayana menetapkan puisi karya Damiri Mahmud sang penyair Titi Payung selaku penerima anugerah tersebut.***