Ada sebuah puisi menarik yang ditulis penyair Damiri Mahmud (lahir tahun 1945 di Hamparan Perak, Sumatera Utara) berjudul Epitaf. Puisi ini kaya dengan parabel dan metafora tentang ulama yang tersohor pada zamannya. Puisi ini berkisah dari referensi sejarah mistik Islam tentang Nabi Muhammad SAW, Al Ghazali, Zamakhsyari, dan Imam Syafii.
Pada bait pertama penyair Damiri Mahmud menulis:
“Allah, dengan asma-Mu jua kami berkata dan mengenang.dalam ampunan-Mu yang mengalir, kami berenang dan bersyair maaf-Mu sesejuk salju, menggenang, semoga yang kami kenang …” (Memandang Manusia, 1983).
Puisi ini ditulis setelah beliau sehat dari penyakit yang dideritanya yang mengantarkannya ke Rumah Sakit Sitanggang (Jl.Kapten Muslim Medan, 1983). Ketika saya bersama tokoh bahasawan Drs. Sabaruddin Ahmad membezuk di ranjang sakitnya, pandangan kami berdua tertumbuk pada sebuah buku puisi karya Sutardji Calzoum Bachri (dekat bantalnya). Lantas Pak Sabar berujar, ”Wahai Ananda, jangan hanya ini yang kau baca, tetapi ini!”, kata Pak Sabar sambil mengambil kitab suci Al-Quran di atas meja pasien. Penyair kelahiran Hamparan Perak itu pun tersenyum dan mengangguk. Itulah pertama kali Damiri Mahmud mengalami sakit parah dan berbulan-bulan menghuni kamar pasien.
Pada tahun 1985 puisi di atas saya ulas sekilas di ruang budaya Harian Waspada yang diasuh Herman Ks. Sebuah foto dilampirkan tentang potret beliau yang saya ‘klik’ di tanah Lapang Merdeka Medan tempat kami pertama sekali (saya, Yudhi Harsoyo, dan Damiri Mahmud) mencetuskan konsep “Omong-omong Sastra” (1976).
Penulis memulai pembicaraan ini dengan mengutip pendapat Escarpit (seorang pengamat sastra Barat). Menurut dia setiap pengarang (termasuk penyair) akan dilupakan sepuluh, duapuluh atau tigapuluh tahun setelah ia meninggal. Jika ia berhasil melewati ambang berbahaya ini, ia akan menjadi bagian populasi sastra. Kata-kata ini dikutip dari pendapat Escarpit (Yunus, 2008) ketika ia membicarakan keberadaan pengarang dalam proses kreatif.
Pujangga Jepang Akutagawa (dalam Abdul Hadi WM, 2010) pernah ditanyakan orang tentang pendapatnya mengenai kepenyairan seseorang.Dia berkata,’kalau seorang pengarang dapat meninggalkan 10 buah karya yang masih berharga dibaca 30 tahun setelah kematiannya, maka ia dapat disebut sebagai empu.Kalau hanya dapat meninggalkan 5 buah karya seperti itu, dia masih tergolong kepada pengarang termasyhur. Bila dia hanya meninggalkan 3 buah karya saja pun, ia masih layak disebut pengarang.
Daya tahan para pengarang pada ‘ambang batas’ yang disebut zona berbahaya itu berbagai macam corak dan sebabnya. Salah satunya upaya pengikisan ingatan kolektif dalam priode tertentu dalam perjalanan sastra Indonesia. Daya tahan pengarang menghadapi pengikisan ingatan kolektif menimbulkan semacam ironi dalam sejarah kesusastraan Indonesia.Bahkan secara paradoks, banyak penyair memilih membuang dirinya dan mencari jalan-jalan yang tidak ditempuh orang banyak. Penyair Robert Prost berseru: ”satu jalan bersimpang dua di hutan, dan aku/aku ambil jalan sunyi/dan itulah yang membedakan segala-galanya.” Dengan kata lain “sastra selalu berada di tengah kultur keterkenalan dan keterpencilan“ (Mahmud, 2011).
Puisi Kampung Halaman
Dalam suatu wawancara radio, pengarang India yang bernama Yed Mehta ditanya wartawan mengapa sesudah tinggal di Amerika, ia masih merasa perlu menulis tentang India. Beliau menjawab bahwa semakin tua seseorang itu semakin hidup kenangannya tentang zaman kecilnya (Bennet, 1991).
Pernyataan Mehta itu menegaskan kembali bahwa ada kenangan yang lebih hidup bahkan tidak ada kesan yang bisa dihapuskan sebagaimana halnya kenangan tentang masa kecil. Hal ini tersimpan dalam ‘man set‘ seseorang apabila ia jauh dari tanah airnya.
Hal ini sama halnya dengan Tagore pujangga Benggali yang banyak mengembara ke mancanegara termasuk Amerika dan Jepang bahkan pernah singgah di Medan Indonesia. Namun dalam tulisannya Tagore tidak memunculkan kisah-kisah lingkungan luar negeri itu dalam karya kreatifnya. Ia agaknya tetap konsisten dengan Benggala, warna lokal yang indah.
ltulah sebabnya pemandangan alam dan iklim bukan India jarang ditemui dalam karyanya. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan penyair Melayu Serumpun : A. Azis Deraman, Kemala, Mohammad Haji Salleh, Lim Swee Tin, Damiri Mahmud, BY Tand, Abdul HadiWM, Rida K Liamsi, Soni Farid Maulana, Fakhrumnas MA Jabbar, Husnu Abadi dan lain-lain Pada puisi mereka tergambar warna lokal dan solidaritas sosial tentang lingkungannya yang begitu akrab bagi penyair meskipun belum tentu akrab bagi pembaca.
Damiri Mahmud salah seorang pengarang kontemporer Indonesia termasuk penyair Indonesia yang mengalami hal yang sama tentang ‘rasa terbuang’ dari tanah airnya. Istilah tanah air dalam pembicaraan ini bukanlah berkaitan dengan nation state bernegara atau merujuk administrasi pemerintahan. Ia bermuara kepada ranah pemikiran dan wilayah batin yang bermitra dengan kehidupan fisikal manusia.
Rasa terbuang Damiri bukan hanya dengan tubuh tetapi jua dengan pemikiran. Hal ini dapat disimak pada baris puisinya:
Kini aku berlari-lari lagi seperti dulu mencari bau reruku dan kemangi manisnya kembang semangkukbijiselasihberlari-lari menyibak durian luruh dalam semak-semak otakku merenang jurung dan udang siput dan lokan aku berlari-lari menghidu bau bunga kopi yang semerbak hilang dan tenggelam timbul dalam kenangan berlari-lari lelah di antara dempetan rumah dan gang sempit yang menjerit dan terjepit antara halaman dan kenderaan mencari-cari serumpun serai kearifan nenek moyangku yang lunglai ditelan lusuh lipu sederetan buku dan badai piawai teknologi.
Pada baris-baris terakhir sebagai puncak ‘rasa amuk’ penyair tak tertahankan dan sang badai teknologi (abad globalisme) dianggap semacam perkelahian terakhir. Sang penyair menulis: lelah/di sela-sela ketiak/di bawah kelangkanganku/ngucurkan kencing/dan tinja/nguapkan racun/dan pestisida/ngembakan bau.
Secara tersirat Damiri melihat gejala peminggiran ‘tanah air Melayu’ bukan saja disebabkan perubahan tata ruang dan kebijakan penguasa akan tetapi lebih jauh lagi adanya rekayasa penyeragaman struktur tata ruang lingkungan.
Kampung menjadi desa. Kepala-kepala adat dan penghulu yang kebijakannya diputuskan melalui konsensus ‘tali berpilin tiga’ pemerintahan, ulama, dan kaum cerdik pandai di zaman dahulu kini diubah menjadi kepala desa oleh karena jabatannya harus berpedoman ke lapis-lapis penguasa di atasnya. Dengan pecahnya pusat rujukan tradisional memimjam pendapat budayawan Riau, Al Azhar (2001) penyelesaian masalah atas suatu komunitas menjadi lamban karena seorang kepala desa di masa kini hanya dapat merumuskan sesuatu kebijakan atas persetujuan atasannya.
Puisi ini meskipun bersuasana rasa terbuang seorang bumiputera dari ‘tanah air’ nya sendiri ia juga menyampaikan hak gugat terhadap masyarakat dalam sikap kemandirian seorang cendekiawan. Penyair Damiri Mahmud sang musafir Melayu dari kampung Titi Payung Hamparan Perak itu meninggal dunia 29 Desember 2019.
Medan, 7/02/ 2024