

Penulisan biografi dalam kesusastraan adalah genre yang sudah kuno biografi tidak membedakan sastrawan dan negarawan, jenderal, arsitek atau pengangguran (Wellek, 2016). Sementara, pengarang/penyair adalah orang biasa yang perkembangan moral, intelektual, dan emosinya bisa direkonstrusi jika dikemukakan secara jujur pasti akan menarik terutama penyair yang memakai peralatan puitik secara otentik.
Dalam menghadapi penyair yang mengalami hidup dengan cara yang berbeda, dan bercorak ‘subjektif’ seklaipun kita tidak dapat menyamakan pernyataan yang bersifat autobiografis . karya sastra berbeda dengan buku harian, buku memoir. Dalam ‘dokumen penyair’ yang paling pribadi dapat dijadikan sebagai acuan dalam menelusuri pengalaman personalnya.
Pendekatan biografis sering melupakan bahwa seni bukan perwujudan pengalaman tetapi juga merupakan mata rantai tradisi sastra dan konvensi sastra (konvensasi). Pendekatan biografis merupakan sebagian dari siklus hidup penyair. Secara spesifik penyair ingin mencatatkan dirinya dalam bentuk beberapa sketsa, peristiwa, fakta yang menarik, mengejutkan atau mengharukan yang dijumpai dalam perjalanan hidupnya. Berikut ini diturunkan tiga puisi Dato’ Kemala (seorang penyair prolifik dan Sastrawan Negara Malaysia).
(1) Di pusara Utuy Tatang Sontani
daunan maple emas menggemersikkan doa
bumi ilahi tiada batas antara khalifah-Nya
lagu batin pedih kasih
tafakur musim gugur
——-
Tapi Utuy kau harus pergi
(Moskow, 1980)
Penyiar Kemala begitu mengalami ‘kejutan kultural’ ketika ia menziarahi pusara Utuy Tatang Sontani (sastrawan Indonesia yang produktif pada masanya, akibat politik di tanah air di era Orde Baru membuang dirinya di luar tanah kelahirannya).
(2) Puisi yang kedua yang direkam Dato’ Kemala dalam ketibaannya di Surabaya.
Penyair menulis :
ada titik kecil di tengah transit
lalu menyentuh diri, gerimis merejami
kenangan menjurai membias-bias
desis mengekor-ekor awan tersebak
Penggunan kata yang disampaikan penyair cukup menarik dari sudul ‘linguistik sastra’. Ia memakai penggunaan dari kelas kata benda ‘kenangan’ melompat memilih jenis kata benda hewan yakni, ‘desis mengekor-ekor awan’. Ada permainan metafora yang memang sering digunakan penyair pada umumnya.
(3) Puisi yang ditulisnya di Bukittinggi memilih perjalanan ke Lembah Anai (satu dari sekian panorama alam Minangkabau, Sumatra Barat). Penyair Kemala merasa terhenyak sekaligus terpesona denan lanskap alam Lembah Anai sebagai anugerah Tuhan kepada alam. Beliau menulis:
Juraijemurai memburai
Gelungmenggelung benang kasar
Melengkunglengkung damai
Riak mengecil membesar
Kekuatan kata yang dipakai penyair untuk melukiskan alam lingkungan Lembah Anai sangat didukung oleh permainan kata perulangan variasi (‘juraimenjurai’, ‘gulunggemulung’, ‘melengkunglengkung’) membuat puisi ini menampilkan sudut pandang yang berbeda bagi para pengunjung wisatawan lain. Sebagai wisatawan, penyair Kemala melihat keindahan alam lembah itu dengan mata yang lain – mata kepenyairan – meskipun objek yang dilihat pengunjung lain sama-sama berada pada posisi penikmat alam.
Demikian tiga puisi Kemala yang ditulisnya sebagai sang kelana yang berkunjung ke Indonesia dalam satu kurun waktu.***
Penulis dosen dan sastrawan tinggal di Medan