

Matahari yang menyiksa tubuh
Membakar endapan lama
Menyulut hasrat terpendam
Amarah yang terkurung
Bersatu dengan darah
Mengalir cepat dan deras
Melahirkan kecambah
Mengakar menjalar tanpa batas
Runtuhkan segala yang ada
Gelisah yang sampai ke puncak
Dari Rempang, Galang dan Bulang
Menyeberang ke jalan-jalan
Ke sudut-sudut kota
Ke lorong-lorong
Ke meja-meja penguasa
Tak terhalang ajuk
Tak terlerai aruk
Satu dalam amuk pertikaian
Negeri mati
Marwah mati
Adat mati
Rakyat terluka
Punah patah dan lelah
Di ujung perjuangan
Di ujung perdamaian
Tak ada akhir kesepakatan
Berkeluk dalam keranjang sampah
Pitam Melayu adalah martabat
Yang ditebus dengan kematian
Tak ada lagi sempadan
Tak ada lagi pertanda simpang
Tak ada pagar pembatas
Tak ada sempal penyekat
Menggempal dalam kelam
Hati resah kesabaran lesap
Menghilang dalam gelap kebenaran
Bila negeri sudah tak bermarwah
Tubuh jadi kawat
Muka menjadi besi
Sungai jadi laut
Gelombang menjadi gunung
Hanyutkan segala yang ada
Musnahkan semua yang tersisa
Telapak tangan pun mengeras
Meremas semua batu penghadang
Pitam Melayu
Hitamkan semua peradaban
Lepuhkan seluruh perasaan
Halalkan semua pemberontakan
Gerah dalam amarah
Resah dalam perintah
Marah dalam kesabaran
Mata setajam elang
Hati setajam pedang
Bila rimba sudah terbakar
Hutan tak lagi mampu menjaga
Api yang membara
Ratakan betung dengan tanah
Runtuhkan aur dari tebing
Bilah menjadi asap
Pering tak berpuaka
Rebung tak bertunas
Umbut pun ikut menyala
Pitam Melayu karena meminta
Padahal taklah terlalu banyak
Amuk Melayu karena menyela
Tapi taklah terlalu menyakitkan
Mereka hanya perlu sedikit
Untuk penghapus air mata
Mereka membantah kezaliman
Walau tak pernah didengarkan
Malah tertekan dan terbeban
Rempang dan Bulang
Berkecamuk karena tak ada cinta
Tak ada kasih dan sayang
Tak ada lagi kemuliaan
Rempang dan Galang
Membara dalam amarah
Tergadai dalam kekuasaan
Matahari yang menyiksa tubuh
Karena megendap terlalu lama
Pekanbaru 9/9/23
NASIBMU SUDAH TERTULIS
Di tepian laut menderu
Darahmu mengalir deras
Lancang yang berlayar
Tembuk di dasar jantung
Sembilang yang hanyut
Tenggelam tak timbul lalu
Angin mengabarkan
Engkau akan pergi jauh
Tapi alam tak bersahabat
Menantang hasrat hati
Petanda pantangan datang
Merayumu untuk segera pulang
Engkau tak akan mengerti
Betapa sedihnya gelombang
Yang menggulung karena kuasa
Menunggu engkau mencabarnya
Tapi karena nyeri tulang
Engkau surut menyeberang
Ini adalah pilihan sulit
Jika petanda engkau langgar
Padah pasti akan berlaku
Sumpah daun akan gugur
Akar tercabut dari pangkalnya
Kelapa jatuh mumbang jatuh
Bila engkau percaya waktu
Tepian akan menangis
Membaca ketakutanmu
Padahal nasib sudah tertulis
Engkau adalah bangsa Melayu
Yang membesar dilamun ombak
Tanah dan pohon akan bicara
Tentang dosa nenek moyang
Yang melafal dengan lantang;
Hilang satu tumbuh seribu
Patah tumbuh hilang berganti
Tak Melayu hilang di bumi
Di balik tumpukan makam
Para moyang bergunjing
Tentang tingkah lakumu
Punya nafsu tak punya pandam
Rohmu akan melayang-layang
Karena berpijak di tempat orang
Nasibmu sudah tertulis
Engkau adalah bangsa beradat
Darah yang mengalir di tubuhmu
Adalah nadi seorang panglima
Penakluk dandang gelombang
Betapapun tingginya
Pekanbaru, 10/9/23
Dheni Kurnia; Lahir di Airmolek, Indragiri Riau, 1961. Namanya diakui sebagai penyair di dalam dan luar negeri. Kumpulan buku puisinya sering mendapat penghargaan dan dipilih sebagai buku puisi terbaik se-Indonesia.