Satu Guru, Tiga Murid, Dan Tiga Ideologi: Resensi Jimmy Frismandana Kudo

253

Judul : Seteru 1 Guru : Novel Pergulatan 3 Murid Tjokroaminoto
Penulis : Haris Priyatna
Cetakan : Pertama, April 2015
Tebal : 248 halaman
ISBN : 978-602-1637-78-4
Penerbit : Qanita, Bandung

Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Sejarah besar bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu melahirkan banyak tokoh besar dengan pemahaman dan ideologi yang diyakininya masing-masing. Sebelum Indonesia merdeka, terdapat tiga tokoh yang pada awal mulanya berguru dan belajar banyak hal terutama perihal membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Guru yang spektakuler dan tak terlupakan serta dahsyat itu bernama Tjokroaminoto.
Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto nama lengkapnya. Guru Tjokro memiliki rumah bersejarah yang rumah kediamannya juga menjadi tempat kos anak-anak muda tipikal pemberontak dalam artian baik dan benar demi menuju Indonesia merdeka. Murid-murid bersahabat yang mendiami rumah guru Tjokro itu bernama Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo. Mereka bertiga bersahabat sangat erat walaupun berpuluh-puluh tahun kemudian mesti berbeda ideologi dalam menyikapi keindonesiaan dalam jiwa dan pikirannya masing-masing.
Sejarah merupakan ilmu yang lentur dan cair serta fleksibel. Sejarah dapat diperkaya dari berbagai aneka sumber yang sarat makna mendalam dan hikmah terpendam. Salah satunya melalui novel sejarah dalam buku karya Haris Priyatna ini. Buku mengasyikkan dari Haris Priyatna yang malang melintang dalam dunia penerbitan buku serta ranah kepenulisan intelektual ini memiliki gaya bahasa yang mudah untuk dipahami serta mengalir begitu jernih sehingga bagi mereka yang membacanya merasa bahwa buku hebat tentang tokoh-tokoh luar biasa ini mesti dilahap secepat mungkin serta diambil intisari pelajarannya dalam melangkah ke depan di bumi Ibu Pertiwi, Indonesia.
Dalam perjalanan sekaligus perjuangan bersejarah rakyat Indonesia menuju proklamasi kemerdekaannya, ketiga sahabat yang kos di rumah guru Tjokro kemudian berpisah serta memiliki ideologi dan pemahamannya sendiri. Soekarno, bung besar ini identik dengan nasionalis tulen. Musso erat dengan Partai Komunis Indonesia terutama peristiwa berdarah yakni PKI Madiun 1948 yang menyebabkan ia tewas dengan ideologi komunis Moskow. Terakhir, Kartosowirjo dengan Darul Islam (DI) yang akhirnya divonis mati oleh Bung Karno, sahabatnya sendiri pada awal tahun 1960-an.
Buku ini memiliki kulit muka yang sangat bagus serta memiliki makna yang mendalam jika dikaitkan dengan ilmu sejarah. Dari kiri ada cat orang berwarna merah yang dihubungkan dengan Musso. Lalu, pada bagian tengah ada cat orang dengan warna biru yang dikaitkan dengan Bung Karno. Kemudian, bagian kanan ada cat orang dengan warna hijau yang diasosiasikan dengan Kartosoewirjo. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dari kulit muka buku ini saja sudah dapat diberikan makna bahwa warna ideologi yang berbeda-beda merupakan hal yang mesti diambil benang merahnya sebagai pelajaran bersama bagi generasi Indonesia berikutnya terutama bagi mereka generasi muda yang masih dalam usia sekolah. Buku ini cocok sekali bagi siapa saja yang menikmati sejarah dari lintas profesi.
Karya yang perlu dibaca serta diselami ini juga diberikan pujian dari para tokoh Indonesia yang malang melintang dengan kawah candradimuka masing-masing antara lain dari Yudi Latif yang kita kenal bersama dengan tulisan-tulisan serta pemikiran-pemikirannya yang cerdas sekaligus bernas mengenai pemerintahan, politik, sejarah, dan kebangsaan Indonesia. Lalu, ada pula nama A. Fuadi yang terkenal seantero nusantara Indonesia dengan novel trilogi inspiratifnya, Negeri 5 Menara yang begitu fenomenal itu.
Sejarah Indonesia yang beragam dan kompleks selalu melahirkan tokoh bangsa yang besar dengan berbagai caranya sendiri untuk lahir. Bung Karno yang gandrung dengan paham nasionalis yang ia geluti sejak berusia muda. Berikutnya, Musso begitu yakin dengan ideologi komunisnya bersama kawan-kawan seperjuangannya yang berkiblat kepada Uni Soviet. Begitu pula dengan Kartosoewirjo yang sangat percaya bersama Darul Islam dan rekan-rekan seideologinya.
Pertempuran tiga ideologi sekaligus perang tiga paham dari tiga tokoh yang bersahabat sewaktu muda namun berbeda prinsip serta keyakinan berpuluh-puluh tahun kemudian telah memberikan warna tersendiri bagi sejarah Indonesia tercinta. Sejarah ibu pertiwi dapat diperkaya dengan melihat dari berbagai sisi karena ilmu dan mata pelajaran sejarah merupakan ranah sosial sebagai ilmu yang multidimensi. Dimensi itu tidak hanya dari bisa dilihat dari buku teks pelajaran sejarah yang sering kita temui tetapi juga sekali lagi (mesti dan wajib) kita perkaya dari berbagai literatur sejarah seperti novel sejarah yang dalam banyak hal justru bertutur lebih bebas dan lebih luas untuk membuat cerdas khazanah ilmu sejarah kita sekaligus mempertebal rasa kebangsaan kita pada Indonesia, tanah air tercinta.
Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutip satu paragraf (hlm. 243) berikut, “Tapi, yang pasti mereka semua mewarisi satu hal dari Pak Tjokro, sifat yang keras. Sifat itu bisa membawa kepada keberhasilan, tetapi juga bisa mengantar kepada kehancuran. Dan mereka bertiga memiliki cita-cita yang sama: Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan sejahtera. Andai mereka bisa saling bekerja sama – menyatupadukan kecerdasan, keberanian, dan kekuatan mereka sambil mengesampingkan perbedaan – seperti yang diharapkan Pak Tjokro. Ah, tapi mungkin sudah begitu kehendak sejarah.” Dari perjalanan sejarah Indonesia, kita belajar banyak hal!

Jimmy Frismandana Kudo, Guru PPKN SMA Darma Yudha, Pekanbaru, frismandana@yahoo.co.id

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan