

Sudah lebih sepuluh kali Zakiah berdiri di depan cermin lebar di kamarnya. Di tangannya terpampang sebuah foto dirinya ukuran 45 inci. Hampir sama besarnya dengan wajahnya yang terlihat di cermin itu.
“Yang manakah diriku yang sesungguhnya? Apakah yang di cermin itu, atau yang di foto ini?” tanya Zakiah dengan membandingkan wajahnya di cermin dengan foto di tangannya.
Foto cetak digital itu mengganggu hati Zakiah. Perasaan itu dirasakannya sejak menerima foto cetak digital yang berikan oleh Marsaman seminggu yang lalu. Foto itu dijepret Marsaman ketika Zakiah menghadiri sebuah pesta pernikahan di kota mereka.
Marsaman, si tukang foto digital itu pernah punya hati pada Zakiah beberapa waktu yang lalu. Zakiah tak tahu hal itu karena tak satu isyarat pun dapat dibacanya dari gerak-gerik Marsaman.
Zakiah tak habis pikir, kenapa Marsaman menyerahkan foto itu padanya. Ia tak pernah minta difoto. Apalagi bilang macam-macam sebelum difoto. Waktu Marsaman menjepret, Zakiah rileks saja. Tak berakting sedikit pun seperti kebanyakan kaum hawa jika sedang berfoto sekarang ini.
Foto Zakiah sungguh cantik. Ia kagum pada keahlian Marsaman. Pastaslah dia tergolong fotografer terlaris di kota mereka. Apa saja acara, orang, mereka menggunakan jasa Marsaman. Termasuk acara pesta pernikahan yang dihadirinya tiga hari yang lalu.
Selama ini, Zakiah tak begitu menghiraukan foto-foto tentang dirinya. Apapun dan bagaimanapun hasilnya, tak pernah dipersoalkannya. Tapi, kali ini kenapa jadi lain? Apakah karena ucapan Marsaman ketika menyerahkan foto itu kemarin?
“Engkau cantik, Zakiah,” ucap Marsaman bersamaan dengan tikaman bola matanya ke bola mata Zakiah. Saat itu terasa seperti ada dentuman kuat di jantungnya.
Zakiah sungguh tidak tahu. Untuk menghasilkan foto itu, Marsaman bekerja semalam suntuk. Segala macam aplikasi dia gunakan. Sebab banyak yang perlu ia sempurnakan. Pertama, jangan sampai terlihat satu titik cerawat pun di wajah Zakiah. Kedua, bentuk dagu, hidung, dan bibir ia stel sedemikian rupa. Bola mata Zakiah tampak jernih, serta alis yang terkesan asli. Pokoknya hasil editannya benar-benar wah.
Setelah foto itu selesai diedit, Marsaman mengacungkan jempolnya ke foto itu. Dalam hatinya berucap, “Seperti inilah wanita idamanku!”
Sebagai seorang fotografer, Marsaman tahu persis betapa besarnya andil sebuah foto dalam kehidupan seseorang. Marsaman masih ingat orang-orang yang pernah difotonya dengan berbagai cara, berbagai gaya dan penampilan.
Marsaman memang ahli dalam memainkan alat digital itu. Orang bisa dibuatnya sesuai keinginan. Keinginan sesuai dengan misi yang dijalankannya. Akan tetapi foto Zakiah seperti itu bukanlah keinginan Zakiah, tapi itu adalah kemauan keras Marsaman. Ia ingin melihat wajah Zakiah menjadi wajah perempuan yang didambakannya. Wajah yang bikin hatinya tidak ingin mendua.
Setelah foto itu selesai, cinta Marsaman pada Zakiah jadi sempurna. Padahal, dulu hati Marsaman pernah terpaut sedikit, tapi buyar karena banyak yang mengganggu hatinya pada wajah perempuan itu.
Zakiah berbaring menelentang di atas ranjangnya. Di tatapnya foto pemberian Marsaman itu. Diamatinya wajahnya yang difoto. Dicamnya satu-persatu. Ditatapnya bola mata. Benar-benar bisa buat orang mabuk asmara jika menatapnya. Bibirnya begitu luar biasa. Dagu lancip.
“Hebat kau Marsaman,” kata Zakiah memuji seperti bergemuruh.
Tiba-tiba datang curiga di hati Zakiah pada Marsaman. Ia yakin Marsaman selalu menatap foto itu di rumahnya. Tatapan itu seperti dirasakannya saat itu. Ketika bola mata pada foto itu ditatapnya, sepertinya dia sedang bertatapan dengan Marsaman.
“Marsaman,” tiba-tiba melompat ucapan itu dari mulutnya.
“O, tidak. Aku tidak mau mengkhayal tukang foto itu,” bisik hati Zakiah untuk melawan rasa yang bergejolak dalam jiwanya.
Zakiah berdiri dan berjalan ke depan cermin di kamarnya. Foto itu ditinggalkannya di ranjang. Ia tatap wajahnya di cermin itu seperti ia menatap foto tadi.
“Cantik,” terdengar suaranya seperti mendesah.
Kali ini, Zakiah menyaksikan wajahnya seperti yang dilihatnya pada foto cetak digital itu. Sempurna sekali. Zakiah kagum menyaksikannya.
“Kau sesungguhnya cantik Zakiah.” Tiba-tiba dia mendengar ucapan. Tapi Zakiah tak tahu dari mana sumbernya.
Zakiah merenung. Ia bertanya dalam hatinya, apakah foto itu dicetak dan dibingkai oleh Marsaman sebanyak 2 lembar. Satu diserahkan padanya, yang satu lagi terpasang di dinding kamar Marsaman. Di pasang Marsaman pas menghadap ranjangnya. Bila ia berbaring menelentang, mukanya berhadapan dengan foto itu.
Marsaman melihat Zakiah benar sempurna di foto itu. Tak ada satu titik pun di wajah Zakiah yang membuat hati mendua. Sebab itu, Marsaman berketetapan hati, Zakiah-lah yang akan disuntingnya untuk mendampingi hidupnya sepanjang hayatnya.
Apakah Zakiah mau menerimanya? Ini bukan persoalan kecil. Bukan untuk waktu singkat atau sementara, tapi untuk selama-lamanya. Marsaman bimbang, perempuan yang didambakannya itu, mungkin sudah punya pilihan lain selain dirinya. Bila ya, keinginan besarnya tak akan terwujud.
Marsaman harus tahu bagaimana Zakiah, apakah ia sudah punya pilihan? Marsaman harus tahu. Ia harus mendapatkan jawabannya. Sebab itu, Marsaman bertanya langsung pada Zakiah lewat WhatsApp.
Ini WhatsApp Marsaman pada Zakiah:
Assalamualaikum, Zakiah. Bagaimana keadaanmu? Mudah-mudahan dalam keadaan sehat walafiat, Amin!
Zakiah, aku ingin mengatakan sesuatu melalui WhatsApp ini. Kuharap, kamu bisa memahaminya. Ini adalah perasaan hatiku yang paling dalam.
Zakiah, aku sudah menemukan calon pendamping hidupku di dunia ini. Orangnya sangat sempurna. Tak bisa kubandingkan dengan siapapun. Aku sungguh berharap orang itu menerimaku. Dia adalah kamu, Zakiah.
Setiap hari dan hampir setiap saat, aku menatap fotomu itu. Foto itu terpampang di dinding kamarku, Zakiah.
Zakiah, terimalah aku, ya?
WhatsApp itu masuk ke hp Zakiah. Zakiah pun segera membacanya setelah membaca WA berulang-ulang. Entah berapa kali. Akhirnya, Zakiah membalasnya:
Walaikum salam,
Marsaman.
Aku sudah baca WhatsApp yang kau kirimkan Suatu yang tak pernah kuduga, bahwa engkau ingin menjadikan aku sebagai pendamping hidupmu Sebelum kujawab, aku ingin minta jawaban darimu. Apakah engkau sangat tertarik padaku karena foto itu?
Marsaman membaca WhatsApp yang dikirim Zakiah itu. Dari awal dia sudah menduga bahwa Zakiah tidak akan mau menjawab to the point. Pasti dia ingin mengetahui juga bagaimana sikap dan perasaan Marsaman. Sebagai seorang perempuan, Zakiah tidak mau terlalu mudah menerima pernyataan laki-laki.
Marsaman membalas WhatsApp Zakiah:
Zakiah, aku tahu engkau ragu terhadap diriku. Lebih ragu lagi karena tidak kuucapkan langsung dengan indraku. Padahal aku punya alat ucap untuk mengucapkan itu.
Zakiah, aku sudah lama menjadi fotografer di kota kita. Aku tak ingat, sudah berapa orang yang berhasil mendapat simpati pada musim pesta politik berkat fotonya yang kutata sedemikian rupa, sesuai dengan keinginan yang dipesannya. Bahkan, ada juga para calon kepala daerah. Foto itu mampu menarik perhatian orang.
Engkau juga tahu Foto kamu itu bukan karena keinginanmu. Tetapi kemauanku. Aku mau melihat dirimu sesuai dengan keinginanku. Sebab itu, percalah padaku. Aku akan tetap melihat dirimu seperti foto itu sampai kapan pun. Engkau tidak pernah tua di mataku. Semua yang ada pada dirimu tetap seperti itu selamanya, meskipun suatu saat engkau sudah tiada.
WhatsApp itu langsung dikirim dan masuk ke hp Zakiah. Zakiah pun membacanya. Lalu dibalasnya:
Jika itu yang kau mau, datanglah. Aku bersedia mendapingimu. Kelak, bila aku sudah tua, tetaplah tatap foto itu. Foto itu abadi. Semoga cintamu juga begitu.
Marsaman melompat girang setelah membaca balasan whatsApp itu. Ia segera merapikan diri dan menemui Zakiah.
Bengkalis, 2020
Mohd. Nasir lahir tahun 1960 di Rokan Hulu, Riau. Mulai menulis sejak tahun 1986 dan sering memenangi berbagai sayembara menulis. Hingga kini sudah menulis 15 buku dan 23 antologi.