Merisik Perempuan Samudera dan Penjaga Tradisi: Catatan Shafwan Hadi Umry

34

Saya beruntung menyaksikan kebolehan para perempuan penyair yang mengisi panggung baca puisi pada acara FSIGB (27-28 September) di lantai gedung LAM Tanjung Pinang. Mereka telah berjaya menampilkan rentak dan ragam baca puisi. Ada yang diiringi lagu berlatar musik yang relevan untuk mengikuti suara dan nada vocal sang penyair.
Tulisan ini tidak hanya untuk mendengar gaya pemanggungan puisi mereka yang bermula dari tekstual antologi puisi yang diluncurkan pada 100 puisi di aula kantor Walikota Tanjung Pinang.
Syahdan. malam itu panggung puisi lebih dikuasai para perempuan penyair dibandingkan lelaki penyair. Faktor pendukungnya karena jumlah undangan yang hadir lebih banyak daripada kaum lelaki.
Memang ada beberapa penyair pria terkemuka yang mengisi arena panggung puisi. Misalnya Syarifuddin Arifin, Salman Yoga, Abdul Kadir Ibrahim, Tarmizi Rumah Hitam, Ramon Damora, Samson Rambah Pasir dan lain-lain. Namun, saya terusik oleh gaya berpuisi perempuan penyair yang menari dan menyanyi .Puisi adalah menyanyi dan berdoa. Para pembaca puisi antara lain Ainon Ahmad, Merawati Mey, Putri Bungsu, Yeyen Kiram dan beberapa nama yang lupa tercatat. Puisi yang mereka sampaikan ‘tidak hilang wajahnya di kertas” tapi membekas dalam simakan audio visual. Memang mengasyikkan!
Setelah seminggu berlalu, saya mencoba memilih dan menafsirkan puisi pada antologi puisi karya Azizah yang berjudul “Perempuan Samudera” dan “Perempuan Penjaga Tradisi” oleh Ule Ceny.
Puisi Azizah AK (2024) berpijak pada puisi maritim yang kaya dengan latar belakang laut, ombak, perahu. angin dan juga badai . Puisi bercorak maritim ini telah dimulai pada abad 16 oeh Pujangga Hamzah Fansuri dari Barus Sumatra Utara dan berkembang biak dalam dunia laut, Sungai, tanjung, paluh, dan pantai. Sebuah dunia yang akrab bagi masyarakat bahari meskipun belum akrab bagi para pembaca puisi.
Tradisi puisi maritim juga berkembang di pulau Jawa ketika Ajip Rosidi menulis puisi secara cukup indah, ”Jika kau tanya tentang hidupku. maka lautlah jawabku! Jika kau tanya tentang penderitaanku, maka topanlah jawabku!” Puisi-puisi maritim itu begitu bergelora dan hal ini membuktikan Indonesia sebagai wilayah yang lebih dikuasai lautan menyimpan keindahan aquatik yang puitik.

Perempuan Samudera

Kau arungi samudera
berlari di puncak badai
menari di riak gelombang
bernyanyi di deru angin

Kadang rindumu terdengar samar
di antara genderang kenistaan
syair cintamu terdengar sumbang
di telinga pemuja fana

Teruslah berlari di puncak badai
menari di riak gelombang
bernyanyi di seru angin
————-

Puisi kedua ditulis perempuan penyair Ule Ceny (asal Sumbawa NTB) yang menampilkan kosmologi alam daratan. Puisinya bermain pada daratan dan khususnya dunia rumah tangga kaum Perempuan. Pada antologi “Perempian Penjaga Tradisi” saya pilih puisinya bertajuk “Aku Bunga
aku adalah bunga
yang selalu mekar di setiap jiwa
maka siramlah selalu dengan air telaga kasih
rawatlah agar harumnya mengintari mayapada

Tulisan Terkait

aku adalah bunga
tumbuh aneka warna
seribu rupa menghiasi ruang hati penikmat

Eiit… jangan sembrangan kau petik
pemilik kebun merawatnya sepenuh cinta
sebab aku bunga indah selalu dalam imajinasi
berbunga tanpa kenal musim

Simbol “bunga” banyak dipakai penyair mancanegara sejak dahulu sampai era puisi mutakhir. Misalnya Basho (penyair Jepang) pernah menulis tentang bunga:
ketika saya mengamati dengan hati-hati
saya melihat bunga nazuna sedang mekar
dekat pagar

Penyair Goethe (Jerman) juga pernah menulis bunga sebagai simbol.
Ingin aku memetiknya
namun bunga berkata sendu
haruskah aku layu
haruskah aku dipatahkan ?

Pada puisi tentang bunga yang dipakai penyair di atas memiliki cara pandang yang berbeda. Penyair Ule Ceni (NTB Indonesia) melihat bunga sebagai milik yang perlu dirawat dan pada akhirnya boleh dipetik atas keizinan penjaga taman selaku pemilik.
Penyair Basho tidak ingin memetiknya bahkan ia membiarkan bunga tetap utuh sebagai bunga. Sikap ini ibarat manusia mencintai bunga tanpa harus memetiknya Sikap manusia yang mencintai tanpa harus memiliki. Sikap Goethe yang mempertanyakan akibat mematahkan bunga, sang bunga jadi korban. Namun, dalam puisi selanjutnya Goethe secara bijak memotong bunga itu dan meletakkannya dalam pot sehingga daya kehidupan bunga dapat diselamatkan.
Demikian merisik puisi dua orang perempuan penyair pada acara FSIGB 2024 yang berlangsung penuh persaudaraan seperti dicanangkan Datuk Rida K Liamsi “Ukhuwah Asyuara” (persaudaraan penyair) perlu dilakukan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan juga pertemuan dari hati ke hati. **

Medan, 5 Oktober 2024

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan