Ketika sedang asyik menonton konten reels video pendek di media sosial Facebook yang berisi tentang cuplikan singkat sebuah film yang tayang di Netflix, saya menyempatkan membuka kolom komentar. Ada beragam komentar dari warganet yang saya temukan. Mulai dari komentar nyinyir terkait aktor, jalan cerita yang diangap klise atau yang usil spoiler isi cerita. Tapi justru saya dibuat kaget ketika muncul komentar semacam ini. “judulnya apa ya?”
Saya heran kenapa muncul jenis pertanyaan semacam itu di kolom komentar. Keheranan saya muncul lantaran konten reels video itu sebetulnya sudah memuat informasi yang cukup. Pada bagian caption dan juga pojok atas sebelah kanan video sudah terpampang jelas judul dari film tersebut. Memang berukuran kecil, tapi apabila kita lebih peka sedikit, tulisan itu pasti terbaca.
Saya yakin ini bukan hanya pengalaman saya seorang. Banyak dari kita barangkali yang pernah menjumpai peristiwa demikian. Dari kejadian kecil itu, saya mulai menyadari bahwa masih banyak orang di luar sana yang masih bermasalah terhadap kepekaan terhadap teks. Ini adalah gambaran betapa tantangan literasi itu masih begitu nyata di masyarakat kita.
Keprihatinan Literasi
Melihat realitas semacam itu, mudah bagi kita melihat adanya keprihatinan dalam soal literasi bangsa kita. Terlebih apabila kita kaitkan dengan aktivitas di media sosial. Riset yang pernah dibuat oleh UNESCO menyebutkan kalau 60 juta penduduk Indonesia memiliki gawai, atau berada di urutan kelima sebagai negara dengan kepemilikan gawai terbanyak di dunia.
Yang menjadi keprihatinan adalah bahwa di media sosial kita saat ini, data Wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih sembilan jam sehari. Bahkan, di ruang-ruang media sosial, warganet yang berasal dari Indonesia disebut sebagai yang paling cerewet di urutan ke-lima di dunia.
Masyarakat cenderung lebih tertarik untuk berkomentar atau berbagi informasi yang belum tentu valid, dibandingkan meluangkan waktu untuk membaca dan memahami teks panjang. Imbasnya, di media sosial, masyarakat kita sangat rentan menjadi sasaran informasi-informasi yang bersifat provokasi, hoax, dan fitnah.
Keterampilan Kritis Lewat Membaca Buku
Kerentanan yang disebutkan tentu saja muaranya karena bangsa kita mengalami darurat kemampuan berpikir kritis. Lalu, apa upaya terbaik yang bisa dilakukan? Jawabannya adalah membaca buku. Kenapa membaca buku berkorelasi besar dengan keterampilan kritis?
Kegiatan membaca buku bukan hanya tentang mengonsumsi kata-kata, tetapi juga tentang mengembangkan kemampuan untuk menganalisis, memahami, dan mempertanyakan informasi yang disajikan. Buku juga memuat pemikiran yang kompleks. Terutama seperti buku non-fiksi. Membaca jenis buku ini akan memaksa otak kita untuk terus berpikir dan menganalisis setiap gagasan.
Ketika membaca, kita dihadapkan pada berbagai argumen, analisis, dan pendapat yang berbeda. Ini memungkinkan kita untuk mempertanyakan, mengevaluasi, dan membandingkan informasi yang diperoleh. Kita belajar mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dan membandingkannya dengan sudut pandang sendiri.
Kegiatan membaca buku yang baik juga berdampak terhadap kemampuan melakukan analisis secara mendalam. Saat membaca buku, kita diajak untuk menggali isu-isu kompleks, mengikuti alur pemikiran yang rumit, dan menarik kesimpulan sendiri. Ini memungkinkan kita melatih kepekaan terhadap detail dan kemampuan membedakan antara argumen yang kuat dan lemah.
Membaca buku membutuhkan konsentrasi dan pemahaman yang lebih mendalam. Berbeda dengan media sosial yang cenderung mengalihkan perhatian dengan berbagai notifikasi dan informasi yang berseliweran. Sementara, membaca buku membutuhkan konsentrasi penuh.
Dari hasil penelitian Doang (2022) ditunjukkan bahwa kebiasaan membaca juga termasuk bagian dari faktor yang mempengaruhi keterampilan berpikir kritis. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan keterampilan berpikir kritis yaitu berpikir secara aktif, efektif, logis, dapat berkembang memiliki kepekaan terhadap sekitar, memberikan penilaian terhadap suatu hal dengan objektif (Fitrianti et al., 2021)
Tantangan Membudayakan Membaca Buku
Sementara, menjawab tantangan literasi selalu tidak mudah. Hal yang barangkali sudah sering kita dengar bahwa menurut data UNESCO, Indonesia berada urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya, baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%.
Oleh karena itulah, gerakan literasi tetap harus terus digalakkan. Baik di lingkungan institusi pendidikan formal maupun inisiatif-inisiatif lain di masyarakat. Salah satu peran yang bisa dilakukan bagi seorang guru misalnya dengan membuat alokasi waktu jam membaca buku. Cukup 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Ini adalah bagian dari kewajiban institusi pendidikan untuk membina siswanya dalam mengembangkan berpikir kritis.
Kampanye literasi dan pembudayaan membaca buku yang dilakukan oleh inisiatif masyarakat berupa komunitas-komunitas juga harus diberi ruang. Komunitas itu tentunya harus memberi rasa aman, nyaman, dan menyenangkan dalam berliterasi. Apabila langkah-langkah ini bisa dilakukan secara berkelanjutan maka impian untuk membangun masyarakat yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki kemampuan literasi yang kuat dan mendalam bisa terwujud. Atau setidaknya kita membuat impian sederhana. Sesederhana bagaimana agar pengalaman orang bertanya judul film di kolom komentar media sosial itu tidak pernah kita temui lagi.
Selasa, Rumbai, 25 Juni 2024
Guru SMA Cendana Pekanbaru, mengajar dan juga aktif berkegiatan di Komunitas Pekanbaru Book Party