CARA MATI ALA GRIVEN

112

Orang-orang tercengang melihat Pak Sira ditemukan tak bernyawa sedang sujud. Melihat Pak Sira mati dalam keadaan bersujud dan kulitnya sekubil kuku pun tak terbakar, orang-orang kota kami bertanya-tanya dalam hati, apakah Pak Sira mati indah agaknya? (Imam Sira, h. 47)

Dunia adalah tempat mati, bukan untuk hidup selamanya. Cepat atau lambat umur manusia terbatas. Sebagaimana firman Allah:  Kullu nafsin dzaiqotul maut (setiap yang bernyawa pasti akan mati). Kita semua akan menghadap Allah sesuai dengan waktunya.

Jadwal kematian seseorang sudah jelas waktunya, yang tahu hanya Allah. Kematian menjadi misteri. Kita sebagai manusia hanya bersiap-siap mengumpulkan bekal kebaikan sebanyak-banyaknya, memperkecil dosa sedikit mungkin, agar nanti menghadap Allah tidak menyesal untuk selama-lamanya.

Kematian bermakna ketiadaan hidup. Konsep kematian telah menjadi kehendak Allah yang tak diduga kedatangannya. Kematian menempati posisi tersendiri dalam keimanan berhubungan dengan kepercayaan. Kematian merupakan sebuah kepastian di muka bumi ini yang akan menghampiri makhluk bernyawa.

Kematian tak mengenal ruang dan waktu. Setiap manusia memiliki penyebab yang berbeda dalam menyambut kematian. Mati tidak bermakna hilang, melainkan terjadinya proses perpindahan dari satu alam ke alam lain.

Kematian menurut filsuf Islam, Al-Farabi (870-950), ia percaya bahwa kematian itu adalah kepastian dan hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa karena jiwa manusia itu berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar bergerak. Jiwa yang akan kekal adalah jiwa yang fadilah, yaitu jiwa yang berbuat baik yang dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani, dan jiwanya tidak hancur dengan hancurnya badan. Adapun jiwa yang jahilah adalah jiwa yang tak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi yang akan hancur dengan hancurnya badan.

Bagi seorang Griven H. Putera yang menjalani profesi dalam lingkup keagamaan dan sastrawan dengan capaian prestasinya adalah pilihan tepat mengawinkan dua kondisi tersebut dalam memberikan hikmah melalui karya. Cerpen-cerpen yang ada dalam buku ini sepertinya memberikan berbagai cara individu menyikapi kematian yang berbeda-beda.

Dari 21 cerpen yang terhimpun dalam Kumpulan Cerpen Nisan-Nisan Berbunga terdapat 14 cerpen yang berbincang kematian. Beragam cara kematian yang berbeda di alami setiap tokoh serta sikap bagi yang ditinggalkan menjadi behan mentah yang menarik untuk ditulis dalam bentuk prosa. Karya prosa dalam hal ini cerpen menjadi karya yang memuat pesan akan sesuatu yang pasti akan kita alami semua berupa kematian. Dengan jeli penulis menjalin dan mengkelindankan setiap peristiwa kematian dalam plot yang saling sebab menyebab menjadi proses akhir kematian.

Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Kematian berarti kesendirian dan tanpa membawa apa-apa. Dunia sebenar-benar sunyi. Kesunyian menjelang kematian menjadi simbol terlepas dari beban dunia. Beban menjalani hidup dari tokoh sebagai tukang becak yang teramat miskin terdeskripsi dengan hidup. Terlihat pada cerpen “Ke Langit Bersama Maghrib”.

Lelaki tua berambut salju keperakan itu pun pergi jauh. Terbang ke alam baka. Ia pulang ke rumahnya yang abadi. Ia hijrah ke langit bersama kumandang azan pilu yang menyayat senja di musholla, tak jauh dari becak tua kesayangannya. Tanpa istri tercinta, tanpa sanak keluarga, tanpa membawa apa-apa.

Kematian dapat dipicu dari kerinduan yang teramat pada seseorang yang disayangi telah mendahului. Orang-orang terkasih dan terdekat yang memiliki kenangan terbaik, ketika telah mendahului terkadang menjadi beban. Beban yang mempengaruhi pikiran dan kesehatan. Beberapa kasus di masyarakat, kematian susulan terjadi dalam satu keluarga dalam waktu yang berdekatan. Hal ini dapat dipicu dari dua hal tersebut. Terbaca dalam cerpen “Rindu Aisyah”.

Pagi Jumat. Saleh Kembali berada di makam Aisyah. Tapi kali ini tidak sendiri. Hampir seluruh kerabat istrinya serta tetangganya ada di situ. Istri Saleh terbujur pingsan di pangkuan ibunya, di samping mayat Saleh yang sebentar lagi akan ditanam di samping makam Aisyah.

Kematian bagi yang ditinggalkan terkadang meninggalkan pesan. Pesan yang harus dipenuhi apalagi berupa wasiat. Beragam wasiat dengan segala resiko bagi yang diberi wasiat untuk diwujidkan. Di tangan Griven, ragam wasiat dijadikan ide cerita yang dikaitkan dengan kematian yang menarik untuk dibaca. Simak “Elegi Cikgu Leman”:

Erda mengangguk lemah. Wajah suaminya di detik-detik terakhir kehidupannya Kembali tertayang di pikiran Erda. Selanjutnya pikiran Erda Kembali pada tanah yang disebut mendiang suaminya pada detik-detik terakhir kehidupannya tersebut. Tak  ada satu pun lagi kata-kata tamu itu yang masuk ke telinga Erda. Yang terpikir hanya pesan suaminya.

Kumpulan cerpen “Nisan-Nisan Berbunga” yang terdiri dari 21 cerpen yang sebagian telah terseleksi karena terbit diberbagai media akan lebih kuat ketemaannya bila fokus pada satu tema tentang kematian. Dari 14 cerpen yang berbincang kematian terasa telah cukup menjadi sebuah buku kumpulan cerpen, Namun dengan hadirnya 7 cerpen bertema yang lain menyebabkan terasa kekuatannya tema kematian menjadi berkurang. Namun bagaimanapun cerita-cerita pendek tentang kematian dalam buku ini telah membuat haru biru ketika membacanya. Kita akan merasa kehilangan pada sosok yang meninggalkan apalagi sosok itu adalah perempuan paling agung bernama emak. Simak “Emak Pergi”:

Aku tak mendengar jawaban dari seberang. Tapi aku mafhum kalau salah satu manusia keramat dalam hidupku telah pergi untuk selamanya. Aku merasa gelap. Tak ingat apa-apa lagi, yang kukenang hanya emak.

Bambang Kariyawan Ys., Sastrawan

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan