Teater Seekor Anjing dan Hujan
Oleh M.Z. Billal
Aku melihat daun-daun kuning dari pohon yang tumbuh di sisi kanan halte berguguran diterpa angin yang membawa awan mendung di langit. Sepertinya hujan akan turun lagi. Bahkan mungkin lebih deras dari hari sebelumnya.
Berada dalam situasi seperti ini, dadaku pun mulai dipenuhi rasa cemas dan takut. Aku tidak suka hujan. Udara menjadi sangat dingin. Sementara pelapis tubuhku belum cukup mampu menghangatkan seluruh anggota badan. Ditambah lagi sejak tiga hari lalu aku menjadi penghuni halte ini, aku amat sedikit sekali mendapat asupan makanan. Tubuhku jadi lemah.
Aku dilepas begitu saja oleh seseorang yang dulu mengaku akan menyayangiku sepenuh hati. Tetapi kenyataannya aku hanya jadi korban harapan semu. Aku hanya dibekali semangkuk makanan dan selembar kain wol. Barangkali agar tubuhku tetap hangat. Tapi sayangnya kain itu pun sudah kotor sekali karena digunakan untuk mengelap sepatu bot berlumur tanah milik pria bertubuh besar yang kemarin berteduh di halte ini.
Rasanya betul-betul menyedihkan. Aku hanya bisa menatap orang-orang dan kendaraan yang lalu-lalang. Tanpa ada yang peduli keberadaanku. Bila halte ini sedang ramai seperti hari kedua aku di sini, aku terpaksa menyingkir ke perdu yang tumbuh tidak jauh. Sungguh itu karena aku sadar diri tidak mau mereka menyangka diriku menjijikkan.
Namun hari ini agak berbeda. Halte tidak dikunjungi siapa pun. Kendaraan yang lewat juga tidak sesibuk hari kemarin. Apa mungkin sekarang adalah hari libur, ya? Ah, entahlah. Apa peduliku terhadap nama-nama hari atau membedakan yang mana hari kerja dan hari libur.
Aku masih menatap daun-daun yang gugur ditiup angin ketika hujan mulai turun. Mencoba menghadirkan perasaan damai. Tapi kemudian pandanganku teralihkan oleh kemunculan seorang lelaki berkacamata mengenakan sweater tudung dari arah kanan. Langkahnya terlihat buru-buru untuk mencapai halte. Ia memayungi kepalanya dengan kedua tangan diangkat ke atas, meninggalkan percik hujan pada kacamatanya. Mungkin ia tidak bermaksud berteduh. Lebih tepatnya terpaksa karena tidak ada tempat lain. Tapi kedatangannya justru membuatku senang. Hujan kali ini aku tidak kesepian.
Lelaki berkacamata itu pun langsung duduk melepas tas punggungnya sambil menepis pelan bulir hujan yang menetes di lengan sweater. Ia pasti belum melihatku di sini. Karena kulihat ia malah sibuk mengeluarkan isi tasnya. Ada sebungkus tisu, sebuah buku, dan sebungkus roti yang kelihatan lezat. Mungkin ia ingin menyeka percik air hujan di kacamatanya, lalu membaca buku sambil makan roti. Semacam usaha menikmati waktu berteduh saat hujan turun deras. Lagi pula aku juga tidak terlalu berharap ada manusia yang mau peduli pada seekor anjing kecil sepertiku.
Aku lantas melempar pandangan ke jalan yang kini menjelma seperti cermin lentur. Air hujan yang mengalir di sana memantulkan benda-benda di sekitarnya. Dan ketika kepalaku mulai dipenuhi ingatan menyakitkan tentang seseorang yang membuangku ke halte ini, lelaki berkacamata itu tiba-tiba mengatakan sesuatu sambil tertawa kecil.
“Hei, sejak kapan kau ada di situ makhluk kecil?”
Aku kembali memandangnya. Dia sedang merobek plastik pembungkus roti. Wajahnya telihat lebih pucat. Mungkin karena kedinginan atau ia memang belum makan seharian. Ah, andai aku bisa bicara, aku ingin mengatakan kalau aku telah terdampar di halte ini sejak tiga hari yang lalu. Seharusnya itu terlihat dari tampangku yang makin kusut. Tapi sayangnya aku hanya dianugerahi pemahaman bahasa manusia, bukan untuk bicara pada mereka. Jadi aku cukup menurunkan telingaku untuk memberitahunya bahwa aku sedang berduka.
“Baiklah,” lelaki itu melanjutkan. “Mungkin kau lapar. Ini untukmu!”
Ia membagi setengah roti isinya kepadaku. Aku mau bilang terima kasih, mungkin dengan menjilat tangannya. Tapi aku keburu lapar oleh aroma daging dari bagian tengah roti itu. Maka kupikir tidak begitu penting aku menunjukkan rasa terima kasih atau tidak. Lelaki itu terlihat abai dan memilih membuka buku yang tadi dikeluarkan bersama roti dan sebungkus tisu.
Kemudian sambil menyaksikan satu-dua kendaraan yang lewat, kunikmati pelan-pelan kelezatan separuh roti isi daging itu. Agak meniru cara lelaki itu melahap makanannya. Sesekali roti itu tertahan di udara pada tangan kanannya, selagi ia membaca buku yang dipegang tangan kiri, lalu digigitnya lagi roti itu perlahan. Terkesan mengasyikkan untuk membuat roti yang lezat tidak lekas habis.
Barulah setelah separuh roti isi daging itu lesap dari pandangan, berpindah ke dalam perutku, aku mulai memberanikan diri mendekati lelaki berkacamata itu. Aku melompat ke tempat duduk, setengah meter di sebelahnya, sambil mengeluarkan gonggongan kecil, yang sebetulnya aku mengatakan begini, “apa membaca buku membuatmu merasa lebih baik? Bisakah kau beritahu aku tentang isi buku itu?”
Pertanyaan paling tidak masuk akal untuk seekor anak anjing, bukan? Cara perkenalan yang sungguh aneh untuk dua makhluk hidup yang berbeda klasifikasi. Lagi pula apa pentingnya bila aku paham isi buku? Tapi aku harus akui bahwa lelaki ini berhasil membuatku penasaran. Ia berbeda dari seluruh orang yang pernah singgah untuk menanti angkutan di halte ini. Ia tidak kasar seperti pria besar dengan sepatu bot kotor waktu itu, atau seperti gadis remaja yang mengusirku dengan batu. Lelaki muda ini baik hati dan penuh kasih.
“Aku suka membaca buku,” katanya tiba-tiba seraya menoleh ke arahku. Sungguh membuatku terkejut. Aku tidak percaya lelaki ini bisa mengerti maksud gonggonganku. Apa ia ahli bahasa hewan, atau ia sedang berusaha bicara pada dirinya sendiri?
Kemudian ia melanjutkan kalimatnya. “Aku juga suka menulis, lho. Yah, lebih tepatnya aku menghabiskan sebagian besar waktuku dengan menulis sembari membaca banyak buku. Seperti menulis puisi, cerita-cerita pendek, atau kadang aku hanya menulis tentang isi hatiku saja.”
Baiklah sekarang aku tahu kalau lelaki yang wajahnya semakin pucat dan suaranya mulai sengau ini adalah seorang penulis. Ia memberitahuku demikian. Tapi aku tidak tahu betul seperti apa menulis itu sebenarnya. Aku membalasnya dengan gonggongan yang kutambahkan sedikit irama. “Itu hebat. Aku bahkan tidak pernah menulis. Eh, tapi omong-omong, kau dari mana dan akan ke mana?”
Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia meraih selembar tisu dan mengelap pelan hidungnya yang kemerahan. Ia tampak semakin kedinginan. Diletakkan buku yang tadi ia baca sambil terbatuk. Baru kemudian ia mulai berkata lagi. “Aku cuma jalan-jalan. Mencari inspirasi. Tapi….” Ia menahan kata-katanya sendiri ketika menunduk. Aku tidak tahu mengapa ia mendadak jadi berubah murung.
“Tapi apa?” tanyaku.
“Aku baru saja membuat keputusan yang justru membuatku sedih.”
“Kau bersedih? Kenapa?”
Lagi-lagi ia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia kembali meraih bukunya dan mulai membaca sejenak. Sepertinya hidungnya sedang tidak baik. Kudengar ia bernapas dengan mulutnya yang sedikit dibuka.
“Hujan hari ini tampaknya akan berlangsung lebih lama. Mungkin sampai malam nanti.” Aku coba mencari tema baru sambil memandang hujan yang semakin deras. Agar ia tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Tapi ia mulai menatap ke arahku lagi dan melanjutkan ceritanya.
“Aku tidak berasal dari kota ini. Aku datang dari jauh untuk menemui seseorang yang aku sukai. Tapi aku telah memutuskan untuk tidak akan pernah menemuinya lagi. Aku tidak mau nanti ia bersedih karena seluruh kenangan saat bersamaku.”
Aku memandang lekat ke arah sepasang matanya yang kuyu. Mencoba menerjemah kondisi perasaannya. Tapi aku masih gagal memahami maksud ucapannya. Ia menemui seseorang yang ia sukai, tapi kemudian ia memutuskan untuk tidak akan pernah lagi menemui seseorang yang ia sukai itu. Pernyataan macam apa itu? Apa itu artinya ia telah memperlakukan seseorang sama seperti pemilikku yang tega membuangku di halte ini?
“Kau baru saja membuang seseorang yang kaukasihi?” tanyaku. “Kau tidak boleh begitu. Melepaskan sesuatu itu betul-betul tidak mudah daripada kehilangannya.”
Lelaki itu mengusap-usap wajahnya yang makin pucat. Batuknya juga terdengar lebih sering bersama tarikan napasnya. Aku juga tidak yakin ia mengerti bahwa aku mulai kesal pada sikapnya yang tega itu.
“Sepertinya aku harus memberimu nama. Agar kita semakin akrab. Bagaimana?”
“Nama?” ulangku dalam lenguhan kecil. Apa ia sedang berusaha mengalihkan topik pembicaraan? Ah, untuk apa pula aku diberi nama? Tidak akan ada yang peduli soal nama anjing yang menghuni halte.
“Baiklah. Hmmm,” ia berpikir sejenak sambil mengangguk-angguk pelan dan mengusap sampul depan buku yang sedang dipegangnya. “Bagaimana jika Arsitek Hujan? Mirip judul buku ini. Arsitektur Hujan karya Afrizal Malna. Kau suka?”
Arsitek Hujan? Hmmm, nama jenis apa itu? Memang ada nama seperti itu untuk seekor anjing? Tapi jujur, nama itu terdengar menarik. Apa lagi dibubuhi kata hujan. Sangat pas untuk kehidupanku yang tidak akan jauh-jauh dari halte dan hujan.
“Oke, aku suka.” Aku agak melolong sedikit sebagai pertanda aku setuju pada nama yang ia berikan.
“Baiklah, Arsi. Itu nama panggilanmu sekarang. Dan kau sudah resmi jadi temanku. Kuharap nama itu akan membantumu merancang masa depan indah meski kau sendirian.” Tiba-tiba ia mengusap lembut kepalaku sambil tersenyum lebar. Membuatku terharu dan menangis tanpa meneteskan air mata. Aku tidak menyangka kalau ia mau menyentuh tubuhku yang kotor dan lembap. Maka tanpa ragu pun aku menggeser dudukku lebih dekat kepadanya. Seperti usaha untuk membuat suasana lebih akrab.
Akan tetapi baru saja aku ingin membagikan kisah sedihku padanya, tiba-tiba kudengar alunan musik yang berasal dari dalam tasnya. Spontan ia langsung meraih benda yang ternyata adalah telepon genggam.
Sesaat ia terlihat ragu untuk mengangkat panggilan dari ponsel yang berkedip-kedip itu. Namun sejenak kemudian ia menyetujuinya.
“Rama, kau di mana sekarang? Apa kau sudah sampai?” tanya seseorang perempuan yang berkata di dalam ponsel.
“Aku pulang terlambat. Di sini sedang hujan.” Lelaki berkacamata itu menjawab sambil melempar senyuman kepadaku.
“Memang kau di mana?”
“Di halte.”
“Halte? Untuk apa?” seseorang dalam ponsel itu meninggikan suaranya. “Kau seharusnya pergi ke stasiun kereta api. Bukan ke halte. Jarak yang kautempuh jauh. Sementara kau harus cepat sampai untuk perawatan besok pagi.”
“Iya, aku tahu. Tapi di sini sedang hujan. Aku tidak mendapat angkutan yang mengantarku ke stasiun.”
“Ya ampun, aku mencemaskanmu sekarang. Kau bersama siapa di situ?”
“Aku tidak sendirian, kok.” Ia menatap ke arahku sambil tersenyum lagi. “Aku bersama seekor anjing. Kami sedang bertukar pikiran. Dia teman yang baik.”
“Astaga! Apa-apaan itu. Kau harus lekas pulang bila hujan sudah reda. Aku tidak mau terjadi sesuatu padamu.”
“Baiklah. Kukabari bila sudah di jalan pulang.”
Lelaki berkacamata itu kemudian menutup ponselnya dan memasukkan benda itu ke dalam tasnya lagi. Meski ia tampak gembira, tapi wajahnya terlihat makin pucat. Suaranya makin sengau dan napasnya kian tidak teratur. Aku mulai cemas kalau sebenarnya ia sedang kambuh sakitnya.
“Tidak apa-apa, Arsi. Aku baik-baik saja kok,” katanya menenangkan. “Itu tadi kakak perempuanku. Ia sangat cerewet. Tidak suka bila aku mengabaikan kesehatanku.”
“Tapi kau telihat begitu buruk sekarang,” balasku dengan melenguh dan menunjukkan wajah cemas.
“Iya, sih. Aku makin tidak baik sekarang. Tapi semua akan baik-baik saja. Aku sudah biasa seperti ini. Seumur hidupku aku akan selalu berhubungan dengan obat-obatan. Dalam sepekan aku harus mencuci darahku tiga kali. Rutinitas yang sebetulnya membosankan.”
Aku terkejut saat ia mengatakan bahwa ia harus mengonsumsi obat seumur hidupnya. Begitu pun saat ia bilang darahnya harus dibersihkan tiga kali dalam seminggu. Aku sebenarnya tidak mengerti untuk apa darahnya dicuci. Tapi aku jadi sangat bersedih mendengarnya.
“Apa karena kau merasa tidak layak untuk bersama seseorang, makanya kauputuskan untuk berhenti?”
Ia terdiam. Tidak mengatakan apa-apa. Hanya mulai berkemas. Memasukkan buku dan tisu ke dalam tas. Lalu mengeluarkan selembar syal tebal. Mungkin ia memang tidak perlu menjawab pertanyaan itu karena aku sudah tahu jawabannya.
“Arsi,” katanya pelan. Hujan tidak sederas sebelumnya. “Aku tahu, aku terlihat bodoh bicara pada anjing yang tidak pernah bisa bicara. Bahkan kau mungkin tidak peduli seluruh yang kukatakan padamu sejak tadi. Tapi sungguh, aku suka saat-saat bersamamu di sini. Aku bebas mengatakan apa yang aku suka. Aku bebas memperlihatkan kesedihanku padamu. Semoga ini bisa membuatmu lebih hangat dan selalu mengingat aku.”
Lelaki itu lantas membelitkan syal tebal miliknya ke tubuhku. Perasaanku langsung campur aduk. Aku betul-betul merasa jadi anjing paling bahagia sekaligus berduka hari ini. Bahagia karena aku menemukan seseorang dengan hati sangat baik, juga berduka karena aku akan melepas kepergiannya sebentar lagi. Dan entah kapan akan bertemu. Andai saja ia tahu kalau aku sungguh-sungguh mengerti apa yang ia bicarakan.
“Terima kasih. Aku akan selalu mengingatmu,” kataku. Dan tak lama kemudian sebuah angkutan umum berhenti tepat di depan halte. Membuat perasaanku makin tidak karuan.
“Baiklah, Arsi. Hujan sudah reda. Aku harus pulang. Aku tidak tahu apakah aku akan menemukanmu di sini saat aku kembali suatu hari nanti. Atau mungkin aku tidak akan pernah ke sini lagi. Tapi sungguh terima kasih sudah menjadi teman yang baik hari ini. Sampai jumpa.”
Lelaki itu melambaikan tangannya padaku. Sementara aku hanya bisa merengek seperti hendak menangis. Rasanya aku tidak ingin berpisah. Karena ditinggal oleh hal baik betul-betul menyedihkan.
Aku hanya bisa menatap tubuhnya yang lenyap ke dalam mobil saat pintunya ditutup. Makin merasa kehilangan saat angkutan umum itu bergerak menjauh di bawah langit yang masih menggerimis. Serta berjanji, aku akan selalu menunggu kedatangannya lagi suatu hari nanti sambil merancang masa depan yang indah. Setidaknya aku punya alasan untuk mengembalikan syal ini kepadanya.
Dan sekarang, tidak ada lagi daun kuning di pohon yang tumbuh tak jauh dari halte. Semuanya luruh meninggalkan kenangan bersama hujan. Sementara aku, lagi-lagi harus sendirian.
***
BIODATA : M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Antologi Rantau Komunitas Negeri Poci (2020) Membaca Asap (2019), Antologi Cerpen Pasir Mencetak Jejak dan Biarlah Ombak Menghapusnya (2019) dan telah tersebar di media seperti Pikiran Rakyat, Rakyat Sumbar, Radar Mojokerto, Haluan Padang, Padang Ekspres, Riau Pos, Fajar Makassar, Banjarmasin Post, Magelang Ekspres, Radar Cirebon, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Radar Malang, Radar Tasikmalaya, Bangka Pos, Radar Bekasi, Tanjung Pinang Pos, Bhirawa, Merapi, Cakra Bangsa, Lampung News, ide.ide.id dll. Fiasko (2018, AT Press) adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER) dan Kelas Puisi Alit