

Bukan Super Nova. Tapi Super Toba. Dikepung delapan Kabupaten yang sejuk gemulai. Samudera air tawar ini tengah mengeliat dalam pesona masa purba yang tak melupa. Toba begitu dekat di hati kaum Sumatera dalam gemuruh pengkisahan mistikal, misteri dan sejumlah imajinasi, lambung-lambungan sensasi, hingga tumpukan batu-batu dan rumah tua. Begitu dekat, maka digempitakanlah Toba menjadi satu dari sepuluh destinasi wisata unggulan Indonesia. Toba tak semata danau. Dia adalah monumen ekologis, monumen pecahan volkano yang menyembur dan merubah bentuk dari gundungan tanah tinggi memucuk, lalu membentang permukaan air permai, tempat segala pucuk rindu ditabur dan disauk. Toba tak semata transformasi (wujud), tetapi adalah juga transmutasi (pindah bentuk). Lalu, dari Riau memandang Toba? Dia bukan “milik Batak” belaka, tetapi adalah milik Sumatera bersama. Membaca Sumatera dari garis sejarah, sebagaimana William Marsden, terasa segala titik dan lopak antara selatan, utara, barat dan timur begitu dekat tanpa jarak. Seakan sebuah bentang ruang dalam ukuran bilik runcit. Sumatera itu adalah tanah “mulia”, tanah ranggi, maka dia dilekatkan dengan kata pujian (summa) terhadap tanahnya (terra).
Melihat Toba sebagai “kebun dunia” (geo-park) tidaklah begitu rumit. Dia menggambarkan fenonema alam di sebuah masa purba yang menggeliat dalam upaya-upaya “salah cetak”. Alam membentuk dirinya dalam formasi yang serba adaptif, bisa melalui peristiwa menggelegar namun berujung pada keseimbangan baru. Sesekali terasa dalam gaya oposisi. Pada kala lain, alam menyergah dalam nada juxta-posisi. Mungkin di awal-awal pecahan (dentuman alam) itu dianggap sebagai “program salah cetak”. Tapi, kini dunia menyaksikan dan mengalamatkannya sebagai hasil dari sebuah “kerja sakti”, atau pun “ikhtiar ajaib”. Dan, saking seringnya kita berfikir tentang Toba dan begitu kerapnya melakukan lawatan atau kunjungan ke badan air bernama Toba, kesaktian dan keajaiban itu seakan mengendur, melar dan terasa lusuh dan luntur. Padahal, dia memang hasil dari sebuah pukulan dan dentuman yang teramat ‘sakti’ pada sebuah zaman. Dentuman atau pukulan itu membentuk ruang baru, kehidupan baru, kebudayaan baru, lalu peradaban baru dalam sejumlah tarikan keseimbangan baru.
Sebuah danau di ketinggian yang tak terjelaskan pada awal zaman. Sebuah badan air yang masuk dalam rezim wilayah dataran tinggi (highland, bovenlanden). Sehingga efek “pukulan” volkano itu menghasilkan lekuk yang tak terjelaskan, jurang, tebing, air terjun, hutan pinus, lereng, plateau, gundukan dan anak gunung serba “semacam pulau” di tengah badan air, teluk, tanjung yang menunjukkan kelengkapan perkakas, untuk mengalamatkan Toba sebagai buana baru, benua baru, samudera baru, segara baru, ruang impian baru, sehingga menggesa dia menjadi ruang spiritual bagi kaum Batak awal yang tersisa. Demi kecintaan akan pucuk langit spiritualitas lokal. Maka, kaum puak yang tersisa ini menggariskan tarikan-tarikan langit maya menjadi “kembaran samawi” versi lokal yang amat memukau. Orang atau kita boleh menyebutnya sebagai “ajaran lokal”, “agama lokal”, “kebijaksanaan timur”, namun yang jelas mereka di awal-awal peradabannya mampu membangun “tanah suci” yang mengaitkannya dengan garis vertikal “kembaran samawi” itu tepat di sebuah titik tanah bernama Bakara, di kaki Pusuk Buhit (Sianjur Mula-mula). Inilah ruang spiritual itu. Kenapa? Demi memuliakan Sang Pencipta. Bisa saja mereka menghimbau Sang Penyebab Utama itu dalam sapaan dan rayuan lokal (Debata Mulajadi Na Bolon; Dewata). Lalu, menjulur jauh ke depan, muncul derivasi kerinduan “kembaran samawi” menjadi ajaran lokal, kebijaksanaan lokal, boleh jadi mereka menyebutnya sebagai kekuatan “alam di balik sana” (begu yang tak hadir dan tak terjelaskan); derivasi itu mengalir menjadi “malim” atau “ajaran malim”, malah kian mengembang dan mendekat disebut sebagai “ugamo malim”. Semua ini tak bisa lepas dan meluncaskan diri dari Toba sebagai peristiwa dan Toba sebagai fenomena, bukan noemena.
Kita yang dibuai dan diayun dalam kaidah-kaidah teologi positif, selalu menghayun Tuhan dalam “defenisi” Tuhan yang diperkatakan, Tuhan yang dimaktubkan, Tuhan dalam ujaran kolektif. Maka, Tuhan dalam kaidah ini disebut sebagai “Tuhan adalah”. Sebaliknya, jika coba menyingkap di balik daun pintu teologi negatif, maka “Tuhan bukan adalah”, tetapi “Tuhan adalah bukan”: bukan ini dan bukan itu. Di sini Toba menghidang efek mysterium tremendum (matra getar, serba menggetarkan) sehingga setiap makhluknya bersimpuh diam dan kaku, tak mampu menjelaskan dan menukilkan Tuhan dan siapa Tuhan (hanya diam). Toba menggesa orang-orang tempatan dalam kerisauan “abadi” untuk menjelaskan dan meniadakan diri di tengah alam fana, bahwa yang hadir dengan seperangkat kuasa dan kekuatan adalah Tuhan yang tak terjelaskan. Toba menjelaskannya dalam sampiran dan ibarat. Di sebelah lain, Toba menyaji efek mysterium fascinosum (segala ihwal yang tak terlisankan, mempesona, menawan, menjeluk). Wah, ini kekayaan Sumatera, khazanah Sumatera? Toba menyuruh kita: Diam…
Hari ini kita diberi ruang yang menghidang efek “mysterium fascinant” (menenang dan mendamaikan) dimensi baru. Sekali lagi tetap bernama Toba. Dia diperkatakan oleh banyak mulut, oleh sekian tumpukan kebijakan, sehingga membentuk diri menjadi satu badan Otorita sendiri. Bagaimana Riau menambatkan atau ditambatkan hatinya ke Toba? Di sinilah pentingnya Toba diletakkan sebagai milik rumpun komunitas Sumatera yang lebih besar dan regional. Dia harus diserbukkan kepada generasi Sumatera hari pada arasy pengetahuan bahwa, Toba adalah keajaiban Sumatera, dia hadir dalam sebuah peristiwa yang boleh digolongkan sebagai ‘tragedi natural’, sekaligus pemberi berkah alami (wakaf) kepada Sumatera.
Bagaimana Riau mengeja Toba selanjutnya? Adalah sebuah keniscayaan membangun garis pendek antara Riau dan Toba dalam bentang highway (lebuh raya) yang mempersingkat jarak waktu dalam skala jangkauan manusia (human scale). Mungkin dalam rentang 6 atau 7 jam dari Riau menuju Toba. Suka atau tak suka, garis Riau dan Sumatera Utara pesisir timur adalah kembaran alamiah. Dua wilayah dengan pertumbuhan ekonomi, bisnis, jasa, perdagangan dan industri yang paling bergemuruh di bagian tengah dan utara pulau ini. Kita bisa menghitung jumlah perjalanan orang Riau yang bisa disedot oleh pukauan Toba, dari jumlah penduduk Riau yang 7 (tujuh) juta jiwa, bisa mencuri satu juta perjalanan saja menuju Toba, akan mampu mengubah imajinasi dan persepsi pelancong luar negeri (asing) mengenai Toba. Melalui cara ini, kita secara bersama membesarkan taman purba ini, kita merayakan dan mera’ikan secara serempak atau simultan dengan kehendak dunia, bahwa Toba memang layak diperlakukan dalam tindakan nyata, tak hanya dalam imajinasi khayali para majnun. Selain membentangkan garis toll road (highway) sebagai entitas transportasi, dia juga memikul entitas keamanan negara (sisi pertahanan nasional). Garis tol (overland) Riau-Sumut itu adalah sisian Sumatera untuk menyandingkan sisi jalan tol di Semenanjung Malaysia (PLUS/ Projek Lebuhraya Utara-Selatan), yang pada suatu ketika dalam keadaan darurat, bisa mengubah wujud sebagai “runway” pesawat tempur (Hawk, F-16 dan sejenisnya) dalam lesakan memanjang atau lonjor utara-selatan. Imajinasi ikutannya, tentu jalur kereta api dengan sisian garis yang paralel dengan garis lebuh raya itu. Toba menyaji keilhaman baru…
Sangat menarik memaknai toba dengan berbagai macam khazanah kata dan makna. Toba sebagai monumen ekologis, kebun dunia (geopark), taman purba, sebuah kerja sakti bin ajaib, formasi serba adaptif dari alam dengan dentuman yang membentuk ruang baru, kehidupan baru, keseimbangan baru, kebudayaan baru.
Menginspirasi dan menjadi rujukan dalam mengolah kata/bahasa