BORIS PASTERNAK, menemukan makna tersendiri di dalam syair-syairnya, bukan di dalam revolusi. Dia tak tunduk pada Lenin dan Stalin yang hiruk membangun Rusia setelah revolusi 1917. “Dia tak percaya bahwa politik adalah segala-galanya”. Dia mengelak untuk diringkus dalam arus besar “Revolusi” dengan “R” besar. Pasternak adalah penulis syair dan novel. Dan yang terkenal adalah Dr Zivago. Dua jalan dan dua nama yang hendak saya sunting dalam tulisan kali ini. Kedua adalah Mordechai Vanunu, juru teknik nuklir yang dipenjara selama 18 tahun oleh rezim Israel-Zionis dan baru dibebaskan 21 April 2004 lampau. Dua nama ini menjinjing satu azimat untuk ditabrakkan ke sesuatu yang dianggap ‘keramat’ (the sacred).
Revolusi bagi Lenin dan Stalin adalah sesuatu yang dianggap suci @ keramat (sacred) dan sebuah keniscayaan. Namun, tidak bagi Pasternak. Begitu pula Vanunu membongkar dan membocorkan rahasia senjata Israel yang dihajatkan bagi kemusnahan hidup permukaan bumi demi mempertahankan nasionalisme Yahudi. Nasionalisme dan kekuatan militer adalah jalan pedang sekaligus keramat bagi rezim zionis. Domain inilah yang ditabrak oleh Vanunu yang memutuskan masa lalu dengan Yahudi; dia tak mau berbahasa Yahudi, dia seorang Kristen, bukan penganut agama Yahudi. Kenapa dia melakukan itu semua? Bagi Vanunu, kesetiaan kepada asal-usul, kesetiaan kepada garis bani, berarti setia pula kepada kebusukan dusta dan kezaliman jahanam juga ketidakadilan manusia. Sebagaimana Pasternak, Vanunu adalah ancaman bagi nasionalisme Yahudi. Tak kurang Simon Peres tetap menganggap Vanunu sebagai musuh. Survey Harian Haaretz menyebutkan bahwa hampir separuh warga Israel menolak pembebasan Vanunu. Bahkan catatan pribadinya disita oleh pemerintah Zionis. Dan segala gerak-geriknya tetap diawasi.
Revolusi di Rusia, nasionalisme di Israel adalah puncak dari idealisasi paradigma budaya masyarakat Durkheimian. Ada empat kata kunci yang terhidang dalam sosiologi Durkheim tentang masyarakat; the sacred, klasifikasi, ritus dan solidaritas. The sacred bisa menjelma dalam wujud nilai-nilai, simbol utama, kepercayaan yang menjadi inti sebuah masyarakat. Namun, dia bisa pula diterjemah menjadi moralitas, agama dalam pengertian yang luas. Dia juga mewujud dalam bentuk yang lain; ideologi atau sesuatu yang menjadi utopia masyarakat. Dia menjadi ikatan yang disepakati secara bersama, kolektif, menjaga keutuhan dan ikatan sosial, sekaligus berfungsi mengendalikan dinamika masyarakat.
Sesuatu yang dianggap the sacred, cenderung berubah menjadi instrumen yang menindas, dan bahkan dengan lunak mudah digunakan sebagai alat efektif oleh rezim penindas. Agama tak terkecuali, bisa digunakan sebagai alat penindasan, karena persoalan persepsi dan interpretasi ke atas agama oleh golongan penindas yang memikul agama demi mempertahankan status quo dan sesuatu yang dianggap sebagai kemapanan totalitarian. The sacred merupakan paradigma kolektif yang bertabiat koersif (berkat sifat normatifnya) untuk menafsirkan fenomena dan tindakan para anggotanya serta untuk mengendalikan tindakan-tindakannya sendiri.
Selanjutnya diikuti penghadapan secara oposisional antara the sacred dengan the profane; ihwal suci dan ihwal dunia. Pembunuhan demi mempertahan revolusi dan nasionalisme dihalalkan, karena hal ini telah terperangkap dalam paradigma the sacred. Inilah yang dilawan oleh Pasternak dan Vanunu. Mereka berdua menemukan jalannya sendiri demi memulia dan memuai kemanusiaan permukaan bumi. Bahwa kehidupan manusia itu bertolak dari prinsisp saling menenggang dan bertenggang. Bukan sesuatu yang saling membentur. Namun, benturan juga diperlukan untuk dan demi melahir tenggangan-tenggangan baru. Dengan benturanlah orang akan tahu indahnya tenggang-menenggang. Selanjutnya disebut sebagai tenggang-rasa.
Pasternak dan Vanunu mempersembahkan sisi tenggang-menenggang itu yang menggelegak di dalam puisi dan novel, dalam catatan harian dan kaidah pembongkaran kebusukan yang diperam bertahun-tahun sehingga membusuk dalam laci nasionalisme. Kita mencatat, telah berapa banyak pembantaian dan politik teror dengan korban membukit, dapat legitimasi demi kekeramatan nilai kesatuan teritorial bangsa yang sifatnya tidak bisa dirunding (negotiable); ini yang pernah terjadi di Aceh, di Papua dan di beberapa tempat. Inilah usungan the sacred dalam interpretasi Indonesia tentang kesatuan wilayah negara kesatuan itu. Dan bertahun-tahun ihwal yang sama telah menjadi “praktik suci” oleh klan Ampatuan di kawasan Maguindanao.
Korupsi menjadi usungan baru oleh mereka yang merintis jalan baru dalam model the sacred. Dia telah menjadi desakan kolektif masyarakat Indonesia, ketika ketidak-adilan mewabah dan mengejar-ngejar rakyat kecil. Keadilan hanya berlaku bagi kaum berkuasa. Mereka sama sekali tak tersentuh oleh hukum. Hukum hanya efektif untuk menjerat tabiat-tabiat alamiah rakyat kecil. Korupsi sebagai nilai, juga masih bisa dibelokkan oleh penguasa, sehingga dia menjadi nilai yang misterius. Dia menjadi sesuatu yang tak tergapai dan tak terpantau oleh masyarakat. Jika kita bersepakat dengan jalur dan gaya masa lalu Indonesia, berarti kita bersepakat dan bersetia dengan segala kelakuan dan tumpuan sifat yang terbenam di masa lalu; sebuah kebusukan tentang diri sendiri.
Pasternak dan Vanunu membimbing semua orang untuk membenturkan the sacred yang dikonstruksi oleh penguasa pada sebuah zaman. Kenapa harus gamang menimang jalan kedua, jalan baru untuk tidak teringkus dalam ‘jalan bersama’ yang terkadang menyesatkan, bahkan memusnahkan akal sehat dan akal budi. Sejauh ini kita hanya membangun kesantunan pada tingkat fisikal. Sehingga terbentuklah kesantunan verbal, tetapi di seberang lain terbangun pula kerakusan perilaku. Korupsi itu, dilakukan oleh mereka yang menganut kesantunan fisikal. Dia tidak menjadi tabiat dalam wujud perilaku dan tindakan. Kita lebih mengedepankan kesantunan lahiriah berbanding keterbukaan apa adanya tentang sesuatu hal. Kita menjadi takut untuk berkata benar, demi menjaga dan merawat kesantunan lahiriah di depan penguasa.
Ideologi mengenai anti-korupsi telah dirayakan oleh semua orang. Baik dalam keriangan maupun dalam kesangsian dan ragu-ragu. Namun, semua orang bergempita menyambut selera anti-korupsi ini, entah dia koruptor, pialang atau makelar kasus; semuanya berteriak histeria… “Hentikan korupsi di negeri ini”. Dia tidak lagi menjadi sesuatu yang the sacred dan bahkan telah menjelma menjadi sesuatu yang profan. Begitulah manusia yang terperangkap dalam kecelaruan terma, kecelaruan ideologi dan kekacauan makna. Kita tidak tau lagi bagaimana meretas jalan kedua. Semua berhimpun pepat dalam sebuah lolongan dan jeritan bersama: “Enyah dan tangkap koruptor!!!”. Berikutnya, siapa koruptor itu? Kita telah menjelma menjadi sebuah bangsa yang kusut. Dari mana hendak mengurai? Carilah pangkal benang. Dan di situ akan menyeruak sosok Pasternak dan Vanunu…***