

Gerak, penanda pasti tentang hidup. Seluruh elemen galaksi maha luas ini ditandai dengan gerak kecepatan tinggi. Manusia yang bergerak di atas kulit ari bumi adalah sebuah gerak yang melawan gerak. Apa-apa yang terlihat sebagai imajinasi; matahari, sejatinya tak pernah terbit. Dia adalah hasil gerak bumi yang mengitarinya. Tersebab, manusia sebagai penghuni bumi, lalu manusia punya hak memberi nama dan istilah. Terbit, bagi matahari adalah istilah yang dilahirkan oleh manusia. Di sini manusia meletakkan diri sebagai pusat dari istilah dan kata-kata. Manusia pemberi makna dan membangun makna di atas makna.
Bintang-bintang yang kita lihat saban malam, adalah sebuah persaksian imajinatif. Dia hadir dalam julur pecahan waktu dan me-ruang. Dia ialah hasil dari sekian perjalanan sejarah fisika dan astro fisika yang tak terekam oleh mata kasat. Mereka hadir dengan pasangan masing-masing. Mereka saling menari dan mengelilingi satu sama lain. Mereka bergerak amat teratur di alam semesta yang tak terpermanai. Tersebab gravitasi, semua makhluk di alam raya ini (bukan hanya manusia dan makhluk di bumi) bisa berada di orbit dan posisinya masing-masing. Berjuta bintang, berada di wilayah kisarnya, karena diatur oleh sebuah kerajaan bernama “kerajaan gravitasi”.
Manusia yang berada di bumi, seakan berada dalam sumur gravitasi. Kita lahir, besar dan mati di dalam ‘sumur gravitasi’ itu. Semenjak lahir, kita belajar merangkak, lalu disebut sebagai merangkak gravitasi. Belajar berjalan dengan gaya gravitasi, sampai berlari dengan gaya gravitasi. Kita mati dan dikubur di dalam bumi, juga berkat gravitasi. Alhasil, gravitasi ketika dilihat dari kejadian-kejadian ini seolah berfungsi bagaikan lem perekat. Manusia seakan dilem oleh gravitasi, sehingga dapat membantu menjalankan fungsi-fungsi gerak yang diperlukan selama hidup. Ketika mencuil hidung sebagai tindak gerakan yang paling lemah dan ringan, juga disebabkan oleh berkat lem gravitasi itu.
Gerak bintang-bintang ada yang mencapai 1 juta kilo meter per jam dalam wilayah edarnya. Kejadian ini diatur oleh kerajaan gravitasi yang juga berfungsi sebagai lem dengan toleransi tertentu yang diperlukan oleh semua benda dan makhluk di alam raya ini (universe). Ruang dan waktu berjalan dalam “kerajaan gravitasi” itu. Lalu Newton menemukan gerak jatuh buah apel di Britania, dalam kadar eksplanasi mengenai gravitasi dalam toleran yang dikenal sebagai G1. Buah yang lepas dari tangkainya dan jatuh ke bumi mengalami jatuhan empuk. Andaikan jatuhan itu berkadar G8, jatuhan buah apel itu berakhir dengan kehancuran bentuk, pecah bak kaca terhempas. Lalu, berkat gravitasi, segala gerak diatur dan beralun menjadi nada yang harmoni dan tidak saling menubruk. Tersebab ini pula, manusia bisa melakukan pemaksaan etika dalam gerak. Termasuk gerak ketika berjabat tangan, demi sebuah silaturahim. Andai tiada “kerajaan gravitasi” di dalam ‘sumur gravitasi’ ini, maka manusia tidak bisa saling kunjung dalam sebuah hari suci bernama kunjung-mengunjung di hari raya, melakukan sidang dan rapat dalam majelis orang banyak. Sebab, bakal berlangsung sejumlah tabrakan dan tubrukan yang mengundang perang. Padahal maksud semula untuk berdamai dalam sebuah islah dan silaturahim.
Kita pulang rapat malam hari, ketika tiba di depan pintu rumah, bukannya mengetuk pelan-pelan pintu rumah, malah menubruk daun pintu secara keras. Kejadian malam-malam begini, bakal mengundang perceraian rumah tangga saban malam. Namun, ketika berada dalam “sumur dan kerajaan gravitasi”, segala ihwal keras, dapat dijinakkan dengan ihwal serba lembut. Ketika orang bertindak keras, marah-marah, sejatinya dia sedang menendang kenyataan alamiah mengenai gravitasi yang menganjurkan kelenturan. Marah-marah dengan suara meninggi dan keras, tetap bisa dijinakkan. Sebab sebuah kemarahan hanya mengandal kecepatan suara, bukan kecepatan cahaya. Dalam kerajaan gravitasi, yang bisa menerobos dengan kuat hanyalah kecepatan cahaya, bukan kecepatan suara.
Dalam sumur dan kerajaan gravitasi ini, kita diajar dan belajar etika, melaksanakan sejumlah aturan, demi ‘menghargai’ dan menyantuni gravitasi itu. Berkat gravitasi itu pula, jiwa dan hati yang keras mampu dilembutkan, oleh sejumlah bujukan, rayuan, kerdipan mata, derai air mata yang jatuh perlahan oleh gravitasi mengaliri kelopak mata, pelan-pelan ke pipi, dan tak pernah menghasilkan sungai dan lautan air mata. Dan gravitasi adalah penyumbang kasih sayang antar manusia, antar makhluk untuk saling toleransi atau tolak angsur.
Lalu, mereka-mereka yang tak pernah sadar akan kehadiran panggung dan tak kenal turun panggung, apakah masih ada pengaruh kerajaan gravitasi itu? Tetap ada pengaruh. Ditandai dengan gerak yang terbatas, daya ingat yang terbatas, jumlah kata-kata verbal untuk menyampaikan pesan juga mengalami keterbatasan. Pada ketika itu, manusia seakan-akan tengah menggapai-gapaikan tangannya di tebing sumur, mencakarkan sisa kekuatan kuku jemari untuk berpaut agar tetap sangkut dalam gerak vertikal menuju atas, yang menghidang bintang surga.
Lalu, perlahan-lahan kita menutup bab gravitasi itu, menuju perut bumi dan menghentikan gerak yang dilayani oleh lem gravitasi selama hidup. Dalam kematian, manusia tetap dirawat oleh gravitasi, agar senantiasa ‘berada tetap’ di tempatnya (kubur); sehingga mayat-mayat yang di dalam kubur tak mengalami keterpelantingan yang membuat pukau dan horor bagi manusia yang tengah menjalani kehidupan pada episode dan etape berikutnya. Dengan gravitasi, kita menumpang lahir, besar, dewasa, menyelenggarakan tugas reproduksi (bukan tugas kreasi), lalu tua dan mati. Kerajaan gravitasi seakan abadi demi merawat ketidak-abadian.