Jokpin, Bawalah Kebersahajaanmu Untuk Bekal Di Surga (11 Mei 1962 – 27 April 2024): Catatan Maman S Mahayana

112

Joko Pinurbo, Surat dari Yogya, Yogyakarta: Lembaga Seni dan Sastra Reboeng, 2015, x + 50 halaman.

Pada hakikatnya setiap penyair punya gaya pengucapan dan kecenderungannya sendiri yang khas, baik secara tematik, maupun stilistik. Jadi, pilihan tema boleh jadi berkaitan dengan latar belakang kegelisahan sosio-budaya yang melekat pada diri penyair, dan gaya pengucapan berkaitan dengan karakteristik kepenyairannya yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan kematangannya menyikapi perkara pengaruh-mempengaruhi.

Pengucapan Joko Pinurbo (Jokpin) dan tema-tema yang diangkatnya, seperti tampak dalam sejumlah besar puisinya, terkesan hendak memamerkan semangat ‘bermain-main’ dalam menyikapi problem kehidupan persekitaran. Berbagai persoalan yang rumit atau ringan, yang serius atau remeh-temeh, bisa diangkat menjadi begitu cair, seperti main-main, dan Jokpin mengungkapkannya terkesan sambil lalu, seolah-olah urusannya cuma berkaitan dengan dirinya sendiri. Meski begitu, kesan yang menonjol dari semangat ‘main-main’ tadi adalah keinginannya berbagi persoalan tanpa harus menjerumuskan pembaca ke dalam lingkaran pusing tujuh keliling dan berkerut kening. Segalanya lepas begitu saja, pilihan katanya sederhana, dan tema yang diangkatnya, tak jauh-jauh berada dalam kehidupan keseharian kita. Ringkasnya, kesederhanaan menjadi sangat menojol, lantaran yang diangkatnya adalah kehidupan orang-orang sederhana dengan cara berpikirnya yang juga sederhana. Maka apa pun masalahnya, sikapilah segalanya kesederhanaan itu, seperti pesan Sapardi Djoko Damono, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Meskipun segalanya tampak sederhana, di sebaliknya mendekam ajakan yang sebenarnya tidak sederhana. Ada sesuatu yang serius. Maka, ketika kita lengkap menikmati puisi-puisi Jokpin, tiba-tiba saja kita jadi ngeh, sadar, bahwa di sana, dalam kesederhaan itu, ada kegetiran, ada sesuatu yang kelam dan menyengat. Semacam ironi tentang satu sisi kehidupan kita yang kerap dilalaikan. Lalu, ketika kita benar-benar dibuat ngeh, ada lagi semacam gugatan, bahwa ada sesuatu yang telah terjadi secara tidak beres dalam kehidupan ini. Peristiwa yang seolah-olah main-main itu patut dipikirkan secara serius.

Begitulah, Jokpin terkesan sekadar menjawil dan mengajak kita untuk ikut memikirkan peristiwa-peristiwa ‘kecil’ di depan mata kita yang kerap diabaikan. Atau ia sengaja membawa kita ikut bersenang-senang dalam permainannya yang memaknai kegetiran problem keseharian itu. Atau lagi, ia hendak menegaskan, bahwa kesenangan atau kegetiran apa pun, pada dasarnya sebuah permainan. Persoalannya tinggal, bagaimana menyikapinya. Tokh, pada akhirnya segala kegetiran dan kesenangan hidup ini akan berlalu juga, tanpa sesiapa pun dapat menolaknya. Jadi, ada semacam paradoks yang tidak dapat dihindari lantaran kehidupan ini telah menjadi keniscayaan.

Perhatikan puisinya yang berjudul “Tukang Cukur”.

Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai
yang merimbun sepanjang waktu.

“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,
dan restoran. Tentunya juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.”

Ia menyayat-nyayat kepalaku.
Ia mengapling-ngapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”

Tulisan Terkait

Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.

(1989)

Bukankah makna tukang cukur di sana hadir sebagai sebuah paradoks antara wong cilik yang kasat mata dan wong besar yang mirip siluman, kuasa gaib yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan mahabesar. “Tukang cukur” yang pada awalnya membawa asosiasi kita melayang pada pemandangan di pinggir jalan atau kisah tentang seseorang yang nongkrong di bawah pohon yang rindang, sabar menunggu datangnya pelanggan, tiba-tiba dibenturkan dengan “tukang cukur” yang tak kelihatan, tetapi punya kemampuan melindas dan menyulap apa pun, termasuk mengubah hutan jadi hotel. Bukankah itu problem bangsa ini yang berkaitan degan perkara lingkungan yang atas nama pembangunan, lahan-lahan apa pun seketika berubah jadi perumahan, hotel, dan seterusnya?

Jokpin tidak perlu berteriak lantang tentang pentingnya pelestarian alam, menjaga ekosistem, dan seterusnya. Tetapi, ia juga tidak dapat tinggal diam sebagai penonton. Ia mesti melakukan sesuatu, dan yang dapat dilakukannya adalah mempermainkan problem yang serius itu begitu ringan dan jenaka. Ia tak dapat menutupi kegelisahannya atas segala perubahan itu yang dikatakannya: Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku/.

Paradoks! Itulah salah satu gaya pengucapan yang mendominasi puisi-puisi Jokpin. Ia tidak muncul sebagai pernyataan yang tampak di permukaan, melainkan lesap dan melebur sebagai kesatuan puisi. Lihat saja puisinya yang berjudul “Yogyanya Linus”. Mula-mula disebutkan kebiasaan para penyair yang begadang semalaman di warung kopi. Dengan kesan seloroh, disebutkan pula nama-nama penyair Yogya. Mungkin juga di sana ada keriuhan, perdebatan, ketawa-ketiwi, dan diskusi hangat tentang problem manusia dengan berbagai gagasan besarnya, dan seterusnya. Tetapi, siapakah yang berada di depan mata mereka? Seorang perempuan tua yang sabar dan bertahan hidup dengan menahan kantuk. Maka, “kantuknya ia tahan sampai mati//

Para penyair yang kerap ‘menghidupkan’ orang-orang mati, yang membangun ide-ide gila di kepalanya, dibenturkan dengan sosok perempuan tua yang hidup tanpa perlu ‘berpikir’ karena yang penting baginya adalah berbuat. Tak perlu pula ia terlibat ide-ide besar, sebab perjuangan hidupnya setiap malam ‘sekadar’ menahan kantuk.
Potret paradoksal juga muncul dalam beberapa puisinya yang lain. Periksa saja puisinya yang berjudul “Boneka”, “Gadis Malam di Tembok Kota”, “Di Bawah Kibaran Sarung”, “Himne Becak”, “Kredo Celana”, “Baju Baru”, dan beberapa puisinya yang lain. Segalanya jadi terkesan sebagai permainan ketika penanda-penanda yang sakral, agung, suci, tabu, dan entah apa lagi yang berada nun jauh di sana, disandingkan atau dibenturkan dengan penanda lain yang berlawanan atau dunia lain yang berada di sekitar kita. Puisi-puisinya seperti sengaja dibangun dalam wilayah oposisi biner. Maka, Kartini yang luhur dan agung, bisa terkantuk-kantuk dan kena encok ketika ia dihadapkan pada Pariyem; kolom agama sebagai identitas penting untuk tiket masuk surga, bisa diisi sesuka hati; (celana) Yesus bisa kita pergoki di pasar loak; kejatuhan presiden (Gus Dur) yang tercatat sebagai peristiwa besar dalam sejarah republik ini, bisa disikapi dengan santai, seolah-olah jabatan presiden tidak penting benar.

Begitulah Jokpin memilih dunia persekitarannya sebagai pintu masuk untuk meledek, mencemooh dan menjadikan apa pun sebagai guyonan. Ia tidak perlu memburu metafora sampai ke ujung dunia, sebab gaya pengucapannya yang paradoksal sudah menyediakan itu. Di pihak lain, tidak perlu pula ia menyemburkan pamflet yang meledak-ledak. Sebab, dijawil pun orang bisa ngeh dan sadar akan hakikat keberadaannya sebagai manusia.
Demikian juga dalam perkara tema. Tidak perlu ia mesti mengejarnya sampai ke Palestina. Segalanya sudah tersedia di dunia persekitaran. Maka, Jokpin enteng saja mengangkat nasi kucing di warung angkringan, sesuatu yang berkibar-kibar di balik sarung, atau peristiwa apa pun menjadi sesuatu yang dapat diperlakukan sambil main-main. Bukankah peristiwa remeh-temeh atau sesuatu yang kerap terabaikan itu, pada hakikatnya berurusan dengan problem manusia.

Secara keseluruhan, puisi-puisi Jokpin sesungguhnya semacam ‘potret’ Indonesia yang paradoks. Boleh jadi juga sebagai representasi masyarakat kita yang menjalani hidup ini tidak hitam-putih, kerap abu-abu, dan penuh warna. Problem apa pun yang melanda bangsa ini, boleh disikapi begitu lentur, kenyal, dan baik-baik saja. Maka, pilihan pengucapannya yang sederhana, cair, dan ringan, sepertinya sengaja dihadirkan sebagai kemasan untuk menutupi kegetiran hidup di negeri ini. Puisi-puisi Jokpin kiranya dapat ditarik sampai ke sana, meski ia mungkin saja meniatkannya tanpa pretensi.

(Diambil dari Maman S. Mahayana, Jalan Puisi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016, hlm. 299—303).

 

 

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan