Kalau saya menjawabnya dengan filsafat positivisme, jelas kadarnya kurang “mengenyangkan” ibarat makanan kurang bumbu, hambar lalu makanan jadi tersisa. Terlebih-lebih saya menjawabnya dengan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia Purwadarminta (1999), rasa; dapat didefinisikan sebagai tanggapan indra terhadap rangsangan saraf seperti manis, pahit, asam, getir dan sebagainya. Kalau hanya ini saya jawab, saya yakin sahabat saya Wahid kecewa karena harapannya bukan pada definisi yang sederhana melainkan interpretasi yang memiliki makna filosofis. Wahid tahu kalau taraf berpikir saya sudah pada titik itu sehingga ia menuntut ada banyak hal yang bisa diungkap dari sejumlah pertanyaannya.
Sebab itu pula, saya memperbincangkan rasa melalui filsafat postpositivisme dengan pendekatan estetika. Estetika adalah hal yang mempelajari kualitas keindahan dari obyek, maupun daya impuls dan pengalaman estetik pencipta dan pengamatannya. Secara etimologi, istilah “estetika” berasal dari bahasa Latin “aestheticus” atau bahasa Yunani “aestheticos” yang artinya merasa atau hal-hal yang dapat diserap oleh panca indera manusia. Ada juga yang menyebutkan bahwa arti estetika ialah suatu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang keindahan dan biasanya terdapat didalam seni dan alam semesta. Ya jelas ini lebih tepat untuk menjawab segala pertanyaan soal “rasa” dari sahabat saya, Wahid. Keputusan mengambil pendekatan estetika karena Wahid bersentuhan dengan alam seni. Cara pikirnya juga tidak jauh-jauh dari alam pikir filsafat estetik dan merujuk pada beberapa filosof seperti Picasso, J.W.Moris, Tolstoy, Eli Siegel dan masih banyak lagi. Sentuhan-sentuhan estetik lebih mendasari pemikiran Wahid ketimbang kaidah obyektif.
Rasa tidak bisa dinilai secara kuantitatif, karena rasa ada pada takaran kualitatif yang memerlukan indra sebagai alat penginterpretasi. Kalaupun rasa dipersepsi, rasa ada digaris kontinum. Sebagai contoh, bagaimana saya memberi nilai persahabatan saya dengan Wahid? Katakan jika garis itu membentang dari nol hingga sepuluh, lalu saya memberi nilai 10; apakah demikian juga nilai yang diberikan Wahid? Kemungkinan-kemungkinan selalu ada. Bila garis kontinum ditarik semakin panjang, maka rentang nilai semakin tinggi dan akurasi semakin tinggi juga. Ini akan menyulitkan penilaian terhadap sesuatu yang dipersepsi. Jelasnya, persahabatan itu bernilai estetik dengan alam surealisme. Semua kemungkinan bisa saja terjadi selagi ada interaksi antara pendulum jam dengan gravitasi bumi. Meminjam ungkapan kata bijak orang-orang Cina kuno,”Seekor kuda baru bisa dikatakan kuda juara bila telah mencapai garis finis.” Artinya, rasa persahabatan itu baru dapat dinilai bila komponen yang terikat didalamnya selesai (statis). Kita terkadang sederhana menjawabnya: Si Ani tidak baik, Si Anu penipu, Si Ana jujur, dan sebagainya. Semua ini karena yang memberi jawaban sudah terlepas dari komponen satu diantara mereka ini. Artinya, selagi ada variabel pengubah maka semua kemunginan bisa terjadi (dinamis).
Kepada Wahid sebagai sahabat, tentu saya tidak bisa memberikan jawaban yang sederhana karena jawaban yang diinginkan memang tidak sederhana. Jawaban yang akan diberikan bagai saya mengambil analogi empiris saya ketika masih kanak-kanak. Waktu itu di kampung saya yang punya televisi hanya satu atau dua rumah saja. Untuk menonton TV saya pergi ke rumah Cek Abun yang jaraknya tidak lebih dari dua ratus meter. Tetapi kebetulan saja, untuk ke sana saya harus melewati tiga batang pohon randu besar yang berdiri tegak tidak lebih dari 50 meter percis di belakang rumah. Hanya saja waktu itu penerangan amat sangat terbatas. Di sinilah mulai ada cerita tentang “sesuatu” yang ada di pohon randu. Akhirnya sebagai anak-anak tentu ada rasa takut melintas di sana. Konon ada “kuntilanak” ceritanya. Walaupun sampai sekarang saya tidak bisa membuktikan kalau di situ benar ada kuntilanak, tapi waktu itu saya memang takut. Ini adalah semacam keyakinan terhadap suatu alam yang kita percayai tetapi tidak bisa kita buktikan. Yang dapat diungkapkan sebagai bukti hanya “rasa” takut. Alam pikir semacam ini akan bersanding pada pemikiran David Hume yang menyatakan apa yang kita pikirkan itu terlahir dari apa yang kita terima secara empiris melalui kesan indrawi. Takut itu dikategorisasi menjadi “kesan”. Kita mengenal David Hume sebagai filosof yang bertentangan dengan penganut rasionalisme. Hume juga menyatakan, bahwa apa-apa yang belum bisa kita rasakan karena kita belum mengetahuinya saja. Relevansinya, Hume dikenal juga seorang yang menganut empirisme radikal.
Demikian pula terhadap rasa sebagaimana yang dipertanyakan oleh sahabat saya Wahid, bahwa rasa itu memiliki elastisitas tinggi. Dia ibarat es yang akan menjadi cair ketika berada pada suhu panas, tetapi akan tetap menjadi es pada suhu bertemperatur dingin tinggi. Suatu rasa akan dipersepsi multi dimensi tergantung siapa pengukurnya. Tapi setidaknya kalau untuk mengukur rasa persahabatan, pendekatan yang barangkali tepat adalah menginterpretasikannya sebagai: Memupuk persahabatan jauh lebih sulit dari mencari sahabat baru. Demikian sahabatku.*
Penulis Adalah Dosen dan Cendekiawan
Bergelar :
Dr. NYOTO, SE, SH, S.I.Kom, MH, MM, M.M.Pd, M.I.Kom, Ph.D