Mungkinkah Jalan Pendidikan Nasional Akan Gemilang Tanpa Agama? | Opini : Yenni Sarinah, S.Pd

54
Berita Lainnya

Loading

MUNGKINKAH JALAN PENDIDIKAN NASIONAL AKAN GEMILANG TANPA AGAMA?

OPINI – Publik dikagetkan dengan peralihan istilah agama dalam draf peta jalan pendidikan nasional yang kini dialihkan dengan lafadz sekuler dan liberal seiring dipaparkannya program moderasi beragama. Peta jalan pendidikan adalah arah kompas pendidikan nasional bagi generasi umat ini. Apabila ruh liberalisasi dengan jargon moderasi beragama dikumandangkan dengan masif yang melahirkan sinkretisme beragama, bagaimana kita bisa berharap generasi umat ini bisa menjadi pembela islam dan pembangunan peradaban mulia?

Draf Peta Jalan Pendidikan memuat visi pendidikan 2035, begini bunyinya: “Visi Pendidikan Indonesia 2035. Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”

Kontroversi hilangnya frasa agama di draf peta jalan pendidikan ini pernah ditanggapi oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir yang menyoroti bunyi kalimat di atas. Dia tidak menemukan ‘agama’ dari draf rumusan paling akhir tanggal 11 Desember 2020. Haedar menilai Peta Jalan Pendidikan ini sudah bertentangan dengan konstitusi karena tidak memuat ‘agama’. (news.detik.com, 09/03/2021)

Menyoal peta jalan pendidikan Indonesia. Setelah SKB 3 Menteri yang menjadi polemik, kini Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 kembali menuai protes. Pasalnya, pada visi pendidikan Indonesia, frasa agama sama sekali tidak tertulis, sementara frasa budaya tertulis bergandengan dengan Pancasila. (republika.co.id, 09/03/2021)

Pancasila tanpa agama sejatinya kacau. Karena, Pancasila sendiri dirumuskan dari nilai-nilai agama. Sebagaimana sila pertama Pancasila menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa dan negara yang relijius, bukan sekular (memisahkan agama dari kehidupan). Karenanya, tidak mungkin bangsa Indonesia mengesampingkan agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pancasila menempati posisi staats fundamental norm sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Dapat diartikan bahwa apapun bentuk aturan yang lahir, harusnya menempatkan agama sebagai bagian tak terpisah dari aturan itu kelak.

Karena Pancasila menempati posisi staats fundamental norm, maka setiap produk hukum, apalagi produk turunan, seperti peta jalan pendidikan Indonesia, yang dihasilkan negara tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Setiap sila Pancasila merupakan nilai dasar atau prinsip, sedangkan hukum adalah nilai instrumental atau penjabaran dari nilai dasar. Karenanya, dalam merumuskan hukum dan peraturan negara mesti bernafaskan pada sila-sila dalam Pancasila. Jika kita merujuk pada sila pertama Pancasila, maka merumuskan visi dan peta jalan pendidikan Indonesia mestilah mengacu pada nilai-nilai agama, bukan kepentingan pasar dan industri. Pendidikan bukan hendak memproduksi manusia-manusia robot yang mengikuti arah dan selera pasar. Walaupun pasar dunia saat ini memboomingkan liberalisme (kebebasan yang sejatinya bablas), sekularisme (membuang agama dari aturan kehidupan) dan sinkretisme (mencampur adukkan semua agama sehingga agama hadir tanpa identitas yang tegas).

Sebagaimana yang diharapkan banyak manusia, pendidikan bertujuan melahirkan manusia-manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa, berilmu, serta berakhlak mulia. Dengan bekal iman, takwa, ilmu, dan akhlak mulia itulah manusia-manusia Indonesia akan mampu membangun bangsa dan negaranya menuju tatanan yang berkeadaban. Karena itu, semestinya frasa agama bergandengan dengan Pancasila tertulis eksplisit dalam visi pendidikan Indonesia 2035. Hal ini pun ditegaskan dalam pasal 31 ayat 3 dan 5 UUD 1945, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidkan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” (ayat 3).

“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat.” (ayat 5). . Untuk menjawab amanah pasal 31 UUD 1945 di atas, lahirlah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 3 UU Sisdiknas disebutkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mungkinkah pendidikan akan berjalan sesuai visi dan misinya jika beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana Islam mengimani tuhan yang satu (Allah subhanahu wata’alaa)? Dengan cukup jelas dapat disimpulkan bahwa kemungkinan ini mustahil. Pendidikan tanpa Islam, bagai benih yang tumbuh di atas angin, dan ini adalah mustahil.

Yenni Sarinah, S.Pd, Pekanbaru, Riau

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan