

Seorang wanita pengarang yang terbilang terkemuka pada sastra Melayu ialah Raja Aisyah Sulaiman (cucu Raja Ali Haji) dari Pulau Penyengat Riau. Beliau mengucapkan puisinya dalam dunia individualistik dan memulai kaier bersastra sezaman dengan Abdullah Munsyi yang lebih dahulu mengalami proses pembaratan dalam dunia wacana Melayu.
Dari segi sejarah (Ming, 2003) masyarakat Melayu telah mengalami dua zaman peralihan yang besar. Pertama. zaman peralihan Islam sekitar abad ke-13. Kedua, zaman peralihan Barat sekitar abad ke-16. Pada abad ke-17 pengarang ulama yang berpusat di Aceh menguasai wacana sastra dengan terbitnya buku karya Hamzah Fansuri, Bukhari al Jauhari, dan Nuruddin Ar-Raniry. Era penulisan wacana sastra ini bercorak keagamaan dan menjadi mazhab pemikiran di kalangan bangsawan dan kaum elite sastra Melayu. Pada masa itu proses pembaratan sastra seperti ‘terhenti‘.
Barulah abad ke-19 pengarang Melayu terlibat secara langsung dalam proses defeodalisasi dan menuntut sikap individualistik serta berani mengungkapkan diri secara mandiri. Perbedaan sastra Melayu tradisi dengan sastra pengaruh Barat yakni sastra tradisi Melayu ditentukan menjadi tukang cerita yang rajin berbakti kepada khalayak. Sedangkan sastra pengaruh Barat menonjolkan sikap individu dan berani mengucapkan dirinya.
Pengarang dalam tradisi Melayu secara retorik, mengarang berarti melakukan pengulangan dalam pesan baik dari segi isi, bahasa, dan gaya penulisan. Hal ini berbeda dengan pengarang romantik (Barat) yang mengutamakan unsur keaslian, tidak suka dengan pengulangan tentang apa yang sudah diketahui khalayak pendengar dan pembaca. Di tengah kedua tradisi yang berbeda ini Raja Aisyah menulis dalam konteks peralihan sejarah kesusastraan Melayu.
Tema yang dominan dalam cerita karya Aisyah adalah tentang emansipasi wanita dan dapat dikatakan Aisyah layak disebut pelopor pengarang feminisme Melayu. Raja Aisyah menurut teori Foucault (1926-1984) memanfaatkan sastra sebagai alat mengekspresikan diri dalam sikap individualistik.
Perkembangan ini selaras dengan proses individualisasi dan pendemokrasian sastra . Hal ini sama yang dialami penyair seperti masa sekarang. Sesudah masa Raja Aisyah perkembangan dunia kreativitas sastra perempuan semakin berkembang dan memberi keutamaan pada keaslian. hak kebebasan yang dijamin dalam hak mencipta. Pada Syair Khadamuddin (1987) Aisyah menulis;
Kepada aku tiada tukar gantinya
Hak bapa engkau yang punya
Alam dunia dengan isinya
Tujuh kali lagi gandanya
Kami ini seorang merdeka
Daripada kamu itu belaka
Mati hidupku setiap ketika
Ialah milik suamiku juga
Kami barang di dalam kawalan
Bukan sekali bangsa jualan
Atau kececeran sepanjang jalan
Boleh diambil masuk pikulan
Raja Aisyah menyadari status dan fungsinya sebagai kaum perempuan; Dia mengabdi dan taat hukum serta taat beradat terhadap suami. Namun, di pihak lain ia secara tegas memposisikan perempuan sebagai makhluk yang memperjuangkan emansipasi sebagaimana tecermin dalam sejumlah karyanya.***
Oman, 12 Oktober 2023