Simbolik dan Kepurbaan Manusia dalam “Migran Terakhir”: Esai Bambang Kariyawan Ys.

106
Berita Lainnya

Loading

Pertunjukkan teater merupakan miniature kehidupan umat manusia. Beragam peristiwa umat manusia dengan segala dinamika kehidupannya dapat menjadi bahan mentah dalam seni pertunjukkan teater. Berbagai laku hitam dan putih yang saling bertolak belakang menjadi medium menarik untuk dipentaskan. Salah satunya pertunjukkan teater dengan judul Imigran Terakhir.


Pertunjukan teater Imigran Terakhir merupakan pertunjukkan yang dipentaskan dalam Festival Teater Sumatera Tahun 2022 di Sumatera Selatan. Penampilan teater Selembayung, salah satu kelompok teater yang tunak di Riau ini dapat disaksikan dalam versi rekaman melalui tautan


Migran Terakhir yang ditulis dan disutradarai Fedli Aziz mengisahkan tentang migrasi manusia dari langit (surga) ke bumi. Esensinya manusia dipindahkan Tuhan ke muka bumi sebagai makhluk pendatang terakhir. Sebelumnya berbagai makhluk ciptaan Tuhan telah menghidupi dan hidup di muka bumi. Justeru kedatangan manusia yang diharapkan menjadi khalifah di bumi, ternyata sisi lain merusak keseimbangan yang telah terjaga sebelumnya.


Mengamati tayangan dan menganalisis naskah Migran Terakhir memberikan kejutan tersendiri. Kejutan itu terlihat pada penempatan posisi manusia bak makhluk paling purba yang mestinya menjadikan dirinya sebagai makhluk paling maju yang tiba terakhir di muka bumi.

Simbolik

Istilah simbolik merujuk pada teori interaksi simbolik yang menjadikan segala laku manusia memiliki simbol-simbol tertentu dalam berinteraksi. Dalam Migran Terakhir symbol-simbol laku manusia dapat dilihat dengan personifikasi pada suatu elemen dari makhluk hidup yang lain. Kita cermati dialog berikut:

“Kini, alam tak lagi dipasak dengan paku kayukayan yang menjulang ke angkasa. Akar tempat bersila, batang tempat bersandar dan daun tempat berlindung tinggal kenangan belaka. Kini, bumi ditumbuhi pohon-pohon baru bernama ‘opini’. Pohon-pohon baru itu melintang membujur sesukanya dan kita dipaksa untuk meniti jalan setapak diantara belukar sengketa dan amarah.”

Kalimat tersebut menggambarkan perubahan dalam hubungan manusia dengan alam dan masyarakat. Dalam konteks ini, “alam” mengacu pada lingkungan alamiah yang sebelumnya dihiasi dengan pohon-pohon dan elemen-elemen alam, seperti akar, batang, dan daun. Namun, saat ini alam telah berubah, dan penggambaran tersebut digunakan secara metaforis.


Kalimat pertama menyiratkan bahwa alam tidak lagi “dipasak dengan paku kayu kayan yang menjulang ke angkasa”. Ini bisa diartikan bahwa sebelumnya alam telah dirusak oleh tindakan manusia yang serakah dan merusak lingkungan. Akar, batang, dan daun yang dulunya menjadi simbol kehidupan alami sekarang hanya tinggal kenangan.


Selanjutnya, kalimat tersebut menggambarkan bahwa bumi sekarang ditumbuhi oleh pohon-pohon baru bernama ‘opini’. Istilah “opini” di sini mengacu pada pandangan subjektif dan beragam yang dimiliki oleh masyarakat modern. Pohon-pohon baru ini “melintang membujur sesukanya”, menggambarkan keberagaman pandangan dan pendapat yang tersebar luas dan tidak teratur.


Terakhir, kalimat tersebut menyatakan bahwa manusia sekarang dipaksa untuk “meniti jalan setapak di antara belukar sengketa dan amarah”. Ini menggambarkan konsekuensi dari beragam pandangan dan opini yang ada di masyarakat. Dalam perjalanan melalui kehidupan sehari-hari, individu dihadapkan pada konflik, perbedaan pendapat, dan emosi negatif seperti kemarahan.


Secara keseluruhan, kalimat tersebut mencerminkan perubahan dalam relasi manusia dengan alam dan masyarakat, dari kerusakan alamiah menjadi beragamnya pandangan dan perasaan di antara manusia.
Dialog lain yang menguatkan interaksi simbolik berupa:

“Hari ini, di sini, kita sibuk menyusun kalimat-kalimat, biar terkesan filosofis, bermakna, bernilai tinggi, hanya untuk satu kata, “Pembenaran”. Menyatakan diri, kelompok, kaum kitalah yang paling cerdas, tangkas, dan benar adanya. Sesuai dengan jalur pikiran-pikiran, dan tafsir yang diinginkan zaman. Kita seperti gerombolan Singa yang berkelana di hamparan padang ilalang, mengintai santapan yang melintas, atau memang menyediakan dirinya untuk di lahap bersama. Kita juga tak kurang angkuh seperti Hiena yang merampas milik binatang lain, Singa misalnya sebagai cara mudah mendapatkan makanan. Main keroyok! Ya, mereka mengumbar nafsu saat menyaksikan gelimang darah yang membasahi sekujur tubuh dan menetes ke tanah. Tidak sekedar merampas santapan Singa, tapi lebih dari itu, sekaligus menyantap dengan rakus Sang Singa yang kelaparan. Tak pernah habisnya. Tak pernah puas untuk mencapai puncak kesenangan palsu.”

Kalimat tersebut menggambarkan suatu situasi di mana orang-orang sedang sibuk menyusun kalimat-kalimat yang terkesan filosofis, bermakna, dan bernilai tinggi. Mereka menunjukkan bahwa diri mereka sendiri, kelompok mereka, atau kaum mereka adalah yang paling cerdas, tangkas, dan benar adanya. Mereka ingin sesuai dengan pikiran-pikiran dan tafsir zaman yang diinginkan.


Pada kalimat berikutnya, perumpamaan digunakan untuk menjelaskan sikap mereka. Mereka dibandingkan dengan gerombolan singa yang berkelana di padang ilalang, mengintai mangsa atau bahkan mengorbankan diri mereka sendiri untuk disantap bersama. Mereka juga disamakan dengan hiena yang angkuh, merampas milik binatang lain seperti singa, sebagai cara mudah untuk mendapatkan makanan. Mereka berperilaku seperti hewan-hewan ini dalam kerumunan, menikmati melihat darah yang membasahi tubuh dan tanah, bukan hanya merampas makanan dari singa, tetapi juga menyantap dengan rakus singa yang kelaparan. Mereka tidak pernah puas dan terus berusaha mencapai puncak kesenangan palsu.


Secara keseluruhan, kalimat tersebut menggambarkan sikap sombong, angkuh, dan rakus dari sekelompok orang yang merasa lebih pintar, lebih benar, dan lebih kuat daripada yang lain, dan mereka menggunakan berbagai cara untuk memperoleh kepuasan pribadi dan meraih kesenangan palsu.

Kepurbaan Manusia

Kepurbaan manusia sebagai makhluk terakhir yang menghuni di muka bumi ini terlihat dari sisi terburuk laku sebagai makhluk yang semestinya menjadi khalifah di muka bumi ini. Kita dapat mendengarkan suara-suara psikolinguistik dari pemain lelaki dan perempuan yang saling bergantian memaparkan kepurbaan manusia saat ini.

“Kita telah menjelma menjadi makhluk-makhluk yang mencintai kerusakan, kehancuran sesama. Kita tak lebih seperti yang dinyatakan para Malaikat saat Tuhan hendak menjadikan Manusia sebagai pemimpin kefanaan. Kita tak mengenal mahluk yang dikatakan para Malaikat itu, tapi kitalah kepastian atas kelanjutan mahluk yang dikatakan para Malaikat itu. Paham?”

Kalimat tersebut mengungkapkan pandangan bahwa manusia telah berubah menjadi makhluk yang mencintai kerusakan dan kehancuran sesama. Pernyataan ini menyiratkan bahwa manusia telah melupakan nilai-nilai kebaikan dan keadilan yang seharusnya menjadi ciri khasnya.
Selanjutnya, kalimat menyatakan bahwa meskipun kita tidak mengenal mahluk yang dikatakan oleh para malaikat, kita adalah jaminan atas kelangsungan atau nasib mahluk-mahluk tersebut. Artinya, kita sebagai manusia memiliki peran penting dalam memastikan kelanjutan atau keberlanjutan kehidupan di bumi.

“Kita mahluk yang memelihara kemungkaran, khianat, dan dendam. Mencintai kemaksiatan, kebengisan, dan kerakusan. Senang pada kesesatan, keliaran nafsu birahi, serta saling berbagi keburukan. Seolah hanya untuk kitalah tanah ini dititipkan. Setelah itu –masa depan– hanyalah serupa khayalan. Generasi masa datang dibiarkan menentukan jalannya sendiri setelah kita membumihanguskannya, tanpa sisa. Ceroboh!!!”

Kalimat tersebut mengungkapkan pandangan yang sangat negatif tentang manusia. Manusia cenderung memelihara kemungkaran, khianat, dan dendam. Mereka juga cenderung mencintai kemaksiatan, kebengisan, dan kerakusan, serta senang pada kesesatan, keliaran nafsu birahi, dan saling berbagi keburukan. Penulis juga menyatakan bahwa tampaknya hanya untuk manusia tanah ini dititipkan, dan setelah itu, masa depan hanyalah seperti khayalan belaka. Generasi yang akan datang dibiarkan menentukan jalannya sendiri setelah kita menghancurkannya tanpa sisa. Kata “ceroboh!!!” yang menunjukkan kekecewaan atau kegelisahan yang besar.

“Kita makhluk yang suka mengeluh, mengutuk, memakihamun, dan tak sudah-sudah membumbui jalur gulita dengan energi-energi buta. Kitalah mahluk tak berbudi, mati rasa, tanpa nurani, dan tak hentinya bersenggama dengan nafsu nafsi duniawi. Kitalah kumpulan binatang-binatang pemburu yang menciptakan mesin-mesin pembunuh. Kitalah yang memanfaatkan energi yang terserak di muka bumi menjadi teknologi untuk meracuni kehidupan. Kitalah binatang jalang itu!!!”

Kalimat tersebut menggambarkan pandangan yang sangat negatif terhadap manusia. Dalam konteks tersebut, kalimat tersebut mengartikan bahwa manusia cenderung mengeluh, mengutuk, memakihamun, dan menggunakan energi dengan tidak bertanggung jawab. Manusia dianggap sebagai makhluk tanpa akal, tidak memiliki rasa empati, dan terus-menerus terjerat dalam keinginan duniawi. Mereka juga digambarkan sebagai kumpulan binatang pemburu yang menciptakan mesin pembunuh, menggunakan teknologi untuk merusak kehidupan, dan diidentifikasi sebagai binatang jalang. Kalimat ini mengekspresikan pandangan negatif terhadap manusia dan menunjukkan kekecewaan terhadap perilaku mereka.

“Kitalah makhluk yang gemar menzalimi, tapi merasa sebagai pihak yang paling terzalimi. Menuduh sesuka hati perut bahwa orang di luar diri dan kelompoknya sebagai penjarah, penjajah, bahkan lebih keji sebagai penghianat. Kitalah orang-orang yang menghancurkan cermin, lalu merasa paling benar. Kita memaksa orang dan kelompok lain untuk bercermin. Karena di mata kita, mereka adalah sampah dunia. Tetapi kita tak pernah mengakui, bahwa kita tak lebih gelap dari mereka.”

Kalimat tersebut menggambarkan suatu paradoks yang sering terjadi dalam masyarakat. Maksudnya adalah sebagai berikut:

“Kitalah makhluk yang gemar menzalimi, tapi merasa sebagai pihak yang paling terzalimi.” Ini mengacu pada perilaku di mana seseorang atau kelompok suka menindas atau menyakiti orang lain, tetapi pada saat yang sama, mereka merasa bahwa mereka adalah korban yang paling menderita. Mereka mungkin memiliki persepsi bahwa mereka selalu dianiaya atau dirugikan, tanpa memperhatikan tindakan buruk yang mereka lakukan kepada orang lain.


“Menuduh sesuka hati perut bahwa orang di luar diri dan kelompoknya sebagai penjarah, penjajah, bahkan lebih keji sebagai penghianat.” Ini merujuk pada kecenderungan untuk dengan cepat menuduh dan mencela orang lain tanpa dasar yang kuat. Mereka dengan mudah menganggap orang lain sebagai penjahat, penjajah, atau bahkan penghianat tanpa adanya bukti yang jelas atau pemahaman yang akurat tentang situasi tersebut. Mereka melakukan hal ini dengan berdasarkan pandangan subjektif mereka sendiri.


“Kitalah orang-orang yang menghancurkan cermin, lalu merasa paling benar.” Ini menggambarkan perilaku di mana seseorang atau kelompok merusak cermin, yang dapat diartikan sebagai simbol dari kebenaran, kejujuran, atau pemahaman yang objektif. Meskipun mereka secara fisik atau simbolis menghancurkan cermin ini, mereka masih merasa bahwa mereka adalah yang paling benar dalam pandangan mereka.

“Kita memaksa orang dan kelompok lain untuk bercermin. Karena di mata kita, mereka adalah sampah dunia.” Ini mencerminkan sikap dominan dan merendahkan orang lain. Mereka mengharapkan orang lain untuk melihat diri mereka sendiri dengan pandangan yang sama negatifnya, sehingga mereka dianggap sebagai sampah dunia. Ini menunjukkan kurangnya empati dan pengakuan terhadap nilai-nilai dan keberagaman yang ada dalam masyarakat.

“Tetapi kita tak pernah mengakui, bahwa kita tak lebih gelap dari mereka.” Ini menggambarkan bahwa meskipun mereka menyalahkan dan merendahkan orang lain, mereka tidak pernah mengakui atau menyadari bahwa mereka juga memiliki kekurangan dan kegelapan dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mau melihat bahwa mereka mungkin juga melakukan kesalahan atau bertindak dengan cara yang tidak adil.

“Kita paling hina. Papakedana dan mubazir pada kejahatan. Kita membenci kemiskinan. Apatahlagi kesederhanaan. Kita buruk. Rupa tak elok, hati tak jua diraba. Nurani penuh titik noda. Jalur apa yang telah kita pilih. Bagaimana mungkin untuk kembali jika pesona jalur ini tak pernah redup merayu. Membujuk kita dengan janji kesenangan semata

Kitalah makhluk paling miskin. Paling rendah. Berlumur lumpur. Asyik menyumpah. Kitalah makhluk tak berhati perut. Penuh koreng. Kudis yang telah menjadi barah. Kitalah sumber kekejian yang lahir dari lubuk dusta. Kita adalah kita yang terlalu rapuh, meski tampak gempita.”

Kalimat tersebut mengekspresikan perasaan rendah diri, penghinaan diri, dan penyesalan terhadap keadaan dan tindakan seseorang atau kelompok. Kalimat-kalimat tersebut menyatakan bahwa kita sebagai manusia adalah yang paling hina, boros, dan terlibat dalam kejahatan. Kita membenci kemiskinan dan kesederhanaan, tetapi pada saat yang sama kita buruk, baik dari segi penampilan maupun hati nurani. Kita merasa memiliki banyak noda dan mengikuti jalur yang salah, namun sulit untuk kembali karena daya tarik jalur ini terus menggoda kita dengan janji kesenangan semata.


Kita menganggap diri kita sebagai makhluk yang paling miskin, rendah, dan terjerembab dalam kekotoran. Kita terus mengutuk dan tidak memiliki belas kasihan. Kita dianggap tidak memiliki perasaan, tetapi penuh dengan luka dan penyakit yang telah menjadi kanker. Kita dipandang sebagai sumber kekejian yang tumbuh dari lubuk kebohongan. Kita adalah kita yang terlalu rapuh, meskipun tampak bersemangat.

Naskah dan pertunjukkan Migran Terakhir telah memberikan penyadaran akan posisi kita sebagai manusia. Khalifah di muka bumi untuk menjadi manusia yang berperadaban atau malah menjadi makhluk paling purba yang akan melenyapkan peradaban umat dengan kebiadabannya. Entahlah.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan