

Apa yang terlintas dalam pikiran kita, kala ada sebuah judul tulisan yang memilih kata “Perempuan”? Kita secara refleks akan memandang sosok perempuan tersebut serta komparasi dari perempuan yaitu laki-laki. Bangunan persepsi biner tersebut adalah kelumrahan yang akan selalu muncul pada efek memandang dan menyimpulkan. Namun, akan menjadi bias kala penempatan kondisi biner (laki-laki dan perempuan) dikaitkan dengan pendikotomian peran.
Salah satu cerpen yang membincangkan kondisi biner itu adalah cerpen berjudul Perempuan Itu Bernama Lara karya AA. Navis yang ditulis tahun 1996. Cerpen ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang perempuan bernama Lara, istri seorang komandan yang meninggal dalam pertempuran. Setelah perang usai, Si Dali mencari-cari Lara di Bandara Kemayoran. Mereka bertemu dan berbicara dengan santai, tetapi Lara menunjukkan emosi yang datar dan tidak ada lagi emosi dalam dirinya.
Lara diceritakan sebagai seorang istri yang tidak bahagia. Suaminya, Kapten, sering pergi meninggalkannya, dan Lara merasa digermoi oleh anak-anak muda yang sering bersama Kapten. Lara akhirnya meninggalkan suaminya dan pergi ke kota. Si Dali diperintahkan untuk mencari Lara, tetapi pencariannya gagal karena kampung yang menjadi pos komando sudah ditinggalkan akibat serbuan musuh. Si Dali akhirnya menemukan Lara di rumah yang telah ditinggalkan penghuninya.
Kala Si Dali menemukan Lara, dia masih ragu apakah itu khayalan atau kenyataan. Mereka berbicara tentang hidup mereka dan perasaan Lara yang tidak bahagia dengan suaminya. Lara merasa bahwa suaminya lebih suka anak-anak muda daripadanya dan bahwa dia digermaini. Lara juga merasa bahwa hidupnya akan semakin buruk jika suaminya sukses menjadi pengusaha. Cerita berakhir dengan Si Dali yang merasa tergadai dan tidak bisa menebusnya, sementara Lara berdagang dirinya untuk menggapai hidup yang lebih baik. Inti sarinya bermuara pada cerpen ini menggambarkan tentang perjuangan hidup, cinta yang tidak bahagia, dan perubahan sosial dalam konteks perang dan pasca-perang.
Biner tentang Dua Kutub
Penetapan gender biner yang tidak disengaja telah sangat membatasi dan menentukan manusia. Orang-orang telah dibentuk oleh biner gender, yang membuat kita membagi dunia dalam kategori dasar dari linguistik hingga metafisika. Basis biologis dari kognisi gender, identitas gender, dan preferensi seksual membatasi kemampuan kita untuk berkomunikasi, memahami sudut pandang orang lain, dan berbagi rasa empati. Dinamika kekuasaan paling fundamental dalam masyarakat adalah dimorfisme gender biologis, yang memungkinkan laki-laki memaksa perempuan dengan tubuh dan perilaku yang didorong oleh domina (Dvorsky & Hughes, 2008).
Menunjukkan bahwa oposisi biner seperti maskulinitas dan feminitas selalu mengandung ketidakstabilan dan ambiguitas adalah bagian penting dari dekonstruksi. Ini berarti bahwa identitas gender dan peran dalam rumah tangga dalam pernikahan tidak pernah benar-benar stabil dan selalu dapat diubah. Pasangan dapat menemukan cara baru untuk mendefinisikan hubungan mereka di luar batas-batas biner yang kaku dengan menerima ketidakpastian dan ambiguitas ini.
Jika dilihat dengan perspektif umum feminis, dapat dikatakan bahwa pengarang (AA. Navis) mengusung tema feminisme dengan topik gender stereotip feminisme melawan maskulinitas. Asosiasi umumnya adalah melihat bahwa perempuan merupakan sosok yang lemah, lembut, dan manja, dan melihat bahwa laki-laki sebagai sosok yang kasar, kuat, dan dewasa. Sifat bineris yang otoritatif ini yang membuat nilai keperempuanan (feminitas) sebagai nilai yang di bawah nilai kelaki-lakian (maskulinitas). Dengan menampilkan Lara yang mengalami transformasi, pengarang jelas sudah mengindikasikan bahwa ia ingin menciptakan tokoh Lara yang mendekonstruksi wacana biner antara maskulinitas dan feminitas.
Dehumanisasi
Tema sentral dalam cerpen ini bermuara pada tema dehumanisasi. Kondisi itu terjadi sebagai efek pasca perang yang menyebabkan setiap personal kehilangan identitas pegangan akan moral. Rasa identitas akan diri sebagai manusia mengalami kegamangan. Perang yang terjadi dikemas rapi dalam bilik yang bernama sejarah.
“Sejarah menghasilkan kehidupan yang tidak sama. Begitu Lara. Begitu aku. Begitu Anda sendiri, barangkali. Hanya nilai moral yang tidak pernah berubah. Hanya kita yang sering lupa. Atau tidak peduli,” kata laki-laki itu.
Dehumanisasi menunjukkan bagaimana orang-orang mulai menghargai kekuasaan atas orang lain untuk menjaga tatanan moral kelompok mereka sendiri atau identitas mereka sendiri dalam kelompok mereka. Cerpen ini telah menjadikan tokoh Lara terjerumus dalam proses yang tidak disadari melalui penidakmasusiaan seorang perempuan.
Objektifikasi dan Eksploitasi
Dalam tinjauan feminisme terlihat tokoh Lara sebagai seorang perempuan dijadikan objektifikasi sekaligus eksploitasi. Terlihat jelas pada baris berikut:
“Aku benci digermoi suamiku. Aku muak melayani anak ingusan. Aku inginkan laki-laki matang seperti kau.”
Perdagangan wanita oleh suami sendiri tentu berlapis derita yang dirasakan. Istilah digermoi oleh suami sendiri untuk “anak jawi” nya (pasangan homo), entah logika berlapis apa yang dalam pikiran seorang lelaki memperlakukan istrinya, Lara.
“Kau tahu aku disuruh tiduri oleh anak jawinya sebagai imbalan?”
Keberanian Lara mendagangkan dirinya adalah bentuk perlawanan terhadap perlakuan suaminya namun sekaligus kepasrahan pada rahasia waktu. Pasca perang sepertinya tidak banyak pilihan bagi seorang perempuan untuk berkiprah dalam dunia nyata sehingga lintasan cepat untuk melepaskan dari himpitan tekanan lelaki adalah dengan mendagangkan diri.
“Dagang apalagi kalau sudah terlanjur dari dulu. Aku dagang diriku sendiri,” jawab Lara dengan suara datar, seperti padanya tak lagi ada emosi.
Lara sepertinya mendagangkan diri karena ingin mencari kebebasan dalam bentuk lain. Efek dualisme seorang perempuan (posisi biner sebagai istri dan komoditas lelaki) menjadikan Lara berhadapan pada situasi dalam berbagai persimpangan.
Patriarki
Apa yang dialami Lara adalah konsekuensi dalam masyarakat yang mengedepankan pola patriarki. Perempuan selalu diletakkan level di bawah lelaki bahkan korban akan struktur patriarki. Patriarki sering mengakibatkan marjinalisasi dan penindasan terhadap perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya, karena suara dan kontribusi mereka sering diremehkan dan diabaikan.
“Kalau dia mau pergi, boleh saja. Masuk kota juga boleh. Perempuan tidak perlu ikut perang. Malah jadi beban. …”
Kata “Perempuan tidak perlu ikut perang. Malah jadi beban.”, penanda bahwa ketidakbermenfaatan seorang perempuan dibandingkan kaum Adam. Patriarki seringkali tertanam kuat dalam norma dan nilai budaya, sehingga sulit untuk dibongkar. Namun, upaya untuk menantang dan menolak struktur patriarki telah berlangsung selama bertahun-tahun, dengan gerakan feminis dan aktivisme berusaha untuk mempromosikan kesetaraan gender dan menantang struktur kekuasaan patriarkal (M.Ghufran, 2018).
Konstruksi Sosial
Konstruksi masyarakat kita masih meletakkan sesuatu dengan pola biner. Sisi hitam atau putih. Posisi Lara dalam masyarakat kita jelas diletakkan dalam posisi hitam, tanpa mampu menjelaskan yang melatarbelakanginya. Melalui pekerjaan (istilah dalam cerpen ini berdagang) sebagai pelacur dalam alasan apapun tidak akan diterima dalam konteks hidup normal bermasyarakat. Meski ada kemunafikan akan keberadaan pelacur bagi para lelaki disindir manis oleh Titik Puspa lewat lagunyanya “Kupu-Kupu Malam”.
Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya
Ada yang berlutut mencintainya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya.
Penutup
Secara keseluruhan, “Perempuan Itu Bernama Lara” adalah kritik sosial yang tajam terhadap berbagai aspek konstruksi masyarakat Indonesia, termasuk sistem patriarki, peran gender, pengaruh perang terhadap individu, dan kondisi sosial-ekonomi pasca-konflik. Cerpen ini menggambarkan dengan jelas bagaimana sistem sosial dan struktur kekuasaan dapat membatasi pilihan dan merusak identitas individu, terutama perempuan, dalam masyarakat.
Rujukan
Dvorsky, G., & Hughes, J. (2008). Postgenderism: Beyond the Gender Binary.
Revilliano, Muhammad Iqbal, dkk. (2023). “Budaya Pengaruh Dan Budaya Patriarki Terhadap
Gerakan Perubahan Feminisme Dalam Organisasi”, dalam Jurnal Manajemen Dan Bisnis Ekonomi. Vol.1, No.2 April 2023