Kebijakan Populis Sekolah “Gratis” dan Mati Surinya Sekolah Swasta: Catatan Bambang Kariyawan Ys.

53

Siapa tidak tergiur mendapatkan sesuatu secara gratis. Itu sebuah kelumrahan dari mental dasar manusia. Namun gratis dalam dunia pendidikan, berarti ada subsidi besar dari negara untuk melindungi kata gratis itu. Dalam hal ini istilah sekolah “gratis” untuk domain dari sebuah dikotomi yang kita sebut sekolah negeri. Sekolah negeri dengan istilah awamnya sekolah gratis, meskinya dimaknai sebagai sekolah bersubsidi dari pemerintah.
Ibarat kita akan membeli Bahan Bakar Minyak (BBM), subsidi terbesar tentunya untuk kalangan yang kita sebut secara umum menengah ke bawah. Tentunya harus ada rasa “malu” kala yang tidak layak mendapat subsidi mengambil jatah yang disubsidi. Demikian pula halnya sekolah. Sekolah negeri, entah istilahnya gratis atau subsidi, tentunya diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam level yang layak digratiskan atau disubsidi. Namun kenyataannya makna gratis/subsidi telah jauh panggang dari apa. Dengan berbagai alasan, semua kalangan sepertinya merasa layak untuk masuk ke level gratis/subsidi itu. Entahlah, sepertinya banyak yang telah bergeser makna yang seharusnya diletakkan pada makna sesungguhnya. Kelompok elit dan berstatus menengah atas sepertinya lupa bahwa sekolah negeri itu bukan untuk mereka. Sekali lagi godaan gratis yang meskinya subsidi sudah dilupakan. “Kalau ada yang gratis, mengapa harus membayar?”.
Kebijakan populis seperti ini sudah tidak terkontrol lagi, entah siapa yang dapat mengurai benang kusut yang berkelindan ke mana-mana. Sekelompok domain yang dalam dikotomi satunya yang bernama swasta, menjadi benar-benar mati suri. Tak ada tempat mengadu dan ditinggal sendirian. Hanya bisa menjadi penonton dan “pasrah” menerima setiap kebijakan-kebijakan yang sangat bertendensius. Akankah satu persatu sekolah swasta akan mati dalam surinya sambil menanti kebangkitan? Kapan? Entahlah, seperti kata Ebiet G. Ade, “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.
Suara-suara lirih yang hampir mati suri ini tetap ingin dicatat sebagai sebuah gagasan kecil meski entah kapan terwujudnya.
1. Kesetaraan perlakuan antara negeri dan swasta dalam proses administratif dan pengelolaan sekolah mengingat negeri dan swasta dalam payung yang sama.
2. Kalau tetap mengedepankan sekolah gratis atau subsidi, ke depankan esensi dari kebijakan tersebut untuk kalangan yang semestinya mendapat kebijakan.
Hanya ini suara lirih yang dapat saya sampaikan. Meskipun lirih, tepat ada energi momentum positif bahwa kelak perubahan itu akan terjadi. Gelombang revolusi pada suatu masa akan selalu bersiklus. Setiap masa ada orangnya. Setiap orang ada masanya. Salam literasi!

Tulisan Terkait

Dr. Bambang Kariyawan Ys. M.Pd,, Ketua MKKS SMA Swasta Provinsi Riau

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan

1 Komentar
  1. Robaiyani mengatakan

    Luar biasa pak makna dari setiap cerita yang saya baca
    Sangat menyentuh, semoga yang membuat kebijakan lebih tersentuh