Menghadapi Dampak Digital, Finlandia Kembali ke Buku, Bagaimana dengan Kita?: Catatan Bambang Kariyawan Ys.

219
Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Azan: Cerpen Fauzi

Loading

Pendidikan di Finlandia telah lama dikenal sebagai salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia. Dengan kurikulum yang fokus pada perkembangan anak sebagai pembelajar seumur hidup dan guru-guru yang dipercaya untuk mengubah kehidupan generasi muda, Finlandia telah mencapai kemajuan pesat dalam hal membaca, matematika, dan literasi sains.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Finlandia menghadapi tantangan baru dalam bentuk penggunaan perangkat digital yang berlebihan di sekolah. Meskipun sistem pendidikan Finlandia telah memberikan laptop gratis kepada semua murid sejak usia 11 tahun, penggunaan perangkat digital telah menimbulkan risiko fisik dan mental, seperti masalah mata dan meningkatnya kecemasan.

Kembali ke Pena dan Kertas
Untuk mengatasi dampak negatif ini, beberapa sekolah di Finlandia, termasuk di kota Riihimaki, telah memutuskan untuk kembali ke menggunakan buku dan pena. Kota Riihimaki, yang berpenduduk sekitar 30.000 jiwa dan terletak 70 km di utara Helsinki, telah berhenti menggunakan sebagian besar buku di sekolah menengah sejak tahun 2018. Sekarang, mereka mencoba sesuatu yang berbeda untuk memulai tahun ajaran ini dengan kembali ke pena dan kertas.

Mengapa Kembali ke Buku?
Penggunaan perangkat digital yang terus menerus telah membuat banyak anak gelisah dan kurang fokus. Banyak siswa mengerjakan latihan secepat yang mereka bisa demi melanjutkan bermain game dan mengobrol di media sosial. Mereka tidak butuh waktu lama untuk mengubah tab di browser, sehingga ketika guru datang, mereka bisa berdalih bahwa mereka sedang mengerjakan latihan.
Dengan kembali menggunakan buku, para siswa di Riihimaki telah mengalami peningkatan konsentrasi dalam belajar. Miko Mantila dan Inka Warro, keduanya berusia 14 tahun, mengatakan konsentrasi mereka meningkat sejak buku kembali tersedia. “Membaca, misalnya, jauh lebih mudah dan saya dapat membaca lebih cepat dari buku,” kata Mantila. Meskipun menulis lebih mudah dilakukan pada perangkat digital, mereka menyadari bahwa menggunakan buku membantu mereka lebih fokus dan tidak terganggu oleh perangkat digital.

Menghadapi Tantangan di Masa Depan
Pemerintah Finlandia juga sedang merencanakan undang-undang baru untuk melarang penggunaan perangkat pribadi, seperti telepon, selama jam sekolah guna mengurangi waktu anak-anak di depan layar. Dengan demikian, kota Riihimaki berusaha untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih seimbang dan efektif dengan kembali menggunakan buku dan pena, mengurangi pengaruh negatif dari penggunaan perangkat digital yang berlebihan.
Dalam keseluruhan, kembali ke buku di Finlandia bukan hanya tentang menghindari perangkat digital, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan belajar yang lebih konsentrasi dan efektif untuk anak-anak. Dengan demikian, Finlandia terus berkomitmen untuk mempertahankan posisinya sebagai salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia.

Bagaimana dengan Kita?
Indonesia telah lama tertarik dengan sistem pendidikan Finlandia, yang dikenal sebagai salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia. Finlandia telah mencapai kesuksesan yang luar biasa dalam tes PISA, dan banyak negara, termasuk Indonesia, telah mencoba untuk meniru model pendidikan mereka. Namun, apakah Indonesia siap untuk mengulangi langkah Finlandia dengan kembali menggunakan pena dan kertas dalam pembelajaran?
Indonesia memiliki beberapa tantangan yang perlu diatasi sebelum meniru sistem pendidikan Finlandia. Beberapa tantangan tersebut adalah:
1.Indonesia memiliki keterbatasan sumber daya, baik dari segi anggaran maupun infrastruktur. Hal ini dapat membuat implementasi sistem pendidikan Finlandia menjadi sulit.
2.Kualitas guru di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Banyak guru di Indonesia yang belum memiliki pendidikan pasca sarjana, yang merupakan syarat untuk menjadi guru di Finlandia.
3.Indonesia perlu mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Kurikulum yang rigid dan tidak fleksibel dapat membuat siswa merasa terbebani dan tidak menarik.

Kita masih dalam fase peralihan dalam penguasaan beragam teknologi pendidikan dan masih memerlukan pembelajaran digital untuk akselerasi kualitas pembelajaran. Kaaupun ada upaya untuk mengembalikan dari digital ke buku, perlu ada kajian terlebih dahuhu. Apakah kita telah benar-benar telah memasuki fase “jenuh” atau malah “kecanduan” pada pembelajaran digital yang berdampak negatif sehingga perlu kembali ke buku.
Asumsi ini dapat dilanjutkan dengan memetakan daerah yang dalam kategori “jenuh/candu” digital sebagai pilot project program kembali ke buku. Dengan ukuran ketercapaian yang jelas, maka baru dapat diputuskan apakah program kembali ke buku adalah suatu solusi untuk negeri kita. Satu catatan apakah kembali ke buku atau melanjutkan ke digital, keduanya akan selesai bila penguatan literasi kita telah mencapai taraf terbaik. Akar masalahnya kembali pada daya tahan dan daya paham serta daya guna literasi dalam kehidupan yang perlu dipertajam terlebih dahulu. Salam literasi!

Bambang Kariyawan Ys., seorang guru di Pekanbaru.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan