MELAYU DAN HARGA SEPETAK TANAH
Biarkan darah melayuku tumpah untuk tanah kelahiranku.
Membaca naskah monolog “Panggilan Terakhir” karya Rian Kurniawan Harahap beserta penampilannya seperti membaca kisah-kisah liris tentang kampung-kampung di di negeri Melayu ini. Ladang (dalam naskah disebut kebun) yang telah hilang dan tergerus oleh perkebunan sawit yang cenderung beraroma kapitalis. Setelah melakukan pembacaan secara cermat terdapat tali-tali simpul (sisi terampil “aku” dalam setting pembuka kala disandera) yang dapat kita kaji dari sudut pandang tokoh dan simbolnya.
“Aku”
Sosok “aku” berupaya membawa dirinya sebagai penjaga marwah Melayu. Baginya mempertahankan hak (tanah/ladang/kebun) yang telah ditinggalinya adalah harga diri. Pantang Melayu digugat ketenangannya. Ladang/kebun adalah simbol tradisi merawat alam. Secukupnya diolah dan diambil dari alam tanpa mengganggu hak alam. Bahasa lainnya “tidak tamak” pada alam. Sedangkan lahan sawit yang penuh nuansa kapitalis dapat diartikan sebagai proyek kalangan borjuis yang melupakan pemilik alam dan pemilik tanah.
Tokoh “aku” sebagai orang Melayu merujuk pada tokoh simbolis penyatu yang dari rantau Melayu manapun sepakat memilih Hang Tuah. Walaupun sebenarnya banyak tokoh Melayu yang memiliki semangat membangun marwah kemelayuannya. Penulis dalam karya-karyanya telah memilih Hang Tuah untuk menguatkan keteguhan alur cerita yang dibangunnya. Catatan tentang Melayu, marwah, dan Hang Tuah dapat kita lihat pada narasi berikut:
Aku sebagai seorang melayu akan mempertahankan apapun yang kumiliki. Sejengkal tidak akan kujual, sehasta tak akan mundur. Aku adalah melayu. Aku melihat Tuah menjadi laksamana yang tidak takut apapun. Konon hanya lanun, siapapun yang hendak menderhaka sultan akan disikat habis olehnya. Aku harus disini berdiri sebagai seorang melayu. Siapa mereka? Aku tidak takut! (h. 6).
“Kontraktor Proyek”
“Kontraktor Proyek” dihadirkan sebagai simbol kapitalis yang tak pernah puas dengan capaian kekayaan yang diperoleh. Selalu mengatasnamakan pembangunan untuk kepentingan rakyat. Jargon yang selalu diusung untuk menarik simpati. Strategi menjadikan “uang” dengan simbol amplop sebagai penyelesai masalah sepertinya telah menjadi jamak di kalangan masyarakat. Seolah semua masalah akan selesai dengan amplop terbantahkan oleh penulis yang menawarkan pilihan keteguhan prinsip orang Melayu.
“Bukankah itu kabar gembira? Dan tentunya ada beberapa amplop uang yang sudah kami siapkan sebagai pegangan, ya minimal cukup untuk hidup satu tahun lah” (h. 4).
“Kucai”
Menjaga marwah Melayu tidaklah mudah apalagi ketika telah berhubungan dengan kebutuhan dasar. Penulis naskah mencoba menghadirkan tokoh dilematis bernama Kucai yang ternyata “pengkhianat” karena terdesak akan kebutuhan dasar. Kecamuk batinnya bolak-balik antara membela, berkhianat, dan kembali membantu tokoh “aku” dihadirkan dengan apik oleh penulis naskah.
Malam itu aku melihat seseorang yang berdiri di sana tapi tak berani memukul dan menendangiku. Aku seperti mengenalinya, saat aku melewatinya aku buka topengnya dan ternyata ia adalah Kucai. Ternyata di dalam kampungku aku sedang melawan kawan sendiri. Ia telah berubah demi segepok uang. Aku tatap matanya sembari diseret dan dipukuli (h. 7).
Epilog
Naskah ini menjadi menarik karena menghadirkan tiga tokoh yang berbeda haluan. Pembela, penjual, dan pengkhianat marwah Melayu. Terlepas dari beberapa catatan antara naskah dan medium visual yang sedikit berbeda, “Panggilan Terakhir” telah menawarkan gugatan akan pentingnya merawat marwah Melayu.
Bambang Kariyawan Ys., Sastrawan.