“What is your favorite color?”
Barangkali ini pertanyaan simpel. Namun, jika ditilik dari segi filsafat, boleh jadi pertanyaan semacam itu mengandung makna begitu dalam. Setiap orang punya warna favorit masing-masing, seiring berjalannya waktu, warna tersebut bersebati dalam diri dan membentuk personalitas. Hal tersebutlah yang memicu adanya identitas dalam buku Membaca Laut: Pada Kampung yang Hilang, dengan lebih melekatkan warna hijau sebagai pemikat.
Pukau Hijau
Jika dalam anime Naruto, ada tokoh yang dijuluki sebagai Kilat Kuning Konoha, yaitu Minato Namikaze—ninja desa Konoha—lantaran rambutnya berwarna kuning dan memiliki kecepatan yang sangat cepat. Sementara itu, muncullah Kilat Hijau Riau yang direpresentasikan pada Serimbun Puisi Hijau goresan pena Bambang Kariyawan Ys.
Sekadar trivia, konoha artinya daun. Warna hijau identik dengan daun, bagian tanaman yang tumbuh berhelai-helai pada ranting. Sekelabat teringat pula dengan penggalan lirik lagu, “Sepohon kayu daunnya rimbun, lebat bunganya serta buahnya, walaupun hidup seribu tahun, kalau tak sembahyang apa gunanya.” Lirik lagu Sepohon Kayu tersebut senada dengan puisi berjudul Puruk-Parak di Rimbang Baling berikut:
[…]
Akankah surga ini menjadi puruk-parak?
Kala nafsu melupakan keseimbangan
Meraup segala tanpa perhitungan
Rimbun berganti gersang
Bunyian alam terganti suara mesin
Tangisan batang-batang pohon lirih mendengar
“Kemana Rimbang Baling?”
Awalnya Tuhan sudah menganugerahkan nikmat berupa terbentangnya alam yang harmoni, tetapi tersebab tangan jahil semua menjadi nihil. Sufi beranggapan jikalau pohon dirawat dengan cinta, maka ia akan tumbuh hingga langit ke tujuh. Inilah yang menjadi keresahan penulis dalam menuangkan pelbagai bait puisinya, isu-isu lingkungan yang merebak, alam yang rusak akibat ulah tangan manusia, dan usaha supaya menolak bala dengan konsisten memberi cinta dan kasih tak hingga pada semesta.
Konsistensi Tak Bersisi
Seaneh apapun tulisan kalau terjadi konsistensi, maka itu bagus. Kebagusan tersebut tersangkut dalam karya penulis pada akhir bait puisi. Ada puisi yang mana paragraf terakhirnya hanya diselipkan sekeping kata. Contohnya kata perih dalam puisi Pantai Tak Lagi Berlaut.
[…]
Tak dinikmati lagi rinai hujan
Tak dinikmati lagi siraman mentari
Yang ada hanya keterpasungan
Perih …
Selain kata perih, masih ada 15 puisi lain yang endingnya ditutup dengan satu buah kata, yakni kata lepas, senyap, tenang, entah, luka, rindu, ambisi, layu, tenggelam, angkuh, bisu, membisu, sunyi, diam, dan hilang. Uniknya lagi, kata-kata itu setia diakhiri oleh tanda baca elipsis. Sekeping kata yang dimaksud bertujuan untuk memberikan konklusi dari suatu puisi dan juga upaya menikam sehingga puisi tampak heroik.
Menghidu Aroma Rindu dan Ambisi yang Bergelegak
Pulanglah pada aroma jalur.
Rindu … (hal.20)
Aroma ini selalu kurindu
Kala kecil bertemankan terik. (hal.35)
Nostalgia pun tercipta dalam buku ini, seperti mesin waktu. Dulu kita berdiri di tanah yang masih membuat tawa-tawa cerah dalam kehidupan, dan rindu akan momen tersebut. Berulang kali aroma kerinduan terhadap masa lalu mencuat, karena sekarang aroma-aroma penenang jiwa sudah tiada, berganti luka. Seperti dua buah penggalan puisi berikut:
Tentang aroma kering yang mengirim duka. (hal.54)
Pada sungai yang tak beraroma air lagi. (hal.65)
Hakikatnya, rindu dalam buku ini adalah rindu pada aroma yang teduh, tidak lagi berganduh. Chaos dipicu oleh segudang ambisi yang bergelora.
[…]
Terbentur pada dua aroma
Krisan membalut sejarah tentang kuasa
Bunga yang selalu menjadi saksi
Kisah-kisah heroik perebutan tahta
Ambisi …
Puisi yang bertajuk krisan tersebut memang simbol yang tepat untuk melambangkan ambisi. Segala ambisi jahat yang membuat bumi menjadi larat perlu dihabisi, dan Membaca Laut pada Kampung yang Hilang ini adalah manifestasi pengubahan aroma-aroma yang sumbang, agar tumbang.
Diksi yang menawan
Bambang Kariyawan sukses menawan hati dengan diksi-diksi yang indah serta cukup mudah dipahami tanpa memilih kata ilmiah yang memusingkan kepala. Contohnya riak yang gagap atau lumpur bisu. Beliau bagai menaruh roh pada riak dan lumpur sehingga mereka seolah-olah hidup layaknya manusia. Masih banyak lagi diksi lainnya yang tak kalah brilian seperti meretas sunyi, kayu yang sayu, gelora waktu tersangkut, membaca dedaunan, bangku sunyi, menjala senja, membelai cemas, pada angin yang rabun. Sungguh anggun. Serimbun Puisi Hijau adalah ladang kata-kata dan diselimuti warna-warni keindahahan. Membaca buku ini seperti melihat vista yang memesona, sekaligus juga sebagai alarm agar alam harus tetap bestari dan asri. Salam lestari!
F Kecil, anggota FLP Pekanbaru
Brillian…