

Membaca judul kumpulan puisi Ngah Aroel “Wanita Seberang Jalan”, persepsi kita akan memunculkan pemahaman bila puisi-puisi di dalamnya membincangkan tentang wanita (serta sinonimnya). Lebih jauh bila dikaji, mengapa “wanita”, tidak “perempuan”? Tentu penyair memiliki alasan tersendiri memilih kata “wanita”.
Sejarah kontemporer Bahasa Indonesia mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu (“Kamus Linguistik”, Kridalaksana, 1993: 12).
Perubahan arah positif tersebut sepertinya tetap bermakna dikotomi yang saling tarik menarik bukan beriringan. Bahkan terkadang membentuk hirarki dan menentang kesetaraan. Kesetaraan gender adalah sebuah mimpi yang terus ingin dibangun, namun berbagai latar yang telah mengendap sejak kecil tentang hirarki antara laki-laki dan perempuan perlu proses panjang untuk mengubah persepsi itu.
Tarik ulur ini telah dikaji dalam studi khusus dalam sosiologi gender lebih tepatnya bahasan tentang feminisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa feminism sebagai gerakan kaum wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Menurut Simone De Beauvoir dalam bukunya “The Second Sex” bahwa gerakan feminisme muncul karena ketidakpuasan kaum perempuan atas paham patriarkhi yang bertolak pada lima pandangan tentang biologis, pengalaman, wacana, ketaksadaran, kondisi sosial dan ekonomi.
Demikian pula dalam karya sastra, hirarki perempuan di bawah bayang-bayang dan persepsi laki-laki tetap akan selalu terjadi. Banyak karya sastra yang menjadikan wanita atau perempuan sebagai tema dalam tulisannya. Salah satunya Kumpulan Puisi karya Ngah Aroel, penyair Dumai yang berjudul “Wanita Seberang Jalan”. Buku yang berisikan 42 puisi ini terdiri dari beragam tema dan terdapat 6 puisi yang mengambil tema perempuan sebagai judul puisinya yaitu Wanita Seberang Jalan, Wanita Bunyian, Perempuan Sendiri, Perempuan Kardus, Waktu Itu (Yang Dirasa Perempuan Kasturi), dan Tangisan untuk Emak.
Dengan munculnya kata wanita pada dua puisi dan tiga kata perempuan pada puisi yang lain, menunjukkan penyair sedang meraba-raba untuk meletakkan kata yang tepat dalam puisi-puisinya. Apakah wanita atau perempuan?
Mari kita simak puisi berjudul “Perempuan Sendiri”, di sini penyair tidak menyebutkan kata “perempuan” selaras dengan judul yang dipilih, namun memilih kata “wanita” di dalam bait-baitnya:
… engkau wanita itu
Kan ku jempu keinginanmu
Ku rasuki dirimu dalam kesunyian itu
Hingga kau tak tampak lagi akan sendiri (h. 26).
Namun terlepas dari itu penyair menegaskan dalam pengantarnya:
… membaca sebuah karya janganlah dibawa perasaan yang negatif. Cukup nikmati, hayati, pahami dan rasakan di dalam sanubari maka akan tercipta reaksi jiwa dan emosional diri saat itu dan seketika itu hanyut dalam alur sebuah kisah di dalam dunia hayalan. Itu hal biasa. (h.3)
Dalam “Wanita Bunyian”, wanita diletakkan dalam ketakberdayaan oleh laki-laki. Meletakkan kata “nafsu” dalam puisi ini menjadikan lelaki sebagai subjek yang aktif tanpa diimbangi dengan saling merasakan nafsu tersebut. Terlihat pilihan kata yang disematkan kata yang pasif berupa “diam”, “bisu”, dan “kaku”.
… rayu aku terhadap nafsu
Ingin ku genggam dunia di tangan kiriku
Dan matahari di tangan kananku
Wanita diam, wanita bisu
Wanita dalam wanita kaku (h. 21)
Dalam “Wanita di Seberang Jalan”, terungkap posisi wanita sebagai pelengkap nafsu laki-laki. Posisi ini semakin menyudutkan perempuan pada situasi objek dari subjek lelaki. Namun penyair tentunya punya kebebasan meletakkan pengalaman yang ditangkapnya dari realitas sosial dalam menyuarakan potret yang ditemuinya.
… koreng di tubuh mungilmu masih berbekas
Sisa dari pertempuran melawan hawa nafsu
Seperti kunang-kunang yang berterbangan di malam hari
Kau memberikan cahaya kepuasan terhadap sang kumbang
Sang kumbang yang bosan dengan hidangan rumahnya
Sang kumbang yang berhidung belang (h. 23)
Namun pada sisi yang lain wanita atau perempuan yang kita panggil emak adalah mereka yang kita letakkan tertinggi sebagai rasa kebersalahan kita. Kita simak “Tangisan Untuk Emak”, sebagai tanda kita siapapun termasuk penyair, tetap akan menjadikan wanita atau perempuan itu akan tunduk padanya.
… pucukan kenanga
Tlah akan terasa neraka di telingaku
Ketika air mata itu terteteskan sudah
Karena akan aku melamar kedurhakaan
Dari seginya untaian lidah
Emak …
Maafkan aku … (h. 87).
Bambang Kariyawan Ys, Sastrawan.