Puisi Telur dan Sumpah Pemuda: Catatan Shafwan Hadi Umry

21
Tulisan Terkait

Loading

Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri pernah berbicara tentang sikap kepenyairannya di Binjai Sumatra Utara (2021). Penyampaian sikap pemikiran diuraikan dengan lugas termasuk membicarakan sikap politik dan wawasan keindonesiaan dengan bungkusan sastra.
Dia mengutip puisi tentang yang pernah diposting dalam media sosial (facebook, 28/10/2019).

Apa gunanya merdeka
kalau tak bertelur
apa gunanya bebas
kalau tak menetas
wahai bangsaku
wahai pemuda
mana telurmu

Ekologi Budaya

Sepotong puisi yang dikutip di atas menegaskan studi mengenai hubungan manusia dan non manusia melalui sejarah budaya manusia. Kemudian mengutip pendapat Serpiloverman (2018) yang mengaitkannya dengan eko kritik yang merujuk kepada pergerakan kritis yang baru yang berusaha menghubungkan kritik sastra dan teori dengan masalah lingkungan sekarang ini. Eko kritik sebagai suatu teori sastra dapat dipandang sebagai suatu telaah yang paling tampak produktif pada studi budaya dan sastra.
Simbol ‘telur ‘dalam puisi Sutardji di atas mengajak para generasi muda milineal Indonesia untuk memberi sumbangan dan darma baktinya untuk kesejahteraan Indonesia sebagaimana yang pernah digagasi oleh para pemuda yang tergabung dalam Indonesia Muda yang mengikrarkan sejarah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dari pembicaraan tentang ‘telur’ Sutardji, saya ingin mengangkat telur yang lain dalam tulisan yang mustahak ini.
Pemakaian simbol ‘telur’ yang dipilih Sutardji C.B. memiliki relasi secara intertekstualitas dengan metafora pantun Melayu yang ditulis para pemantun dalam kitab lama di bawah ini.
Pantun 1: telur itik dari Senggora/Pandan terletak dilangkahi/Darahnya titik di Singapura/Badan terhantar di Langkawi.
Pantun Melayu ini cukup lama beredar di pulau-pulau (Nusantara) dan diangkat ke dalam buku dan pelajaran kesusastraan lama (1950-1963) di Indonesia. Ia menceritakan kisah Tun Jana Khatib sebagai penasehat permaisuri dan akhirnya terbunuh oleh suruhan permaisuri sendiri. Sang pemantun mengisahkan bahwa simbol telur dalam ungkapan Melayu adalah benih yang baik, gizi yang sehat dan bermanfaat bagi orang banyak.
Kota Senggora (Songkhla) di Pattani Thailand Selatan masa silam termashur sebagai negeri para ulama Islam yang mengembara ke berbagai pulau di Nusantara. Bagi si pemantun, simbol ‘telur’ dari Songkhla Pattani adalah sumber kesuburan, gizi yang sehat dan bermanfaat terutama dalam dakwah dan penyiaran agama Islam.
Sementara ‘Singapura’ sebagai ruang (space) adalah simbol ruang persaingan, ruang konflik kepentingan dan ruang perebutan monopoli kekuasaan antara bangsa asing dengan bangsa Melayu. Kisah monopoli niaga Inggris di Singapura membuktikan hal itu. Kemudian Pulau Langkawi tempat makam Tun Jana Khatib dipandang sebagai pulau yang aman dan bestari.
Pantun 2: Hujan lah hari rintik-rintik/tumbuh cendawan gelang kaki/kami sepantun telur itik/kasihan ayam maka menjadi.
Jika diuraikan pantun di atas (Husny,1983) umumnya cendawan gelang kaki tumbuh di waktu musim hujan biasa, bukan hujan yang menimbulkan banjir; sebab tanah yang kering jadi lembab dan memberi suhu panas yang tepat (kena) untuk tumbuhnya termasuk jenis cendawan. Sesuai dengan benda (cendawan dan telur) di atas dapat “menjadi” karena teraturnya suhu yang diberi oleh ‘bumi’ dan ‘ayam’.
Pada arti ”sepantun” dalam pantun di atas, adalah laksana, setepat, sekena, seperti, dan lain-lain, tiada menyimpang dari kata “antun”, “seantun”, dan “pa-antun”.
Makna pantun ini masih menampilkan peristiwa kebajikan dan budi baik sang ayam yang rela menetaskan telur itik. Sungguh menarik, bagaimana dalam tabiat hewan seperti itik yang mampu bertelur tapi tak mampu mengeram atau menetaskan anaknya sendiri.
Kisah sang itik dapat diibaratkan kepada manusia yang pandai ‘beranak’, tapi tidak pandai mengasuh anak. Peristiwa ini mirip dengan generasi Z yang mahir memainkan ponsel dan amat jauh berbeda dengan sang orang tua yang gagap teknologi.

Ekologi Budaya
Ekologi budaya Melayu yang kaya dengan pantun dan tunjuk ajar yang membangun budi pekerti dan kebajikan sebagai ‘tamadun kearifan’, pada era global berganti dengan tamadun persaingan dan kekuatan asing yang membuat khazanah budaya Melayu terbenam.
Barangkali kita mengkhawatirkan bahwa pada satu saat nanti simbol, metafora atau semiotika telur tidak akan lagi menjadi sampiran pantun. Oleh karena lingkaran beternak ayam yang menghasilkan telur telah direkayasa pabrik untuk menelurkan telur plastik. Budaya plastik dan kosmetik yang mengikis keelokan dan metafora keindahan ratu kecantikan yang artistik.

Oman, Media Oktober 2023

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan